Membaca Kepingan Kisah dan Mitos Indo Rock

Membaca Kepingan Kisah dan Mitos Indo Rock

Siapa yang tidak kaget dan curiga mendengar kabar kalau ada band Indonesia yang digadang-gadang menginspirasi yang-maha-agung The Beatles? 

Bulan Agustus 2021 yang lalu, tepat di layar laptop saya ada naskah digital buku yang mengupas perihal Indo Rock kiriman dari penerbit Pelangi Sastra melalui email. Penulisnya adalah Donny Anggoro, yang saya kenal karena dulu pernah sama-sama menulis untuk situs Jakartabeat. Meski sampai hari ini saya belum pernah bertemu tatap muka dengan beliau. 

Saya baca beberapa halaman awal dulu secara perlahan. Lalu bangkit menuju dapur dan kembali lagi dengan segelas kopi panas. Saya sruput itu kopi dan menyulut sebatang rokok kretek. Kemudian meraih ponsel, membuka aplikasi music streaming untuk mencari nama The Tielman Brothers. Wah, ternyata ada diskografinya di sana. Saya putar sealbum Rock Little Baby of Mine dalam volume sedang. Sembari meneruskan membaca naskah buku tadi. Eh, sebentar. Indo Rock?! Uhm, makhluk apa itu?          

Dulu saya pikir Indo Rock itu sekadar mitos. Cuma akal-akalan orang industri yang suka obral dagangan nostalgia, fans musik tanah air yang “ultra-nasionalis”, atau media yang kelewat pede dan positive thinking macam akun @GNFI.

Siapa yang tidak kaget dan curiga mendengar kabar kalau ada band Indonesia yang digadang-gadang menginspirasi yang-maha-agung The Beatles? Ada band-band Indonesia yang aksinya lebih rock n’ roll daripada band-band bule yang namanya sudah terlanjur mentereng di kepala kita? Ada band Indonesia yang sudah mengobrak-abrik panggung Eropa sebelum gelombang British Invasion menyapu dunia?

Ah, masa sih? Benarkah demikian?! Bukannya selama ini musik populer Indonesia yang selalu berkiblat ke Barat? Juga tingkah musisi-musisi kita yang justru lebih suka mengekor pada gaya musisi Barat?

Sampai di sini, saya kembali menyeruput kopi lagi dan menyulut rokok kretek kedua. Saya pause dulu albumnya The Tielman Brothers tadi. Lalu berpindah membuka YouTube dan memasukkan kata kunci yang sama. Hasilnya lumayan mendebarkan. Ada satu video lawas yang bikin saya seketika meringis:

Segudang pertanyaan di atas tadi selalu saja mengganggu pikiran (sempit) saya. Maklum, sedari dulu saya dididik untuk tidak langsung percaya begitu saja akan sebuah kabar atau rumor yang beredar. Apalagi jika itu termasuk kabar yang baik. Tetaplah skeptis, pesan mentor jurnalistik saya dulu. Sebab, kabar-kabar seperti itu biasanya cuma basa-basi dan pengibur hati saja. Kerap dibalut sensasi dan berujung masturbasi. Lalu memupuk kebanggaan semu berbumbu fanatisme belaka. Apalagi jika itu sudah menyangkut soal ras, golongan, maupun nasionalisme.

Atau kitanya saja yang kelewat ge-er?!

Seperti kabar tentang gemilangnya Indo Rock tadi, misalnya. Itu sama susahnya dengan memercayai rumor-rumor lain yang kerap mampir di kuping saya. Seperti soal Rhoma Irama yang sangat disukai di Jepang, keroncong yang digemari di Suriname, David Bowie yang mencari inspirasi di Bali, atau Eddie Van Halen yang berdarah Indonesia. Kenapa tidak sekalian saja kalau Woodstock ’69 itu sebenarnya proyek rahasia Soeharto dan CIA yang digelar di kaki Gunung Merbabu dekat kampungnya Bre Redana?!       

Masalahnya kemudian, saya cuma bisa kesal sendiri dan tidak berupaya mencari tahu lebih banyak. Tiada niat untuk menggali dan memverifikasi “Kumpulan Kabar Baik dari Indonesia” tadi. Saya cuma bisa pasrah dengan segala mitos yang kadung beredar. Mau ada yang bilang kalau Betharia Sonata itu ikut memengaruhi musik Lana Del Rey atau Cat Stevens mendapatkan “hidayah” ketika mendengar adzan Subuh di Jombang pun saya sudah tidak terlalu peduli lagi. 

Namun saya juga masih bisa mengelak dan membela diri akan segala “kebodohan” ini. Saya yakin tidak sendirian menghadapi masalah ini. Sebab, ternyata masalah krusial kita di negeri ini sebenarnya adalah minimnya catatan, arsip, dan dokumentasi tentang sejarah musik Indonesia itu sendiri. Jadi maklum kalau mitos-mitos itu tadi terus saja beredar dan dibiarkan menjadi legenda. Tidak ada yang mau mencatat dan mengumpulkan kepingan cerita dengan penuh keteguhan. Tidak ada yang rela mendokumentasikan dan membagikan fakta sejarah dengan penuh keikhlasan.    

Pertanyaannya sekarang, mau sampai kapan kita seperti ini?

Lahir dan besar di kota Malang. Memulai kegiatan menulis melalui fanzine dan newsletter. Sempat menerbitkan Mindblast Zine dan situs Apokalip.com. Tulisannya pernah dimuat di Jakartabeat, Rolling Stone Indonesia,The Metal Rebel, DCDC, Supermusic, Vice Indonesia, Jurnal Ruang, Whiteboard Journal, Warning Magz, Pop Hari Ini, Demajors news, dan sejumlah media lainnya. Saat ini tetap menulis sehari-hari untuk topik musik dan budaya populer, sembari mengelola institusi Solidrock serta jaringan distribusi rekaman di Demajors Malang dan Rekam Jaya.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner