Membaca Kepingan Kisah dan Mitos Indo Rock

Membaca Kepingan Kisah dan Mitos Indo Rock

Mungkin karena alasan-alasan seperti itu penulis Donny Anggoro tergerak untuk “membereskan” segala pertanyaan dan misteri seputar Indo Rock selama ini. Apapun itu makna Indo Rock yang ada di benak anda pertama kali – sebagai mitos, dongeng, aliran musik, subgenre, kultur, atau fenomena. Apapun itu.

Buku Membaca Indo Rock, Mendengarkan Nostalgia coba mengurai apa dan siapa itu Indo Rock. Tentang bagaimana orang Maluku dan Surabaya kok bisa menyeberang ke Eropa serta nekat memainkan musik barat pada zaman pra ngak-ngik-ngok dan luput dari pantauan Soekarno. Apa pula motif mereka setiap malam menyusuri klub-klub musik di sana dan menawarkan aksi akrobatik seperti menggigit senar gitar elektrik atau memainkan bass sambil naik ke atas drumset dengan tangkasnya?

Di manakah posisi bintang rock seperti Elvis Presley, Chuck Berry, dan Bill Haley ketika semua gejolak itu muncul? Apa benar suasana seperti itu juga yang memantik tekad George Harrison, Paul McCartney, atau Keith Richard saat mereka masih bocah dan belum jadi apa-apa?       

Di buku itu, Donny Anggoro menyusun semua informasi dan data secara runut bergaya biografis tentang nama-nama yang paling bertanggungjawab terhadap sejarah dan perkembangan Indo Rock. Dari The Tielman Brothers sampai Black Dynamites. The Real Room Rockers sampai The Hot Jumpers. The Rhythm Stars sampai The Time Breakers. Serta banyak nama lain lagi yang mungkin masih asing di mata pembaca.

Di antara itu juga ada kisah soal Andy Tielman yang sempat “turun gunung” dipaksa bermain bersama anak-anak muda pada gelaran Jakarta Rock Parade 2008. Bocah-bocah itu adalah The Time Travellers, sekumpulan musisi muda yang punya ketertarikan khusus pada Indo Rock. Pada baris ini kita akan ketemu generasi seperti Awan Garnida, Pepeng Naif, hingga David Tarigan yang coba mengapresiasi hikayat Indo Rock.     

Apa yang telah dikerjakan Donny Anggoro dalam buku tersebut juga mengingatkan saya pada kerja-kerja para peneliti asing yang biasanya lebih jeli dalam melihat “eksotika” kebudayaan Indonesia. Seperti Jeremy Wallach yang mengupas musik rock di era Orde Baru, Andrew Weintraub yang meneliti dangdut, atau Emma Baulch yang membahas punk di Bali. Belum lagi jurnal-jurnal ilmiah seputar musik tradisi yang seringkali teronggok lemas di berbagai rak perpustakaan internasional.  

Bedanya, mungkin Donny Anggoro musti bekerja lebih keras mengais sisa-sisa informasi, arsip data, dan kenangan yang pastinya minim karena keterbatasan akses dan literatur. Apalagi para pelaku Indo Rock pun sudah tidak banyak lagi dan posisinya tersebar jauh di benua lain. Ini saya yakin selalu menjadi problema terbesar bagi semua peneliti dan penulis sejarah musik di negeri ini.   

Hal-hal seperti ini mustinya menjadi kerja kebudayaan, yang harusnya didukung dan didanai penuh oleh negara. Selama ini kita selalu saja menemukan inisiatif seperti itu muncul secara mandiri dari para pencinta musiknya sendiri. Hampir semua buku sejarah dan biografi musik di Indonesia ditulis dengan penuh perjuangan yang keras bermodalkan tekad, enerji dan modal sendiri. Bahkan kolektif dengan niat mulia macam Irama Nusantara dan Museum Musik Indonesia pun masih jauh dari perhatian serta prioritas para pemangku kebijakan. Miris.

Buku Membaca Indo Rock, Mendengarkan Nostalgia itu patut dirayakan sebagai salah satu wujud nyata dari proses pencatatan sejarah, dokumentasi serta pengarsipan musik di Indonesia. Suatu hal yang masih kerap diremehkan dan selalu jadi pekerjaan rumah terbesar di negeri yang katanya gemah ripah akan budaya ini.  

Izinkan saya batuk terlebih dahulu di baris ini. Kopi saya sudah hampir tandas. Satu batang rokok lagi rasanya masih cukup untuk mengakhiri kolom esai ini.

Ada beberapa opini dan pertanyaan menarik ketika saya mendiskusikan buku Membaca Indo Rock, Mendengarkan Nostalgia itu bersama kawan-kawan di Toko Rekam Jaya, 3 November 2021. Soal Indo Rock yang nyaris tidak pernah tercatat dalam berbagai buku sejarah musik rock dunia terbitan asing – yang narasinya cenderung berkiblat pada Amerika Serikat dan Inggris sebagai pusat industri dan budaya rock. Juga perlunya memahami konteks sosial dan politik yang menyelimuti nasib para musisi Indo Rock pada era itu. Termasuk mencurigai kebijakan “nasionalis” pemerintah Orde Lama dalam menentang fenomena yang kebarat-baratan tersebut.

Sampai kemudian datanglah pertanyaan yang paling seksi: “Apakah Paul McCartney dkk benar-benar pernah menyaksikan konser The Tielman Brothers di Eropa dan (pernah) mengakui pengaruh mereka di peta musik rock global?!

Dengan kata lain, sekali lagi, apakah benar Indo Rock atau The Tielman Brothers itu memengaruhi The Beatles dkk?      

Well, soal pertanyaan terakhir barusan saya sendiri belum berani memastikan. Saya biarkan hal itu menjadi mitos di sekitar. Bukankah yang paling menarik dari khazanah rock n’ roll selama ini justru mitos-mitos yang menyelimutinya?! 

*Esai ini sebagian bersumber dari pengantar yang saya tulis untuk buku “Membaca Indo Rock, Mendengarkan Nostalgia” karya Donny Angggoro, terbitan Pelangi Sastra (2021). 

BACA JUGA - Berkarir di Dunia Musik

Lahir dan besar di kota Malang. Memulai kegiatan menulis melalui fanzine dan newsletter. Sempat menerbitkan Mindblast Zine dan situs Apokalip.com. Tulisannya pernah dimuat di Jakartabeat, Rolling Stone Indonesia,The Metal Rebel, DCDC, Supermusic, Vice Indonesia, Jurnal Ruang, Whiteboard Journal, Warning Magz, Pop Hari Ini, Demajors news, dan sejumlah media lainnya. Saat ini tetap menulis sehari-hari untuk topik musik dan budaya populer, sembari mengelola institusi Solidrock serta jaringan distribusi rekaman di Demajors Malang dan Rekam Jaya.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner