Memangnya Masih Ada Yang Mau Baca Buku Musik Hari Ini?

Memangnya Masih Ada Yang Mau Baca Buku Musik Hari Ini?

Buku adalah sebuah format yang dari zaman antah berantah sampai era sekarang yang masih relevan untuk dijadikan sebagai sebuah rujukan yang komprehensif untuk berbagai diskursus yang berkaitan dengannya

Oke tenang. Jangan kesal dulu, para puritan literatur dan juga snob musik. Pertanyaan yang saya gunakan sebagai judul tulisan kali ini memang berlandaskan kekhawatiran saya beberapa waktu ke belakang ini. Pasalnya, apabila ditelusuri lebih seksama beberapa tahun (atau dekade) ke belakang ini, jumlah terbitan buku yang membahas berbagai fenomena musik jumlahnya jauh lebih sedikit dibandingkan dengan karya yang berupa musik itu sendiri.

Tanpa maksud menjadi pretensius, saya pun memahami betul akan dinamika perkembangan format informasi yang semakin pesat pada era sekarang. Minat untuk membaca teks mulai tergantikan oleh paparan audio visual yang lebih mudah dicerna oleh banyak orang dan tentu lebih menghibur daripada harus menghabiskan waktu lama untuk membaca ratusan paragraf berketikan mungil yang membuat mata sakit.

Hal itu pun terjadi dalam pendistribusian informasi di ranah musik. Kini berbagai macam video podcast yang membahas berbagai fenomena dan sejarah musik tersedia sangat banyak dan sangat diminati oleh banyak orang – dan rasanya semakin mengalahkan urgensi untuk membaca buku musik demi menuntaskan rasa penasaran akan sebuah bahasan yang terjadi di ranah musik.

Itulah yang membuat saya melontarkan pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini.

Apakah buku musik masih relevan sekarang ketika format paparan informasi semakin dinamis? Apakah masih ada orang di luar sana yang masih mau menghabiskan waktunya berhari-hari atau bahkan berbulan-bulan untuk mengumpulkan berbagai macam data dan mengolahnya menjadi sebuah karya literatur yang komprehensif macam format buku?

Jawabannya ya dan tidak. Menyebalkan bukan?

Saya paham betul ketika minat untuk membaca buku musik semakin berkurang karena memang trennya sedang tidak berada di sisi tersebut. Tentu saya pun tidak akan semena-mena menganggap hal tersebut adalah hal yang buruk. Toh setidaknya, apabila informasi yang disajikan dalam bentuk lebih ‘modern’ memang lebih menarik dan komprehensif, kenapa tidak? Saya pribadi pun menyukai sebuah format paparan informasi di ranah musik yang disajikan dalam format multimedia. Karena kesannya lebih luwes dan kasual. Informasi yang dipaparkan pun biasanya akan lebih spontan dan fakta baru pun tak terelakkan untuk dikuak apabila format paparannya digubah dalam bentuk tersebut.

Di sisi lain – seperti yang sudah saya sebutkan di awal tulisan – saya pun meyakini bahwa format buku musik masih sangat relevan sampai hari ini. Bahkan sampai berapa puluh tahun ke depan. Karena, saya yakin paparan informasi yang bersifat tekstual akan lebih abadi dan terarsipkan secara lebih sahih – juga dapat dikembangkan lebih jauh dari tujuan awalnya, misal diskursus akademis yang bisa menguak pembahasan baru di ruang lingkupnya.

Mungkin ini terkesan kolot atau naif, tapi saya masih percaya bahwa teks adalah sebuah pemicu theater of mind yang paling efektif. Dalam konteks pembahasan musik, mungkin ketika ada sebuah paparan dari narasumber dalam suatu podcast atau video talk show musik yang menceritakan sebuah peristiwa historis di dunia musik yang spesifik, alam bawah sadar kita akan mencoba untuk menerka dan mereka ulang cerita tersebut di dalam kepala kita lewat intonasi dan ekspresi sang penutur yang tersimak.

Namun bagi saya pribadi, saya bisa lebih mudah merekonstruksi peristiwa tersebut apabila dipaparkan dalam bentuk tulisan. Karena rangsangan dari teks yang bersifat ‘lempeng’ dan non-ekspresif bisa membuat alam bawah sadar saya lebih liar untuk menentukan pengalaman visual personal yang terjadi di dalam kepala saya tersebut. Menggelikan bukan? Tapi setidaknya itu yang saya rasakan ketika membaca sebuah buku. Dan saya yakin kalau saya tidak sendirian yang merasakan sensasi macam itu.

Kancah musik memang selalu tak ada habisnya untuk dibahas dan diperbincangkan. Mau itu dari segi karya mau pun polah tingkah para pegiat di dalamnya. Namun saya harap, masih ada yang mau para penulis dari kancah tersebut yang sedikit memaksakan dirinya untuk menulis sebuah buku akan suatu bahasan dari ranah musik secara lebih komprehensif.

Saya pribadi punya keyakinan akan sebuah konsep bahwa sebuah buku musik adalah sebuah karya literatur yang paling mumpuni untuk menyajikan sebuah paparan bersifat historis mau pun opini. Karena buku adalah sebuah format yang dari zaman antah berantah sampai era sekarang yang masih relevan untuk dijadikan sebagai sebuah rujukan yang komprehensif untuk berbagai diskursus yang berkaitan dengannya.

So, there is nothing really wrong for being old-school and doing it the old way.

BACA JUGA - Mereka yang Akan Menggeser Tren Musik Pop

Prabu Pramayougha

Prabu Pramayougha adalah personil band poppy punk rock asal Bandung, Saturday Night Karaoke dan juga seorang buruh tulis, penyunting artikel, dan konseptor beberapa program multimedia di sebuah media musik di Bandung.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner