Memaknai Sadisme Sebagai Seni

Memaknai Sadisme Sebagai Seni

Tubuh adalah bagian personal, dan menjadi benteng pertahanan terakhir untuk segala macam bentuk saluran ekspresi. Ada sebuah fase dimana tubuh harus bergerak sendiri berdasarkan intuisi, dan mengikuti kehendak hasrat, tanpa harus sejalan dengan sensor motorik yang diperintahkan oleh otak. Ketika alam bawah sadar  mencoba mengeluarkan sensasi-sensasi diluar batas kewajaran, sehingga tubuh seolah dipaksa mampu menerima, dan memahaminya sebagai sebuah perintah kewajaran. Untuk bisa masuk situasi tersebut dibutuhkan sebuah stimulant atau perangsang. Apapun itu bentuknya, perangsang  tersebut berfungsi mengalihkan kesadaran untuk masuk sebuah dimensi yang sarat sensasi, yaitu dimensi alam bawah sadar.

Ketika masuk di wilayah alam bawah sadar, maka tubuh seolah hilang sensor. Seperti seniman kuda lumping, yang menjadikan tubuhnya sebagai media dan wahana untuk menciptakan “karya seni”. Menjadikan tubuh sebagai bagian dari aksi mempertontonkan kesadisan. Ada tubuh yang dicambuk, ada tubuh yang ditusuk dan disakiti. Atau lihatlah bagaimana seorang seniman debus yang memperlakukan tubuh sebagai media berekspresi, dalam melakukan kegiatan estetika. Lidah yang dipotong, kepala yang dibacok hingga putus, tangan yang disayat, dan aksi lainnya yang mengumbar darah dan kesadisan. Tubuh menerima itu sebagai bagian dari ekspresi estetika.


Artwork 'Guttural Disease - Periodical Torment' - Foto: Reverbnation

Hal tersebut dilakukan juga oleh para artis illustrator yang terbiasa membuat artwork bertemakan goreMereka menjadikan tubuh sebagai tema dan lahan untuk melakukan kegiatan eksplorasi estetika yang mengumbar sadisme. Bukan tubuh mereka sendiri, yang dieksploitasi melainkan tubuh-tubuh imajiner yang tercipta dari alam bawah sadar. Tubuh yang muncul dari alam bawah sadar, yang dirangsang oleh musik-musik yang mereka konsumsi. Hantaman ketukan drum blast beat, distorsi rapat gitar pada frekuensi low, teriakan scream dan guttural, dengan lirik-lirik yang mengumbar sadisme, pembunuhan, mutilasi, dan pembantaian, menjadi gerbang yang menghantarkan mereka memasuki alam bawah sadar paling gelap, sunyi, dan mencekam. Alam dengan aroma serpihan daging busuk dan harum darah segar.

Mereka menjadikan alam bawah sadar jadi sebuah ruangan otopsi bagi tubuh-tubuh imajiner. Dengan bebas mereka ‘mengacak-acak’ tubuh dan organ tersebut. Dengan bebas mereka melakukan kegiatan mutilasi, dan mempraktekan aksi kanibalisme. Menelanjangi tubuh, memenggal kepala, mengurai usus, dan mengkonsumsi organ tubuh. Bahkan beberapa diantara mereka menjadikan alam bawah sadar sebagai laboratorium genetic, dan melakukan eksperimen dengan menciptakan mahluk-mahluk menyeramkan. Menciptakan monster-monster mutan dengan anatomi dan bentuk yang absurd. Semuanya tertuang dalam aneka rupa gambar yang ada dalam sampul CD, poster, dan kaos band yang mengusung tema gor.


Artwork 'Turbidity ‎– Vomiting The Rotten Maggot' - Foto: discogs.com/

Sadisme dan ketelanjangan adalah sesuatu yang puitis, sebuah petikan kalimat yang diungkapkan oleh Quentin Tarantino. Seorang sutradara film yang dalam setiap filmnya selalu mengeksploitasi kekerasan, erotisme dan sadisme. Tarantino berpendapat karena ada sebuah realitas yang dijadikan metafora dan dieksplorasi secara detil, melalui tubuh dan aneka makhluk yang sengaja diciptakan. Ada warna darah yang menggambarkan sifat marah, dan adegan kekerasan yang menggambarkan realitas sosial yang terjadi. Aneka bentuk organ tubuh yang diumbar, ekspresi wajah kesakitan dengan gerakan lambat, yang dapat dinikmati setiap detilnya. Setiap ‘rasa’ yang terkandung didalamnya adalah ruh yang juga menyertai setiap proses dalam menciptakan karya, dan mempunyai makna yang sangat personal. Terlepas pada akhirnya apa yang mereka hasilkan menjadi bagian dari komodifikasi sebuah produk ‘seni pakai’. Makna karyanya tereduksi kedalam produk film, baju, dan pernik merchandise lainnya, sesuai dengan keinginan para ‘pemesan’. Menjadi barang-barang yang mengalami proses duplikasi, dan diproduksi secara masal.


Artwork 'Expendiency - Sadistic Murder' - Foto: Extreme Souls Production

Tidak ada yang salah dalam proses ini karena sifat seni adalah universal, seperti keindahan itu sendiri. Karena sifat inilah seni tidak menjadi milik, dan dominasi salah satu kelompok dalam masyarakat. Ia harus bisa difahami dan dimaknai oleh siapa pun juga. Tidak perlu menunggu seseorang itu mempunyai deretan gelar lebih dulu untuk memaknai sebuah karya seni. Tidak perlu juga ada aturan-aturan tertentu yang cenderung mengada-ada untuk memaknai mana seni, pornografi dan sadisme.

Seni dan segala ekspresi yang terlahir merupakan penyokong citra moral, apabila ia ditampilkan dengan wajah seni yang sesungguhnya. Tapi seni dapat menjadikan moral berada pada nilai terendah apabila ia ditampilkan dengan wajah pornografi dan sadisme. Karena pada akhirnya kekerdilan sebuah pola pikir ditentukan seberapa jauh ia bisa menilai mana seni dan mana pornografi, dan mana yang menyembunyikan wajah aslinya, dengan berlindung pada wajah keindahan atas nama seni.

Ranah musik bawah tanah Kota Bandung tidak akan pernah sama jika Addy Gembel tidak hadir di era '90an. Bersama grup musik ekstrim yang dinamai Forgotten, ia lantang menyuarakan tentang hal-hal provokatif dan kontroversial, dengan dua jenis pilihan bahasa: frontal dan sangat frontal. 

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner