May Day dan Munculnya Lagu-lagu Perlawanan

May Day dan Munculnya Lagu-lagu Perlawanan

Sementara peringatan Hari Buruh di Indonesia terjadi pada tahun 1921. Saat itu HOS Tjokroaminoto ditemani muridnya, Sukarno, berpidato mewakili serikat buruh di bawah pengaruh Sarekat Islam. Pada 1923, Semaun, Ketua Umum Partai Komunis Indonesia (PKI), berpidato. Ia menyerukan pemogokan buruh. Momentum Hari Buruh digunakan PKI untuk menggalang kekuatan.

Pada tahun 1926 mereka melakukan aksi kudeta menggunakan elemen buruh dan petani dengan menggelar aksi pemogokan masal dan aksi ini berhasil digagalkan. Sejak peristiwa tersebut, tekanan terhadap serikat buruh terutama yang terafiliasi dengan partai komunis oleh pihak militer pun terjadi di mana-mana. Hingga, akhirnya seorang seniman musik Muhammad Arie dari Banyuwangi yang aktif di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) sebagai sayap kebudayaan Partai Komunis Indonesia pada tahun 1942 menciptakan lagu "Genjer-Genjer". Lagu tersebut memberikan gambaran kondisi warga Banyuwangi yang sengsara saat penjajahan Jepang.

Pada peringatan Hari Buruh 1 Mei 1948, ada sekitar 200 sampai 300 ribu orang berkumpul di alun-alun Yogyakarta. Kumpulan massa yang didominasi kelas pekerja dan petani tersebut  kemudian berkembang menjadi aksi demonstrasi besar dalam bentuk tuntutan kepada pemerintah. Puncaknya adalah pada tanggal 19 Mei 1948 ribuan buruh dan petani mogok. Saat itulah nyanyian lagu "Genjer-Genjer" kerap berkumandang menghiasi setiap aksi demonstrasi.

Mereka menuntut pembayaran upah yang tertunda setahun lamanya, hingga akhirnya Perdana Menteri Mohammad Hatta mengadakan pertemuan dengan pimpinan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) pada 14 Juli 1948, pemogokan berhenti. Pada tahun 1962, lagu  “Genjer-Genjer” menjadi populer ketika dinyanyikan ulang oleh Bing Slamet, juga Lilis Suryani.

Pada masa pemerintahan Sukarno, banyak penyanyi memainkan lagu ini dan menjadikan lagu ini popular di kalangan akar rumput, bersanding dengan lagu "Nasakom" yang diciptakan oleh Sukarno. Lagu yang menggambarkan penderitaan masyarakat desa ini lantas dipakai Partai Komunis Indonesia dan dijadikan alat untuk berkampanye. Begitu lekatnya lagu ini dengan PKI, maka stempel sebagai lagu komunis pun melekat. Hingga akhirnya meletus peristiwa 30 September 1965 dan menyeret PKI sebagai pihak yang hendak melakukan kudeta.

Ranah musik bawah tanah kota Bandung tidak akan pernah sama jika Addy Gembel tidak hadir di era '90an. Bersama grup musik ekstrim yang dinamai Forgotten, ia lantang menyuarakan hal-hal provokatif dan kontroversial, dengan dua jenis pilihan bahasa: frontal dan sangat frontal.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner