Masih Relevankah Pansos dalam Dialektika Bermusik?

Masih Relevankah Pansos dalam Dialektika Bermusik?

Mungkin karena saya anak daerah, secara alamiah kebanyakan nalurinya selalu tercipta memuja band-band atau orang-orang penting di luar pulau, sekali lagi, kebanyakan loh ya, walaupun gak ke semuanya. Memang, karena kebanyakan anak daerah itu awalnya ingin membuka jejaring pertemanan seluas-luasnya, tinggal di daerah harus memberlakukan itu, seperti kata Wendi Putranto, manajer Seringai atau direktur produksi M Bloc semasa di majalah Rolling Stone: “Akbar Haka, anak daerah dengan perkawanan Indonesia.” Tuh kan! EH!!! Ada indikasi pansos lagi saya.

Terkadang suka ingin senyum jika ngobrol ketemu orang baru yang berada di frekuensi yang sama dengan saya dulu. Bercerita kenal dengan orang-orang yang dia anggap penting di industri musik Indonesia, dan malah ada beberapa nama yang disebutkannya seperti yang saya ceritakan di atas tadi. Serasa ingin berkata, "Eh, tau gak? Dia itu......"

Lalu, seperti trivia bahan diskusi dengan teman-teman saya, masih relevan gak sih di era sekarang jika ada yang menggunakan pola pansos seperti ini? Di tengah arus digitalisasi karya musik yang begitu cepat dan hebat, gen Z yang udah mulai gak peduli mau kamu kenal dengan siapa? Kamu temannya siapa? Kamu pernah di label apa? Bodo amat! Selama karya bermusik kamu masuk di kuping dan visualisasi mereka, udah otomatis kamu bakal dapat tempat di songlist Spotify mereka.

Ah, sekali lagi ini mungkin hanya curahan tulisan akibat tiarap berkepanjangan efek badai Covid-19 dan di rumah aja. Silakan dicerna dengan persepsi masing-masing, pada dasarnya kita manusia itu makhluk ternarsis di dunia, pansos menjadi elemen penguatnya. Adapun paragraf yang di tengah? Itu juga ada indikasi pansos mengalir tivis tivis.


Akbar Haka
Tenggarong, Juni 2020

Akbar Haka lahir di Tenggarong, 19 Februari 1983. Anak ketiga dari 4 bersaudara dan Ayahnya Drs. Halidin Katung yang disingkat menjadi akhiran namanya "Haka" adalah seorang gitaris band rock terkenal di Kalimantan Timur - D'Gilz pada medio akhir 1970-an. Selepas menamatkan SMA 1 Tenggarong pada tahun 2000, Akbar merantau ke Bandung hingga 2005, lalu pindah ke Jakarta (2005-2007), lalu kembali menetap di Tenggarong sebagai kecintaannya pada kampung halaman dan bercita-cita meledakkan nama Tenggarong, Kutai Kartanegara di Peta Musik Keras Nasional.

Perlahan cita-citanya terwujud saat mendirikan Kapital (2005) sampai sekarang, dan telah memiliki 6 album penuh, mewakili Indonesia dalam Heartown Rock Fest Taiwan 2018, dan saat ini sedang berproses untuk album ke tujuh "MANTRA".

Membentuk skena musik keras di Tenggarong bernama "Distorsi" yang kemudian melahirkan event rock berskala internasional KUKAR (Kutai Kartanegara) Rock In Fest dan ROCK IN BORNEO yang tercatat dalam rekor MURI sebagai festival rock terbesar dan gratis di Indonesia dengan catatan 80 ribu penonton.Juga aktif tercatat sebagai Music Director untuk Lembaga Pembinaan Kebudayaan Kabupaten Kutai Timur yang membawa Akbar Haka bersama sanggar-sanggar Tari Dayak atau pun Kutai berkeliling Eropa sebanyak dua kali, kemudian Shanghai, Vietnam, Singapura dan beberapa pertunjukan tradisi di dalam dan luar negeri.

Terobsesi oleh hampir semua karya tulis dari Tan Malaka, dan yang paling melekat dalam persepsi Akbar Haka adalah Terbentur, Terbentur, Terbentur...... Terbentuk!

View Comments (1)

Comments (1)

  • Blk55
    Blk55
    16 Jun 2020
    ???✊
You must be logged in to comment.
Load More

spinner