Masih Relevankah Pansos dalam Dialektika Bermusik?
Awalnya gak ngeh mungkin, ya? Setiap bermain ke daerah-daerah yang jika dalam bahasa korporat disebut second city atau kota kecil, tentu saja saya selalu bercerita dengan teman teman di kota-kota tersebut bahwa saya kenal dengan si A, si B dan seterusnya yang notabenenya menjadi sel-sel penting dalam industri musik Indonesia, termasuk anggota-anggota band terkenal yang dianggap cukup berpengaruh. Sudah barang tentu tak ketinggalan sebagai bahan dasar narasinya.
Tentu, tujuan dari kerangka obrolan ini dibangun muaranya ingin menunjukan bahwa saya KENAL dengan banyak orang, agar akhirnya juga “bisa” dianggap PENTING. Pansos AMZING!!! Ingin mengambil tempat yang sungguh gak penting.
Hingga takdir besar berikutnya, Tuhan menyalurkan syahwat dalam frekuensi musik saya untuk membidani lahirnya festival bertaraf Internasional bernama 'Rock In Borneo' di Tenggarong. Semuanya seperti plot twist; beberapa nama tokoh kebanggaan yang sering masuk dalam narasi bahan obrolan dan kalau saya ceritakan selalu dengan racikan dramatisasi bumbu berapi-api malah membuat ilfeel.
Ada yang terlibat sedikit diskusi pertengkaran, karena saya anggap terindikasi ingin menipu dalam hal pitching band internasional, ada yang terlibat utang piutang dalam jumlah besar hingga hari ini karena sebuah event internasional, ada yang terlihat norak mengajak party keluar band US yang saya undang tanpa pamit dan berujung saya ngamuk-ngamuk kepada LO yang bertanggung jawab akan keselamatan band asing tersebut, dan malah ada pula yang awalnya sombong dan ngartis banget kemudian malah meneror saya dengan keakraban yang seperti sudah tercipta puluhan tahun demi bandnya bisa bermain di Tenggarong. Setelah selesai main di Tenggarong, kembali sombong. Sialan! Kemudian, masih banyak lagi.
Jangan ditanya tentang personal chat percuanan duniawi, bergidik, ada banyak jumlahnya. Akhirnya, saya tersadar, seperti memegang kabel kipas angin yang telanjang, listriknya lumayan bikin intuisi kita untuk berkata, "Gak bakal dua kali!" Malu sendiri, malu dengan siapa? Malu dengan teman teman di daerah yang dulunya dengan polos mendengarkan cerita saya, bisa jadi ada beberapa di antara mereka bergumam di dalam hati PANSOS AMZING! Dan jika diingat-ingat lagi ketika Kapital berkunjung ke kota mereka, ada beberapa skena yang ramah dan friendly banget, dengan jamuan yang super, malah beberapa bahan obrolannya terdengar tulus tanpa tendensi terselubung, bisa jadi malah ini adalah wujud perkawanan yang sehat pada kenyataannya.
Comments (1)