Koes Plus dan Misi Rahasia Tanah Air

Koes Plus dan Misi Rahasia Tanah Air

Era ketika presiden Soekarno masih berkuasa, sejarah musik Indonesia pernah mencatatkan sesuatu yang menarik, lewat sebuah keputusan yang cukup kontroversial dari presiden Soekarno yang memenjarakan grup musik Koes Plus (yang saat itu masih memakai nama Koes Bersaudara), karena memainkan musik barat, yang bisa dituduh tidak mencerminkan budaya bangsa. Namun alasan pastinya mungkin masih banyak yang belum kita tidak ketahui mengapa Koes Plus bisa masuk penjara di rezim presiden Soekarno pada saat itu. Dari berbagai sumber buku, penulis, serta pengamat musik nasional banyak yang membedah kasus ini, dari lapis permukaan masyarakat sampai para penikmat karya dari Koes Plus.

Bermula dari ‘fatwa’ seorang presiden Soekarno bahwa rakyat Indonesia harus anti musik ‘ngak ngik ngok’ (istilah yang digunakan bung Karno sebagai padanan kata yang menunjukan sikap anti music Rock and Roll). Menurutnya, music-musik yang berasal dari luar harus enyah dari daratan bumi Indonesia, yang tak lain adalah kepentingan politik Negara, karena presiden Soekarno tak mau kalau bangsa dan rakyat Indonesia masih terpengaruh dari  Negara-negara yang pernah menjajah tanah air kita.

Seperti apa yang tertangkap dari kutipan pidato bung Karno pada saat HUT GMNI 1965 yang berbunyi seperti ini : "JANGAN SEPERTI KAWAN-KAWANMU KOES BERSAUDARA. MASIH BANYAK LAGU INDONESIA, KENAPA MESTI ELVIS-ELVISAN, BER-NGAK-NGIK-NGOK". Sebuah kutipan yang berasal dari Djon Koeswoyo, putra tertua dari Tonny Koeswoyo (diambil dari kutipan buku kisah dari hati Koes Plus, terbitan tahun 2015).

Lalu apa hubunganya grup musik Koes Bersaudara/Koes plus dengan rezim saat itu? Tentu jelas saling berhubungan. Sang pemilik rezim (presiden Soekarno-red) menolak musik demikian, sedangkan musik-musik Koes Bersaudara menganut aliran Rock and Roll, yang terpengaruh dari band besar asal Liverpool, Inggris, seperti The Beatles dan penyanyi solo Rock and Roll nyentrik Elvis Presley.

Hingga hal ini mungkin akan menimbulkan pertanyaan tentang kapan dan kenapa Koes Bersaudara dipenjarakan  pada rezim bung Karno? Tepatnya pada tanggal 29 Juni 1965, di Glodok, Jakarta pusat, Koes Bersaudara masuk penjara di rezim bung Karno, yang membuat masyarakat dan media bertanya mengapa mereka harus masuk bui tanpa alasan?

Ternyata rupanya grup musik Koes Bersaudara yang terdiri dari Tonny Koeswoyo, Nomo Koeswoyo, Yok Koeswoyo, dan Yon Koeswoyo menjadi salah satu misi negara yang dibentuk oleh bung Karno melalui utusan kolonel laut Koesno, seorang perwira dari KOTI ( Komando Operasi Tertinggi ) sebagai bagian misi intelegent negara untuk memata-matai Malaysia, yang antipati terhadap tanah air kita.

Sebuah misi yang sengaja dibuat oleh bung Karno dengan memanfaatkan popularitas Koes Bersaudara di negri jiran, Malaysia, yang dari awal tidak setuju dibentuknya negara Malaysia bentukan Inggris (dulu bernama Malaya). Skenario yang dibuat oleh bung Karno memang benar-benar hanya Koes Bersaudara dan bung Karno yang tahu. Dibuatnya polemik seakan-akan bung Karno dan rakyat Indonesia sangat benci dengan Koes Bersaudara, dengan memberi kesan setelah keluar nanti Koes Bersaudara akan hijrah dari tanah air ke Malaysia, lalu diterima oleh pemerintah dan rakyat Malaysia, sehingga praktis Koes Bersaudara mudah mengamati politik negeri Malaysia.

Singatnya, pada tanggal 24 Juni 1965, tepatnya saat Koes Bersaudara diundang pesta dikediaman bapak kolonel laut Koesno di Jl Djati Petamburan II A pada 24 Juni 1965, pesta yang berjalan meriah itu tiba-tiba saja dibuat riuh dengan kerumunan  masyarakat yang berteriak “Ganyang Nikolem dan ganyang Ngak Ngik Ngok”, lagu-lagu The Beatles dan lagu barat popular, yang memang dilarang pada rezim pemerintahan bung Karno. Hingga akhirnya pada tanggal 29 Juni para personil Koes Bersaudara harus mendekam di tahanan kejaksaan, di jalan Gajah Mada, sebelum mereka dipindahkan ke penjara Glodok .

Dikutip dari buku ‘Kisah Dari Hati Koes Plus’, edisi thn 2015, grup musik Koes Bersaudara pada waktu itu memang dirancang sedemikian rupa sebagai korban karena membawakan lagu-lagu The Beatles. Ketidaktahuan Koes Bersaudara  membuat Tonny Koeswoyo, kakak mereka sekaligus leader di Koes Bersaudara merasa dikorbankan, dan melampiaskan kekecewaannya dalam album To The So Called The Gulties, yang mengisahkan pengalaman mereka di penjara.

Intimidasi didalam penjara pun tak luput mereka rasakan saat baru memasuki penjara Glodok. Sambutan pekikan ketika mereka memasuki lorong-lorong sel, teriakan ‘tahanan baru’ membuat suasana bagi para personil Koes Bersaudara terasa amat sangat mencekam, hingga dalam suasana yang sama mereka dikejutkan oleh sosok yang sudah lama dikenal Yok Koeswoyo, seseorang  preman wilayah pasar Mayestik di bilangan Kebayoran Baru, yang bernama Bambang Sembuto. “Hee biarkan mereka masuk, itu teman-temanku dari Koes Bersaudara", begitu ujarnya. (kutipan surat kabar Kompas, 13 oktober 2004). Teriakan koor penghuni lapas pun berubah “hidup Koes Bersaudara … Koes Bersaudara … hidup Koes Bersaudara”, suara yang terdengar lebih merdu daripada sambutan penonton pada saat Koes Bersaudara manggung, ujar Yok Koeswoyo dengan gaya tawanya.

Namun suasana mencekam pun mereka rasakan kembali menjelang keluar dari lapas Glodok, saat terjadi perkelahian massal antara dua kelompok etnis tertentu di penjara Glodok. Mereka menuturkan jika amat sangat mengerikan melihat tubuh korban lawan itu dipotong-potong, dan cipratan darahnya membasahi dinding-dinding penjara. (sumber laman kompas 13 oktober 2014)

Sampai akhirnya pada tanggal 29 september 1965 mereka dibebaskan begitu saja pada malam hari. Hal ini membuat Koes Bersaudara pun terheran-heran pada saat mereka keluar dari penjara Glodok, dan mereka melihat banyaknya kendaraan lapis baja yang berhulu hilir di jalan raya ibu kota. Mereka pun tidak menegtahui kalau dini harinya Indonesia mengalami masa sejarah yang amat kelam, yakni peristiwa G30S. Jika tidak terjadi peristiwa G30S (gerakan 30 September 1965) Koes Bersaudara sudah hampir pasti dikirim ke Malaysia dalam melaksanakan misi negara, namun karena peristiwa ini misi pun gagal dijalankan, sehubungan dilengserkannya presiden Soekarno dari jabatannya.

Epilog dalam tulisan ini saya tulis dari berbagai sumber buku dan narasumber bahwa Koes Bersaudara bukan hanya sebuah band, melainkan mereka (para personil Koes Bersaudara) Tony, Nomo, Yon, dan Yok Koeswoyo, bagi saya mereka lebih dari sosok band idola yang menginspirasi di belantika musik nasional. Mereka adalah pahlawan Indonesia, yang rela mengorbankan jiwa raganya untuk masuk dalam misi negara.

Memang mereka tidak berjuang dengan perang yang bermandikan darah seperti para pejuang nasional lainnya, tapi bagi saya Koes Bersaudara adalah pahlawan music, sekaligus pahlawan nasional asal Tuban, Jawa timur yang gigih dan mungkin tidak akan pernah dialami dengan band-band masa kini yang rela mengorbankan jiwa dan raganya untuk tanah air.

Menariknya lagi, ketika memakai nama Koes Plus (Tonny, Yon, Yok, Kasmurry) di era orde baru (masa pemerintahan presiden Soeharto) pun mereka melanjutkan misi untuk mengintai Timor Leste, yang pada saat itu presiden Soeharto ingin mengetahui mana saja masyarakat Timor Leste yang pro dengan tanah air dan Portugis pada tahun 1974, sebelum mereka lepas dari tanah air dan memerdekakan diri pada tahun 1999 silam.

Pertanyaannya sekarang adalah, wajar atau berlebihankah kalau Koes Bersaudara/Koes Plus saya anggap sebagai pahlawan nasional?

Botrok, seorang penggiat, penikmat, dan penulis tentang musik. Ia aktif di komunitas musik dan banyak berkecimpung di aktivitas beberapa grup musik yang berbasis di Lampung.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner