Jakarta Vodkabilly (Part 1)

Jakarta Vodkabilly (Part 1)

Bercampur dengan para slick rocker dan minum seperti di tahun 50an

Oleh  Rio Tantomo

They say that death kills you, but death doesn’t kill you. Boredom and indifference kill you.

                                                                                                                        - Somefuck

Pita hitam di lengan kiri Leonardo Ringo dan segenap Impeccable Six, band pengiringnya malam itu adalah milik mendiang Rully Annash, pemain drum The Brandals dan juga kubu hardcore Petaka. Rully, teman mereka dan teman kita semua berusia 38 tahun, wafat pada dini hari sebelumnya dalam sebuah serangan jantung mendadak. Sebuah hari yang dibuka oleh berita duka dan tidak ada satupun dari kita yang percaya pada awalnya. Bangsat, memang, itu seperti hari biasanya saja. Sekarang Rully sudah tidak ada dan itu membuat saya marah sekaligus sedih ketika tahu dia yang lebih terpilih ketimbang badut macam Setya Novanto dan cecunguk sejenisnya; mereka yang terus dibiarkan bebas diternak dan berkeliaran. Ini dunia yang aneh. Orang-orang aneh yang berjalan di atas dunia yang aneh.Beberapanya dapat hidup kaya dan makmur, sementara yang lainnya cuma bisa makan tahi dan menunggu mati. Di tempat penuh maling yang dilindungi seperti negara kalian ini, satu-satunya kebodohannya adalah ketika akhirnya tertangkap. Sisanya, res ipsa loquitur. Terlalu menyebalkan untuk ditulis lebih lanjut. Kita semua tahu itu.Leo and The Impecable Six

Kata orang kematian mampu mendamaikan jiwa, bagi saya itu hanya suatu penyelesaian. Ya selesai, tamat seperti cerita. Tidak ada alasan lain, apalagi soal penebusan atau pembalasan karena sudah seharusnya jiwa Rully damai di manapun sekarang dia berada.

Bagi Leo, panggilan akrab penyanyi itu, kehilangan Rully mengingatkannya akan hari-hari di hampir lima belas tahun lalu ketika dia tengah memanajeri lima anak rusuh The Brandals yang menggasak rock & roll sekasar jerawat aspal Klender-Pondok Gede. Salah satu era terliar yang pernah dialaminya, mungkin, sehingga sangat dipahami jika efek sampingnya telah membuat pandangan ke belakangnya agak kabur sekarang ini.

“Sekitar 2001 atau 2002,” kata Leo, “gue setiap hari ketemu mereka. Nongkrong bareng, mabok bareng, segala macem bareng. Dapat duit dari gig cuma habis buat beli mabokan. Itu jaman Brandals masih cocok sama namanya.”

Leo and The Impecable Six

Jadi pada Sabtu malam yang mati angin itu Leo merayakan panggung Monkeylada-nya untuk Rully Annash. Menghentikan sisa kesedihan dengan menyalakan kembali gejolak pinggul dan pundak boogie woogie di tengah festival rimbun kota. Rasanya seperti besok Natal, turun salju setiap kali band memainkan Swing ‘n Jingle bagai di tahun 1933. Menghapus duka dengan vodka – gembira, dansa dansi rockabilly, terus kuras kaleng-kaleng bir dari kotaknya – glorify this tragedy karena setiap orang yang mati berhak atas romantismenya sendiri-sendiri.

Bersama rombongannya – saya terlebih dahulu ingin meyebutkan mereka satu per satu; dari sebelah kiri, suhu band, yang selalu terlihat menyelipkan rokok di bibirnya, pemain kibord Dharmo Soedirman. Berdiri dengan bas betot dan batok licin yang diperhalus topi pet, Susan Agiwitanto. Di belakang drum dengan wajah kalem, Christo Putra, serta tidak ketinggalan jajaran brass yang terus menyahuti nomor klasik Louis Prima Just A Gigolo/I Ain’t Got Nobody, Daniel Sukoco di bariton saksofon, Wahyu Maliki trombon dan Andreas ‘Ucok’ Pardede pada terompet – Leo meyakinkan itu. Sementara dia memimpin dari tengah dengan gestur crooner urban Tom Waits dan Gibson Hollow-body; menggeram, mengerang, merintih bernyanyi mengiringi permainan suaranya sendiri dengan koor penonton.Leo and The Impecable Six

Selagi itu saya berdiri di belakang mereka, berharap gelas ini dapat terisi kembali. Apa saja boleh – wiski, vodka tidak masalah, asal jangan soda –  selama dapat meredam amarah. Mengaduknya bersama keriangan ini, on the rocks, diseruput pelan-pelan seperti pucuk melati. Sayangnya, saya bukan pedansa yang baik, dan dalam keadaan ini belum cukup minum untuk, misalnya tiba-tiba melakukannya di bawah sana seperti kemarin-kemarin. Tidak malam itu, pikir saya, fungsi saya sedang berbeda.

Di depan mereka – sebenarnya saya lupa seperti apa pemandangan di depan mereka ketika itu. Ingatan yang muncul berikutnya adalah sesaat setelah pindah ke barisan penonton dan berbaur, di mana lantai dansa – ini bukan lantai, tapi rumput botak yang diinjak-injak oleh seratusan orang atau kurang, sebab agak sepi dikarenakan satu alasan mendasar tentang kultur  pemalu yang sering kurang mendukung suasana.

Tetapi tetap ada, lagipula band ini adalah ahlinya. Persona Leo mampu menyundut suasana mati gaya yang berbahaya bagi sebuah pertunjukan festival. Beberapa orang yang akhirnya mendekat tidak rikuh untuk sekadar menghidupkan bahu mereka, memanggutkan dagu malu-malu, tak kuasa menahan, mengikuti – kita namakan saja ini – gelegak yang seketika timbul. Saya mengerti perasaan itu, termasuk yang malu-malu. Ini rock & roll dan bergelegak adalah gairah murninya. Jadi silakan bergerak, itu lebih baik dan tentu saja bukan suatu yang berlebihan. Kalau perlu luapkan, buang kekikukkannya.

Leo and The Impecable SixDan ketika penonton semakin rimbun ke depan, saya memilih mundur untuk merokok semak di belakang. Tidak apa, saya hanya tidak ingin baunya merusak sekitar, itu saja. Lagipula berada di bawah lampu sorot terlalu lama tidak baik bagi perkembangan kepala. Jadi saya melanjutkan pertunjukan dari sebelah pohon besar yang batangnya cukup lega tapi tertutupi kerumunan daun tak jauh dari panggung; kabur dari pandangan malam ketika mendengar band ceria membawakan nomor yang akhirnya saya tahu sekarang bernama Midnight Hooray. Temperatur meringan. Santai hingga setengah sadar menerbitkan satu senyum dari lekuk sendiri, yang tentu saja merupakan pertanda baik dalam kondisi seperti ini.

 

Leo and The Impecable Six

Hidup masih tetap aneh, dan tampaknya akan selalu begitu. Satu-satunya cara yang paling waras adalah, akhirnya dengan ikut menjadi aneh... Dan di sini, di atas ketikan ini, saya sudah merasa aneh sendiri sepanjang dari tadi menyerocos hanya untuk membuka satu cerita ini. Dasar gonzo, bangsat, saya hampir saja kehilangan iramanya, yang mungkin juga berlebihan; “Stephanie Says”, hantu pocong selamanya. Tapi juga tahu kalau ini tidak bisa dilakukan lebih baik dari Raoul Duke yang disengat gurun pasir bersama paus merah dan pesta ether besar-besaran. Siapa yang bisa? Itu orang gila di atas dunia yang gila. Jadi, persetan. Saya akan menyontek setololnya saja untuk yang satu ini. Siapa peduli juga seberapa panjangnya. Ini hiburan bebas. Lakukan atau tinggalkan sekarang: jurnalisme eksploitasi, sebuah cerita tentang siapa saja yang masih waras untuk tetap mengikuti.

Siapa?

Bandit Cipinang: Borock N’ Roll

Borock 'n' Roll

CAMDEN BAR, November 2015. Mungkin sudah hampir setengah malam sejak saya terdampar di sebuah meja dengan segelas vodka jeruk yang baru saja dituangkan. Itu seperti ronde kedua setelah dua pint pilsener dan sebongkah indica sebelumnya. “Sikat, kalau udah habis gua isi lagi,” kata anak itu, pemuda kurus dengan sweater sekumal rambut tanggung selehernya. Dia mendudukkan saya di sebuah meja bersama dua orang lainnya, seorang fotografer dan seorang lagi yang sudah tampak kebanyakan minum hingga terlihat cukup konyol untuk menggantung kacamata Buddy Holly-nya di lubang hidung.

“Gua mau lo ketemu orang ini,” kata anak kumal itu menggiringkan tangan, “gitaris Borock N’ Roll, lo tahu, kan? Habis ini mereka bakal main.”  

“Oh, halo!” senyum saya. “Pernah dengar tapi belum pernah nonton.”

Orang yang dimaksud itu kemudian membenarkan letak kacamatanya dan mengulurkan tangan. “Kagak usah lo tonton,” suaranya keluar kurang jelas karena berisik musik ketika kami bersalaman.

“Hah?”

“Lo nggak bakal dapetin apa yang lo harapin. Orang bilang Borock kayak gini, Borock kayak gitu... ah, peler, Borock ya Borock. Kita, Borock N’ Roll ya begini,” seringainya.

Gantian saya yang tertawa. Tidak mengerti sebenarnya tapi memahami keadaannya. “Gue tahu lo,” sebutnya lagi, “gue baca tulisan lo yang terakhir.”

“Oh, ya?” sahut saya mengalirkan setengah isi gelas ke kerongkongan.

“Anjing, panjang banget. Gue nggak kuat bacanya, tapi kacamata lo nggak bakal patah kalau cuma joget di depan Borock nanti.”

Saya tertawa memaklumi. Tidak ada komentar untuk itu. Tapi orang ini, Catur HD namanya, dia akan bermain sebentar lagi dan saya kurang yakin apa dia akan mampu mengingat kord gitarnya nanti. Sekarang gelasnya telah kosong, jadi dia meminta lagi ke meja di belakangnya – yang malah dibawa sebotol-botolnya: bening isi setengah ‘Absolut’. Ini dia, pikir saya. Segera tenggak sisa gelas ini, dan ikut tuntut pengisian ulang.

Kemudian udara semakin berat dari gelas ke gelas di meja ini. Saya berpikir untuk bergerak sebelum ekses buruk vodka mulai merenggut kekuatan kaki untuk berdiri. Tapi niat itu sekejap buyar setelah Catur berbalik dengan sempoyong menggenggamkan sekeping CD yang saya lihat kurang awas dengan kesadaran timpang. Demi meladeninya saya berhenti menenggak dan mulai menaksir ke kejauhan sekitar, rasanya hanya sejengkal jarak pandang dibarengi oleh kuping dan pipi yang terasa pengang.Borock 'n' Roll  

“Lo orang pertama yang dapet sebelum keluar resmi,” katanya seingat saya.

“Kapan bakal rilis memang?”

Yang saya tanya cuma tertawa tanpa menjawab. “Udah, nggak usah banyak tanya,” selorohnya, “lo denger terus tulis apa adanya. Itu Borock. Kita nggak pengen jadi beda, tapi kita beda, mau gimana lo?”

Baiklah. Tak lama masuk suara, “Satu lagu lagi kita main,” bersama dua orang yang datang dan memperkenalkan diri sebagai Alkin dan Toinx. Mereka adalah penyanyi dan gitaris Borock satunya. Semua orang yang sudah panas sedari tadi menunggu seketika bergegas, meninggalkan meja satu per satu untuk siap tampil. Sementara saya menggunakan kesempatan di belakang waktu untuk menuang sekali lagi. Tidak perlu penuh, yang penting terisi. Karena kurang pantas rasanya menyaksikan rock & roll tanpa instrumen pelengkap seperti mikol, apalagi yang didapat secara cuma-cuma macam ini.

Malam itu Camden dipenuhi oleh para peminum khusus, tidak seperti biasanya; ada banyak manusia yang hidup dari jaman berbeda, serasa lahir enam puluh tahun lebih lambat. Penjahat-penjahat berpotongan klimis, urakan dengan tato, kemeja montir terbuka dan sisir menyelip di kantung belakang. Menghentak sepatu dan pinggul menghadapi duel jive di tengah kerumunan yang membuka ruang di tengah bar. Mereka menari, bersuka menenggak bir langsung dari kokopnya. Gebyar rockabilly, merekah bau alkohol dari satu kesatuan yang tak terpisahkan: Jerry Lee Lewis menjilat api dari jemari pianonya, dan semua orang berlutut dalam kobaran.

Sang tuan rumah sendiri adalah paguyuban Jakarta Rockabilly yang tengah merayakan ulang tahun mereka yang kelima. Sedangkan band yang sedang bermain adalah The Sleting Down yang diisi tujuh anak berseragam kembar penuh gaya, plus seorang biduanita Timur Tengah yang berlenggok centil. Musiknya, sebut saja ini, Amerika 50an, rockers, greaser, mobster, pompadour dari para maskulin seperti Presley, Haley, Perkins, Dean, Vincent, Cochran atau Setzer yang belakangan. Rebel Without a Cause. Sun Studio. Stray Cats. Johnny Depp, penjahat kelamin tak berdosa di Cry Baby.

Dan dari sanalah cerita ini dimulai.

Borock N’ Roll adalah salah satu karakter terbesar di kancah itu, dalam skala ibukota, tentu saja. Bukan hanya karena mereka main di ujung acara – setelahnya masih ada Leonardo and His Impeccable Six. Tapi siapa lagi? Populasi rockabilly langka di Jakarta. Pun baru pada malam itu saya tahu beberapa pelakunya, yang kebanyakannya seminal dan belum pernah saya dengar sama sekali namanya. Dari melongok di flyer muncul: Kucing Kampung, Flying Fortress, Black Phinisi, The Maguras, The Mentawais dan Cilaka 12.  

Di depan, gelagat minuman – bau congornya begitu menyengat menyertai permainan Borock. Dan seperti dugaan, Catur terlalu mabuk untuk dapat menjaga keseimbangan temponya. Dia tidak berhenti bicara setiap satu lagu usai dimainkan. Saya menonton mereka dari pinggir, mengoper gelas vodka tadi kepada Leo yang kebetulan berada di sebelah, menunggu gilirannya tiba setelah ini. Ada dua orang yang menghampiri mikrofon Alkin dan bernyanyi bersamanya. Sementara Toinx tampak seperti Tim Armstrong sawo matang dengan work shirt terbuka yang memperlihatkan singlet putih di dalamnya. Topinya pet ditempatkan agak miring menutupi mata, fortress-nya berjinjit mengikuti petikan hollow body yang menggantung rendah. Lantai dansa pun terbuka, digertak aksi rockabilly paling panas seantero Jakarta.

***

‘Seberapa bandit kehidupan manusia hingga bisa dianggap seorang bandit?’
 

Itu pertanyaan yang mencuat ketika belum lama ini saya mengunjungi seorang teman yang sedang dikurung di Cipinang. Kena kasus jual beli abu, middleman yang akhirnya kena batunya; disergap langsung di rumahnya sendiri. Buruk, malapetaka dengan masa hukuman lima tahun yang gagal dihapuskan karena tidak mampu membayar. “Berantakan,” dia hampir menangis ketika mengatakan itu. Saya, entah kenapa, menanggapinya dengan tertawa lebih dahulu. Mungkin karena selera humor yang buruk dan bayangan bagaimana jika kami bertukar posisi. “Coba aja lo jualan di dalam,” celetuk saya, yang diresponnya dengan muka datar. Dan saya ingat bagian ini; di ujung waktu ketika penjaga sudah memberi isyarat, Sendal, nama yang aneh tapi begitu kami biasa memanggilnya, mendekatkan kepalanya ke telinga saya. Dia berdiri. “Gua kasih tahu sama lo,” katanya – saya ingin sekali menyelipkan sebungkus rokok untuk sekadar membantu kesulitannya ketika dia melanjutkan, “di dunia ini lo harus punya uang buat nebus kebebasan,” lalu berhenti sebentar untuk meninju lengan saya, “yang dua-duanya gua nggak punya. Udah, lo nggak usah datang lagi, cuma orang tolol yang bisa sampai masuk sini. Sampai ketemu di 2020, hati-hati lo di luar sana, bangsat. Kita nggak bisa percaya siapapun, ingat itu".

Borock 'n' RollUntuk alasan yang umum saya tidak pernah mau lagi kembali ke sana. Atmosfernya terlalu dingin dan menyedihkan, bahkan jika kalian napi kakap yang mampu tinggal di kelas VIP. Begitu saya mengingat semuanya, ketika sedang berjalan kaki di atas trotoar gerbang lapas Cipinang menuju Kampung Sumur, markas Borock N’ Roll, yang juga sebuah toko rockabilly bernama ‘Borock Store’ di satu gang sempit tidak jauh dari rel kereta Jakarta Timur.

Anak-anak itu sendiri sudah pernah masuk penjara. Tidak tahu yang tersangkut hukum, tapi mereka melakukannya tiga tahun lalu untuk satu penampilan yang akan selalu dikenang sebagai pertunjukan paling menegangkan yang pernah dijalani. Musik penjahat untuk para penjahat ketika rock & roll menembus dinding LP Salemba. “Keos,” begitu Catur mengingatnya. “Dari pertama masuk semua mata udah ngelihatin kita. Terus ada satu orang yang tiba-tiba nyamperin gue dan bilang, ‘Bang, mau bayarin jam gue nggak?’ Gila, keras, boi kehidupan penjara.” Catur mengenangnya sebagai panggung pertama bersama Borock N’ Roll.

Seperti Johnny Cash di San Quentin pada 1969 dan juga salah satu idola terbesar mereka, The Brandals di Tangerang pada 2007, main di penjara menguatkan reputasi Borock sebagai band yang mengalir dari strata bawah. Begini kata Toinx, “Gue anak kampung, dan memang lebih seneng dianggap seperti itu. Buat gue pribadi, yang paling penting itu adalah kejujuran.” Lalu Catur melanjutkan omongan rekannya, “Demi gimmick supaya dianggap rockabilly sejati? Misalnya begini, kita maksain diri foto band pakai Holden, coba lo bayangin, nanti kalau ditanya, ‘mana Holden-nya?’, nggak ada, yang ada cuma bajaj.” Dia tertawa. Karena itulah debut Borock yang diberi titel Sodappp! (prokem untuk kata ‘sedap’) memajang bajaj pada sampulnya. “Itulah yang gue bilang, rockabilly Betawi,” kata Alkin.

Demi Tuhan, tanpa maksud menyinggung, itu istilah yang buruk. Bagi saya seperti halnya mendengar ‘punk jawa’, ‘grindcore pantura’ atau ‘sunda trance’, bayangkan itu. Tapi bisa jadi mereka tidak peduli juga, seperti yang Toinx katakan, kejujuran, termasuk untuk seberapa udiknya musik dan tingkah laku mereka.

Ketika menulis ini saya sedang berada ribuan mil entah berapa jauhnya dari Borneo Beerhouse di Selatan Jakarta tempat Borock N’ Roll memainkan seluruh materi Rock For Mother Town, album kedua mereka yang akhirnya terbit setelah dikerjakan selama dua tahun terakhir. Rockabilly Rebel, begitu acara perilisannya disebut. Hmmm. Sejak saya tidak bisa ikut memenuhi undangan itu, bagaimana kalau kita bayangkan saja seperti apa suasananya dari sini, dari sebuah barak hostel bernama Skunk seharga lima dollar semalam di mana suaka menulis baru bisa didapat selepas pukul sembilan malam.Borock 'n' Roll

Petunjuk jam di layar menyala 23:41. Tidak ada perbedaan waktu dengan Jakarta, jadi mungkin acaranya sudah hampir selesai di sana. Fantasi membawa saya kemudian ke lantai Borneo dan menyaksikan sejumlah kapal sudah goyang, kebanyakan minum – tidak jelas, campur-campur. Kecuali mereka yang relijius dan lever-nya sudah bengkak, semuanya minum tidak habis-habis. Dioper, tandas, patungan lagi, sikat lagi. Cari gontai. Ini dia musiknya dan main di kedai bir pula. Itu yang terjadi beberapa saat setelah Indoborock Theme dimainkan. Saya menyadari alunannya, balada psychobilly... sial, Betawi yang membuat satu gerombolan terdekat di hidung Alkin berdansa kelam, beriringan mengikuti kikiran duet melodi Catur dan Toinx.

Yang datang, tidak terlalu ramai atau malah kalau dihitung ulang tidak seberapa. Tapi demi cerita ini hal itu tidak penting; masalah ke sekian yang sudah tidak perlu dipikirkan lagi ketika album kalian sedang dirilis hari itu. Lupakan. Lepaskan seperti penggedor contra malam itu, Afriyan Karma atau biasa dipanggil Kumis, karena kumis tipisnya lebih menggoda dibanding nama belakangnya yang keren, yang sedang melakukan tindak sodomi, berdiri mencengkerami leher genggamannya dari belakang. Satu dekapan erat, dagu menempel di pundak. Membetotnya dengan jemari kapalan yang menarikan nikmat hewani. Rayban-nya bertengger di sana, yang saya yakin bola matanya pasti putih semua kalau dibuka sekarang.

Di setiap band selalu ada orang yang paling kalem, dan itu adalah Rangga Bakot, pemain kibord yang saking kalemnya saya tidak tahu harus menulis apa sekarang kecuali memutar Rock For Mother Town untuk mendengarkannya berbicara melalui gerayangan tuts boogie woogie pada Borockabilly Boy atau Pria Gila. Juga, saat ini saya tidak bisa membayangkan bagaimana pemain drum Puput Safrila ikut bermain malam itu; karena seingat saya dia sedang hamil tua. Atau anggap saja dia cukup gila untuk memaksa ikut dan bermain sambil memangku buntalan orok delapan bulan yang meringkuk di perutnya. Terpujilah setiap kepulan asap rokok; selama tidak menendang-nendang minta dibrojolkan seketika, bayi itu pasti tidak akan pernah meninggalkan ibunya nanti. Tapi saya rasa Puput cukup waras untuk tidak melakukan itu. Melainkan sudah sepenuhnya fit; oroknya sudah keluar dan dia pulih tepat waktu untuk menginjak pedal dengan pipi yang merona digoda Lukman ‘Buluk’ Laksmana, bintang rock paling flamboyan kancah pompadour yang seperti di album, saya yakin malam itu mendapat kehormatan menyanyikan lagu Rock For Mother Town.

Cukup.

Borock 'n'RollBalik di kehidupan nyata, besok malamnya saya menghubungi Toinx dan Catur, mengatakan menyesal tidak bisa datang dan menanyakan apa saja yang terjadi di pesta rilis itu. Catur yang pertama menyahuti panggilan pesan saya. “Kita maen 1 stengah jaman. 20 lagu,” begitu tulisan aslinya berbunyi. “Tangan lo nggak keram?” balas saya. “Kagak haha.. Maen santai kaya dirumah sendiri,” jawabnya.

Dari situ saya juga tahu kalau apa yang dibayangkan tentang konser mereka kemarin delapan puluh persen salah. Sial. Yang pertama adalah, seperti diketikkan Catur, “Kmrn ngga ada yg joget kyaknya deh kalo nggasalah. Kalem2 sih penontonnya. Cuma cengar cengir doang.” Cuma nyengir? Duh, itu sebuah kesalahan dalam kasus rockabilly. “Pada pemalu kali ya,” balas saya. “Kayaknya sih emang. Tapi nggatau jg deh. Apa emang blm banyak org yg tau jg lagu borok yg baru2 ya. Jd org2 pada milih untuk nyimak lagunya dulu.”

Tetapi tidak seburuk itu juga, menurut Catur yang lumayan mengobati, khalayaknya lumayan ramai. “Penuh sih didalem. Sempit kbtulan tempatnya ye gak.” Dan ternyata juga Puput ikut bermain. Saya salah tentang kehamilannya kemarin, perutnya baru melendung empat bulan dan dia sanggup turun di lima lagu awal untuk kemudian dilanjutkan oleh additional yang juga seorang perempuan. Termasuk sejumlah cover version yang dimainkan bersama Tuan Laksmana. “Maen 4 Lagu. Buluk minta lagu dadakan diacara. Langsung ngulik. Biasa Stray cats sama johnny cash,” yang saya tebak adalah Ring of Fire, “Yoi... Sama i wont stand in your way nya stray cats. Sisanya lupa hehe.”

Ketika Toinx akhirnya menanggapi pesan saya, dia juga menyiratkan hal yang sama. “Gua ngecengin penonton Wkwk...penonton nya pasif.....pada diem...ntar kena polisi skena....” Bangsat, polisi skena, itu istilah yang tolol. Saya balik meresponnya sama seperti ke Catur, “Hahaha pada malu joget kali ya.” Dan begini balasannya, yang cukup menarik hingga membawa kami ke perbincangan berikutnya:

“Kaga juga yo....gua kaga mau di jogetin klo maen... Soalnya rockabilly dan musik band gua susah buat jive up.”

“Kok nggak mau? Maksudnya gmn?”

“Maksud gua bukan gak mau...tapi nggak maksa.”

“Hahaha.”

“Perduli setan deh ama yg nonton...mau ngewe kek...mau coli kek...yg penting gua manggung trus gua ngerasa keren banget kemaren. Fufuuuyyy.”

“Emg musik lo sulit buat jive inx?”

“Sulit yo. Ada beberapa yg enak buat joget...Ada yg enak buat dinikmatin.”

“Kayak Slow Independence tuh buat dinikmatin ya.”

“Iya... Indo borock.”

“Okayy.”

“Gua bikin lagu kan emang mikir.....album ini ke arah mana album buat next kearah mana. Sama anak anak juga.”

“Yg ini arahnya kemana?”

“Sekarang lebih pengembangan eksplorasi dari sub genre rockabilly...biar lebih greget aje...sama lebih dikemas modern.”

“Rockabilly modern?”

“Dari segi soundnya bang...sedikit sih.”

“Aransamen ttp purba tapi ya.”

“Aransemen juga modern juga sih dikit wkwkwkwk.”

“Ok inx. Gua tulis sesuai yg lo jwb ya.”

“Okrayyy. Gpp...lebih pede lah...hahahaha.”

***

Borock akhirnya mendapatkan momentumnya, delapan tahun dan ini album kedua. Mereka bekerja keras menemukan karakter yang tepat, melengkapi diri dengan sound dan gaya yang dibanggakan sebagai satu-satunya yang ada di kancah rockabilly lokal. Tidak ada yang seperti mereka, begitu katanya. Dan saya sudah memutar Rock For Mother Town bolak balik lebih dari lima kali untuk membuktikan kebenaran kalimat itu. Tidak tahu. Tapi juga menghargai semua usaha dan semangat, atau jika menyalin ucapan David Tarigan – beat dan pemberontakan yang mereka lakukan. Serta berpikir untuk menyebut Indo Borock sebagai istilah apapun yang diperlukan, dibanding ‘Rockabilly Betawi’ yang membuat perut saya langsung geli ketika mendengarnya. Ya, ‘Indo Borock’, itu tepat.

Borock 'n' Roll

Jakarta Rockabilly. Kampungan. Slick. Dan beat dibalik pemberontakan para pengungsi rock 50an.

Langsung saja. Ini retorika sialan, saya tahu, tapi pertanyaannya adalah, siapa band rockabilly pertama di Jakarta atau dalam lingkup lebih luas, Indonesia? Saya tidak ingin menyebut nama Tielman Brothers, terima kasih, karena itu sama saja seperti mempercayai Joko Widodo benar-benar kuat mendengarkan utuh sealbum Napalm Death atau pikiran dangkal yang menganggap semua komunis pasti atheist. Lagipula siapa yang mengenal Tielman sebelum jaman internet. Karirnya di tanah air terlalu pendek untuk dituliskan tepat waktu. Mereka tidak banyak diingat bahkan sebelum cabut ke tanah leluhurnya, Belanda dan mengganti – atau mencampurkan – keroncong dengan rock & roll gila akrobat yang seratus persen membuat generasi kita terpukau empat puluh tahun berikutnya.

Kiki and The Klan

Kemudian demi menyelesaikan pertanyaan tadi saya pentingkan untuk menelusuri sejumlah laman daring dan menemukan beberapa nama dengan tanggal lahir paling tua di dunia rockabilly lokal. Dari Bali, The Hydrant memelopori kebangkitannya sejak 2004. Sebelumnya ada Suicidal Sinatra, juga dari Bali yang sudah main dari 2001, tapi sejak saya baru ngeh sekarang kalau musiknya terlalu pop – katakan saja untuk untuk membakar sepatu di lantai dansa – maka saya tidak mempertimbangkannya.

Selanjutnya menemukan kancah Jogjakarta. Menurut artikel Kiki Pea, penyanyi grup Kiki and The Klan, “Subkultur Rockabilly di Yogyakarta”, kancah mereka tumbuh pesat setelah kedatangan Hydrant di kota itu tahun 2006. Dia menulis, “Dengan seringnya The Hydrant tampil, ternyata memberi inspirasi untuk para penggemar Rockabilly di Yogyakarta untuk membentuk sebuah band. Tercatat nama seperti Sledgehammer, Panter (Pangeran Tersingkir) yang kini sudah bubar, dan Rescue trio rockabilly yang masih eksis sampai sekarang.

Saya lantas menghubungi Kiki untuk mengetahui lebih lanjut mengenai itu. Jawabnya, “Rescue masih ada tapi jarang kedengaran. Nggak nongkrong lagi sama anak-anak sudah beberapa tahun ini. Mereka terbentuk sekitar 2006 atau 2007-an, kurang hafal tahunnya. Tapi dulu ada band cover Stray Cats tahun 80an. Gue lupa namanya. Athonk, tuh lebih fasih. Lo bisa tanya dia, pelaku dan archivist.” Maksudnya adalah Athonk Sapto Raharjo, pendiri ‘Indonesian Rockabilly’ dan bekas vokalis Black Boots, band punk pertama di Jogja. Saya ingat pernah dituangi ‘Jack D’ olehnya di sebuah pesta Hot Rod di Jogja beberapa bulan lalu. Tapi saya memilih untuk tidak menghubunginya, tidak sekarang.Jakarta Rockabilly

Di Jakarta keluar penyanyi-gitaris Bron Zelani dan pencabik upright Dimas Bobrenk, dua anak Institut Kesenian Jakarta yang membentuk The Gokillbillies pada tahun 2006. Berikutnya saya menemukan Old Paper, yang memastikan berdiri pada tanggal 10 Desember 2005. Dua band ini sudah jarang aktif sekarang. Terakhir saya mendengar Gokillbillies sempat main dengan set karaoke karena pemain drum mereka tidak datang di Jakarta Greaser Party tahun kemarin.

Dan sampai saat ini sejujurnya saya sudah malas melanjutkan pengembaraan di jagad maya demi menyusuri jejak rockabilly lokal, kecuali terus membuka halaman web ‘Jakarta Rockabilly’ di jendela sebelah, dan lebih memilih menemui Zelani juga Bobrenk dalam waktu terpisah untuk mendengar ceritanya langsung dari mulut mereka.

Generasi rockabilly Jakarta baru terbit pada seputaran 2005 – 2006 seiring melandanya aktifitas penyedotan lagu secara besar-besaran lewat jendela internet. Itu jamannya ‘Limewire’ dan ‘Torrent’ dan ‘Multiply’ dan ‘Myspace’ – favorit saya ‘Bearshare’. Romantisme menyelinap keluar rumah pada jam satu pagi pergi ke warnet karena di pukul itulah koneksi sedang kencang-kencangnya. Bayar sepuluh ribu rupiah untuk paket tiga jam (kalau tidak salah ingat) kemudian beradu otot kuota dengan para pecandu ‘Counter Strike’ di meja seberang. Begitulah musik didapat pada era itu. Mau apa saja ada. Akses yang tiba-tiba super mudah itu kemudian membuat kita seakan berlomba memenuhi folder playlist – baik dengan yang aneh, baru, lama, rare, bootleg, cover version atau apapun yang langka – dan membaginya kepada kawan seperjuangan download lainnya. Lalu pulang subuh, lelap dua jam dan berangkat kuliah dengan koleksi Mp3 baru di telinga.

Mungkin hampir seperti itu jugalah yang dikerjakan Zelani. Kalong warnet. Dia terus mengganti asupan musiknya setiap hari seperti celana dalam, dari punk rock (“Punk rock cuma marah-marah doang, nggak punya solusi,” katanya) lalu HC ke motown, ragtime sebelumnya akhirnya menemukan rockabilly setelah mendengarkan dan mendalami Morrissey.

“Kenapa Morrissey?” tanya saya.

“Lo nggak tahu? Gimana, sih katanya penulis musik.”

Bangsat. “Gue nggak suka Morrissey,” bela saya.

Dia tertawa. “Karena bassist-nya Morrissey main juga di The Sharks. Band psychobilly Inggris.

“Oh.”

“Potongannya enak dilihat. Dan Morrissey ternyata juga suka sama Elvis. Tapi gue biasa aja. Elvis keren, tapi ya sudah begitu aja.”

Elvis PresleyDari saat itulah Ze, panggilan akrabnya mulai dianggap sebagai alien di kawasannya. Bayangkan, pemuda kurus; rambut mencolok, mengilat terpasang serasa James Dean yang tidak akan rela dibiarkannya melepek sedikitpun. Menggulung lengan bajunya, berlagak norak dan kampungan demi membuat mata kita jera. Sengaja. Tapi memang ide awal Ze tentang rockabilly adalah untuk membuat semua orang sebal. Semangat khas anak muda untuk selalu terlihat beda. Melawan jaman sendirian, mendahului gejalanya dengan senjata paling licin: sisir.  

“Era itu orang rambutnya turun semua,” katanya. Hanya dia, akunya, dan saya pikir beberapa dosen kuno yang selalu sedia sisir di celana. Serta tidak lupa menata kembali tatanan rambut setiap kali lusuh tertiup angin atau rusak karena masuk helm motor. Slick terus, begitu motto hidupnya. Dan tujuannya agar membuat orang-orang dongkol pun tercapai. “Gue udah kebal sama yang namanya dicengin. Turun dari motor nyisir dulu. Sebel kan orang ngelihatnya. Dulu kacamata gue gede, Buddy Holly. Pakai jaket kulit. Tapi tetap aja kan orang lihatnya katro. Sekarang aja nge-trend rambut slick. Berak lo semua,” cetus Ze.

Hari ini penampakan Ze masih tetap serupa dengan sepuluh tahun lalu, mungkin hanya beda di keadaannya saja. Di hadapan saya, sambil menyeruput kopi dari mug plastik dia berbicara tanpa melepas kacamata hitamnya – itu pukul sepuluh malam – dan karena berkeringat – dia juga tidak melepas jaket kulit motornya – jambulnya turun. Menyadari pelanggaran itu, dia lalu meletakkan rokok yang sedang dihisapnya di pinggir meja, membuka jaket tanpa menghentikan bicaranya dan mengeluarkan sebilah sisir. Gelombang rambutnya yang offside hingga menyentuh jidat tadi segera disapunya lagi ke atas, dibentuk sedemikian rupa seperti gulungan ombak.

“Nasib pionir,” hembusnya.

Gokilbillies, sesuai namanya punya segudang cerita gila selama karir aktif main yang tidak terlalu lama. Yang paling rusuh terjadi di Universitas Indonesia tahun 2007 ketika mereka diamuk massa akibat pemain harmonika Bobby Billy menghina agama dari atas panggung. “Itu kelepasan. Kita menolak disuruh turun dari panggung. Ngotot main terus. Sampe mau dibunuh si Bobby. Lari dikejar-kejar sampai masuk kantor polisi,” sebut Ze, gaya bicaranya cepat dengan kalimat yang sepotong-sepotong.

“Kebanyakan minum, ya?”

“Pantang kalau itu.”The Cramps

“Maksudnya?”

“Nggak pantang juga, sih,” jawabnya cepat. “Gue sama anak-anak bukan tipe band yang minum atau teler dulu sebelum main. Makin ancur nanti. Kita nggak perlu kayak begitu, emang udah dari sananya konslet. Orang-orang gila.”

Saya tertawa. “Tapi masuk koran. Jadi makin terkenal Gokillbillies,” lanjutnya.

Kelakuan itulah yang mencerminkan musik mereka. Pendekatan Gokillbillies terhadap rockabilly terletak pada semangat punk rock di dalamnya. Tidak ada kerapihan, cenderung asal, sinting, keras, berantakan didengar dan mentah. Judul-judul mereka pun absurd: Drakoola di Tapal Kuda, Mativasi, Uber Zombie atau single Death At Cineplex yang dideskripsikan Ze dalam bahasa Inggris sebagai berikut:

This song was recorded live at one of cheap studio in Kelapa Gading – East Jakarta. With the first formation from The Gokilbillies. Andre David on Drums, the first time Dimas Bobrenk playing Contra Bass and Backing Up some vocal part, me messing up the guitar tune along with yelling (a little bit singing). This song was the first song that played in the studio and got a really crazy dark ambient in this recording rather than after’.

Sam PhillipsYang dikonfirmasi oleh Bobrenk, “Kita adalah band psychobilly pertama di Pulau Jawa.” Berikutnya pembetot upright yang sekarang membentuk grup surf rock bernama The Maguras itu memberi kuliah pendek mengenai sub genre rockabilly. “Sama kayak kita, psychobilly itu anak-anak punk yang mainin musik rockabilly. Menempelkan tema horor klasik tahun 30an, film-filmnya Hitchcock.” Dia kemudian menyebut neo-billy, revival rockabilly, The Cramps, The Meteors, Screamin’ Jay Hawkins, Batmobile, Nekromantix, Eka Sapta, Zaenal Combo, hillbilly, fifties, swing, country, surf, etc etc etc, yang tidak berminat saya paparkan di sini karena akan terlalu panjang.Jay Hawkins

Mudahnya, silakan tengok wikipedia dan tonton dokumenter seperti Psychobilly: A Cancer on Rock ‘N’ Roll atau demi menghormati akar sejarah, Sam Phillips The Man Who Invented Rock ‘N’ Roll. Juga, saran saya: rajin kunjungi beranda Irama Nusantara demi studi banding luar dan dalam.

Di tahun 2010 EP Gegap Gulita dirilis. Fisik pertama dan terakhir sampai saat ini dari Gokillbillies. Mereka tidak terlalu serius bermain untuk produktif sebagai sebuah band. Atau justru terlalu serius sehingga kepala mereka pecah kebanjiran ide dan semangat, yang saking kepenuhannya malah saling menyumbat satu sama lain. Mengerti maksudnya, kan? Ya, kadang kalau kita tidak kuat-kuat mental menanganinya, hal semacam itu akan berbalik menjadi tekanan besar yang dapat membahayakan jiwa. Jadinya, gila.

Tidak tahu, tapi rasanya saya sedang tidak menerima teori psiko-analisis macam itu di sini, yang saya butuhkan adalah kalimat selanjutnya untuk meneruskan repetan cerita ini. Ze kemudian membantu saya dengan kisah singkatnya menemukan sekutu rockabilly lokal lainnya. Semua terjadi diantara periode 2006 hingga 2010, yang menjadi tahun-tahun geliatnya Gokillbillies. Pertama, masih di IKJ kisaran 2006 dia bertemu dengan Ahmad Emin, pendiri sekaligus penyanyi dan gitaris Old Paper. Kemudian Ze tergugah oleh sebuah pertunjukan The Hydrant di Parc yang diingatnya sebagai band penyalin Stray Cats paling mutakhir saat itu. Bahkan dia berpikir merekrut pemain harmonika untuk Gokillbillies setelah melihat Marshello, sang vokalis bermain.

Perlahan satu per satu alien rockabilly dipapasinya.  Moonriver, trio punk rock-a-billy asal Pejaten, Jakarta Selatan adalah yang selanjutnya ditemukan. Berkat jaringan Myspace, Ze juga mengidolakan satu nama dari Surabaya, Anarchy Juice. “Band itu mengambil namanya dari band garage-rock, The Humpers, makanya gue langsung suka,” katanya.

Lalu di Bogor bertemu Kruel Kats yang main satu panggung dengan Gokillbillies di sebuah acara tato Double Trouble. Sampai akhirnya diundang oleh Athonk tampil ke Jogjakarta. Di sanalah Ze bertemu dengan spesiesnya, kancah rockabilly yang ternyata sudah bermekaran. “Itu seru banget. Baru di situ ketemu orang-orang yang gayanya mirip kayak gue. Pakai boots, sisiran terus. Gue nggak merasa sebagai alien di sana.”

Stray CatsIronisnya setelah itu Gokillbillies malah menunjukkan gejala penurunan. Ze mengatakan dia sudah lelah menghadapi hingar bingar panggung. Niat tidak niat, main setahun sekali, mungkin. Energinya telah habis disedot oleh kegilaan mereka sendiri. Ze meninggalkan band, cabut ke Bali dan fokus pada karirnya sebagai komikus. Terakhir dia membentuk Bronzebois, band dengan sub genre paling mutakhir. “Gue menyebutnya rabies rock!” Dasar, jambul gila.

Di akhir perbincangan, saya sempat memancing rekomendasinya tentang siapa band yang harus saya tulis demi keabsahan jurnalisme ini. Saya membutuhkan paling tidak, tiga nama untuk itu. Ze sudah membuka jaketnya. Kaos pendek di dalamnya berwarna oranye dengan bagian lengan, tentu saja tergulung sehingga memperlihatkan seekor ikan yang awalnya saya kira balon zeppelin berlapis hijau dengan mata merah dan deretan taring menganga melesat dari ketiaknya. Saya memulainya dari sana.

“Itu hiu di tangan kiri lo?”

Dia tersenyum. “Ini desain Sailor Jerry, tattoo artist, orang selain Viviene Westwood yang mempengaruhi gue. Dia itu pelaut yang suka gambar. Di tahun 50an, tato gambarnya kayak begini semua. Gue juga punya satu lagi di dada.” Lalu dia menggulung lengan bajunya lebih tinggi, “karena gue Pisces makanya gua bikin ini di tahun 2007, fish bomb,” tunjuknya.

“Kayaknya itu, ya cita rasa rockabilly; pelaut, tato jangkar, mobil tua hot rod, penjahat-penjahat bar kelas kampung, slick hair.”

“Ya, itu yang gue sebut era. Semangatnya.”

“Termasuk yang sekarang jadi kostumnya sendiri, work shirt, bowling shirt, fortress. Terus ada lagi pin-up girl... karakternya semacam melawan dalam glamoritas. Orang-orang kelas bawah, greaser, kerja di pelabuhan. Playboy mabok yang berantem... merayu perempuan,” saya tertawa.

“Attitude, kan. Itu statement utama rockabilly. Musiknya mungkin datang setelahnya... satu hal lagi yang penting: komitmen. Itu gaya hidup yang lo pilih, harus dipegang seterusnya.”

“Menurut lo siapa aja di Indonesia yang ‘dapet’ style rockabilly-nya? Maksud gue, itukan semua terjadi dan berasal dari Amerika, tahun 50an pula...”

“Lokal, ya?” dia berpikir sejenak lalu menjawab, “The Hydrant.”

“Hmmmm,” gumam saya.Johnny Cash

“Mereka itu semuanya dapet, lifestyle sama attitude-nya. Ketika berbicara sebagai musisi, Hydrant itu memang kerjaannya main band. Mereka entertainer dan mereka berdedikasi terhadap itu semua. Ditambah lagi mereka juga punya kerjaan lain di luar itu. Bisa manggung dua sesi dalam semalam, besoknya main lagi. Mereka menjaga ketahanan fisik... Nah, gue sama Bobrenk itu anak seni rupa, jadi Gokillbillies atau siapa band yang lain itu nggak punya energi sebesar mereka.”

“Iya, Marshello kerjaan sehari-harinya jadi David Hasselhoff,” canda saya.

“Setiap hari dia berenang tiga kilo di laut, gila.”

“Kalau Hydrant kan pionir, mereka udah mulai lebih dari sepuluh tahun lalu. Gue nyari rockabilly baru yang keren, siapa menurut lo?”

Diperlukan waktu baginya untuk menetaskan jawaban. “Ada satu dari Cilacap, gue share mereka kemaren di Facebook. Rekaman sendiri pakai contra bass di gang sebelah rumah mereka sendiri. Nama bandnya keren, Jail Billy Brothers. Itu attitude rockabilly. True rockabilly adalah kampungan. Kalau lo tahu ada band namanya Borock N’ Roll, ya itu rockabilly sebenernya: kampungan.”

“Ya, gue udah ngobrol sama mereka kemarin. Terus ada, gue sempet googling, Prison of Blues namanya...”

“Itu psychobilly dari Temanggung. Dari Bandung ada juga, Rockabilly Rebels dan Kereta Susana, psychobilly.  Atau kalau lo mau dari Jakarta, ya Sleting Down. Kalau cari enak, ya dengerin mereka dari Jakarta Selatan. Tapi kalau cari kampung, ya Borock dari pinggiran Jakarta Timur. Lo tahu gimana bedanya, kan?”

Saya tertawa. Selanjutnya kami berdua terdiam memberi kesempatan pada udara hening lewat sejenak, menyeruput kopi dan bakar lagi kretek. Saya tengah memikirkan apa berikutnya – sejenis lamunan singkat mengenai hal-hal seperti plot, paragraf percakapan, inti cerita, atau sekadar ketololan belaka.

Rockabilly DancersLalu Ze, “Apa lagi, lo mau tanya apa lagi?”

Sial. Ok. “Ada satu...” sambut saya. “Suicidal Sinatra. Beberapa orang tidak menganggap mereka rockabilly... pun gue. Ada yang bilang mereka itu band punk rock kayak SID cuma pakai contra bass.”

“Memang bukan. Mereka sukanya sama Living End, band Australia...”

“Tiger Army juga...” selah saya.

“Nggak nyampe juga ke sana,” katanya, yang membuat saya tertawa heran. “Serius, gue kenal mereka. Itu karena Leo, vokalisnya tajir aja.” Masih kata Ze, “Mereka melabeli diri dengan psychobilly akhirnya. Lo ngerti perbandingannya, kan?”

“Apa?”

“Sama kayak punk dan HC. Semua yang suka Madball pasti juga dengerin Sex Pistols. Tapi belum tentu sebaliknya. Nah, di sini juga, psychobilly itu riff dasarnya adalah rockabilly. Tapi yang rockabilly belum tentu bisa dapetin atmosfer horor dan mainin psychobilly.”

Ok, baiklah.

To be continued

Foto kredit :
www.gianniecouji.com
Twitter Jakarta Rockabilly
dearjean.wordpress.com
kinescopemagz.com
songpop.wikia.com
www.mtv.com
www.kikipea.com
www.bookdepository.com
barracudastyle.com
www.pinterest.com
Foto Cover :
fontpro.com

Rio Tantomo

Penulis dan Bermain Drum untuk Aksiterror

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner