Indonesia di Peta Metal Global, Antara Optimisme dan Pesimisme

Indonesia di Peta Metal Global, Antara Optimisme dan Pesimisme

Mengesampingkan rasa pesimis dan kekhawatiran akan menimbulkan pro dan kontra, akhirnya WMBI untuk pertama kalinya digelar di Bandung pada tahun 2017, dengan dukungan penuh dari DCDC. Ternyata, responnya sangat positif. Parameternya adalah dari jumlah band yang secara resmi mendaftar melalui aplikasi online. Ada 238 band yang tersebar dari seluruh Indonesia. Namun, sebelum kompetisi ini resmi digelar, tim Steering Commitee WMBI yang salah satunya Kimung bersama Karina sebagai jurnalis melakukan penjangkauan secara langsung kepada komunitas di kota-kota yang dinilai menjadi barometer musik ekstrim di Indonesia. Menggelar diskusi konstruktif dan mencoba membangun kembali perspektif bersama untuk mencari metode dan cara baru untuk memperkenalkan komunitas metal Indonesia dan melakukan penetrasi ke ranah global.

Sebelum WMBI digelar, memang ada beberapa band ekstrim Indonesia yang berhasil menembus panggung festival di Eropa. Noxa mungkin adalah band ekstrim Indonesia yang pertama kali merasakan langsung festival di Eropa. Lalu, berikutnya menyusul nama seperti Krass Kepala, Burgerkill, Jasad dan DeadSquad menyusul merambah festival di Australia dan Eropa. Bukan perkara gampang untuk bisa melakukan apa yang sudah dilakukan oleh mereka. Butuh persiapan dan diplomasi panjang, terutama meyakinkan pihak penyelenggara dan pengorbanan finansial yang juga besar. Tidak semua band punya keberanian dan rela melakukan hal itu, walaupun secara kualitas banyak sekali band metal di Indonesia sudah layak tampil dan sejajar dengan band-band di Eropa.

Dom Lawson, jurnalis dari Metal Hammer Inggris, yang sudah empat kali hadir di Indonesia untuk melakukan liputan secara khusus tentang dinamika musik ekstrim di Indonesia punya opininya sendiri. Menurutnya, geliat musik ekstrim musik di Indonesia sangat berbeda dengan apa yang terjadi di Eropa. Indonesia mempunyai "gairah" yang alami, di mana metal tidak hanya hadir sebagai genre musik namun seolah menjadi way of life. Tidak bagi penikmatnya saja, namun berlaku juga untuk pemain bandnya. Berbeda dengan di Eropa, metal pada akhirnya hanya hadir menjadi mesin uang sebagai dari bagian industri musik global. Menurut Dom, jika saja gairah itu bisa bersinergi dengan infrastruktur seperti yang terdapat di Eropa, dia berkeyakinan metal Indonesia bisa memberikan warna baru. Hanya saja, persoalan bahasa dan letak geografis menjadi kendala di samping tentu saja persoalan finansial.

Pendapat tersebut diutarakan Dom dalam acara diskusi Bandung Metal Affair 2019. Bandung Metal Affair adalah pertemuan tahunan antar unsur pemangku kepentingan ranah musik metal internasional yang digelar di Bandung. Bandung Metal Affair 2019 diinisiasi oleh Homeless Crew Ujungberung Rebels, di bawah koordinasi ATAP Class, didukung oleh British Council serta difasilitasi oleh Museum Kota Bandung. Mengambil tema “Indonesia International Metal Gathering” dengan fokus pada pengembangan dan membangun jejaring media dan agensi. Bandung Metal Affair 2019 menghadirkan narasumber yang terdiri dari Dom Lawson, jurnalis majalah Metal Hammer dari Inggris, Kimung dari ATAP Class, Samack dari Solidrock dan Luuk Van Gestel dari Doomstar Booking Agent Belanda. Tujuan utama dari Bandung Metal Affair adalah membangun infrastruktur media, penulis, dan jurnalis yang memiliki visi internasional. Infrastruktur ini penting dibangun untuk mengimbangi agresivitas penetrasi internasional yang sudah lebih dulu dilakukan band-band metal Indonesia, terutama kota Bandung.

Pendapat lain diutarakan oleh Luuk yang juga hadir di Indonesia untuk menjadi Juri di WMBI 2019. Menurut Luuk, sebetulnya komunitas musik ekstrim di Indonesia sudah memiliki segalanya. Dari pengamatan Luuk sebagai juri WMBI 2019, secara kualitas teknis audio panggung dia mengaku takjub. Sepuluh band yang tampil di Final Show WMBI 2019 tampil impresif tanpa ada sound check sebelumnya. Artinya, penguasaan teknis personil band dan kru panggung yang menyiapkan sudah sangat profesional.

Ranah musik bawah tanah kota Bandung tidak akan pernah sama jika Addy Gembel tidak hadir di era '90an. Bersama grup musik ekstrim yang dinamai Forgotten, ia lantang menyuarakan hal-hal provokatif dan kontroversial, dengan dua jenis pilihan bahasa: frontal dan sangat frontal.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner