Indonesia di Peta Metal Global, Antara Optimisme dan Pesimisme

Indonesia di Peta Metal Global, Antara Optimisme dan Pesimisme

Berakhir sudah hingar bingar dari sebuah kompetisi band ekstrim Indonesia yang hadir setiap tahun di Indonesia. Diawali pada tahun 2017, gelaran W:O:A Metal Battle Indonesia (WMBI) secara resmi dimulai. Sebuah ajang resmi yang mendapatkan lisensi secara langsung dari Wacken Open Air, Jerman. Indonesia ditunjuk sebagai satu-satunya negara dari kawasan Asia Tenggara yang berhak menyelenggarakan acara tersebut. Ini adalah kompetisi, yang artinya akan dipilih satu band yang berhak mewakili Indonesia untuk tampil di gelaran W:O:A Metal Battle Internasional, bersaing dengan puluhan band yang juga sudah terpilih di negaranya masing-masing.

Menurut Eben dan Man sebagai pihak yang berhasil membawa W:O:A Metal Battle ke Indonesia, tujuannya adalah menjadi salah satu sarana untuk band-band ekstrim Indonesia bisa merasakan panggung internasional. Tujuan yang lebih besar lagi tentu saja memperkenalkan skena musik ekstrim Indonesia di peta metal global.

Bukan perkara mudah menggelar kompetisi semacam ini. Jika kita tarik mundur kembali kepada sejarah pergerakan musik metal independen di Indonesia, lahir dan besarnya komunitas ini tidak terlepas dari kontradiksi yang muncul pada saat itu. Di era '90an, di mana kualitas band sangat ditentukan oleh kultur festival yang dimonopoli oleh seorang promotor yang mempunyai orientasi pasar musik, dalam hal ini musik rock. Dalam tahap audisi, setiap band yang akan tampil harus membawakan lagu wajib untuk mengukur kompetensi mereka dalam memainkan alat musik menghadirkan juri-juri yang memang ahlinya di bidang masing-masing.

Bagi sebagian besar band, apa yang ditawarkan dalam kompetisi tersebut seolah menjadi tiket emas untuk menuju kesuksesan dalam karir bermusik mereka. Bagi band yang berhasil masuk menjadi finalis, karya mereka akan direkam dan digabung ke dalam album kompilasi rock dan diputar di semua radio di Indonesia. Sementara bagi band pemenang, akan mendapatkan kontrak rekaman dan diajak tur keliling Indonesia. Sebuah harapan yang pada masa itu rasanya akan sulit diwujudkan jika tidak membangun kerjasama dengan pihak lain. Sebuah harapan yang akhirnya terbukti menghidupkan dinamika musik rock Indonesia. Nama-nama band rock legendaris seperti Sucker Head, Roxx, Jamrud, Power Metal, Power Slaves, Sahara terlahir dan dikenal melalui festival tersebut.

Sementara itu, di sisi yang lain muncul semangat baru di kalangan musisi bawah tanah yang mempunyai keniscayaan untuk memilih jalur yang benar-benar berbeda. Mengusung semangat komunalisme, mereka membangun dan menyiapkan segala bentuk infrastruktur dengan cara yang mandiri. Mengorganisir acara sendiri, membuat media cetak dan media promosi sendiri, menciptakan jalur distribusi sendiri dan menciptakan sel-sel jejaring ekonomi antar kota di Indonesia. Setelah lebih dari 20 tahun, gerakan bawah tanah ini pada akhirnya tumbuh menjadi gelombang besar dan menjadi kekuatan baru di ranah musik Indonesia. Tidak hanya genre musik metal saja, namun kini hampir semua genre musik melakukan pola yang sama. Hingga munculah fenomena "Indie Label VS Major Label" yang seiring waktu menemukan garis yang tegas. Saling berseberangan namun pada akhirnya bisa saling memanfaatkan.

Ranah musik bawah tanah kota Bandung tidak akan pernah sama jika Addy Gembel tidak hadir di era '90an. Bersama grup musik ekstrim yang dinamai Forgotten, ia lantang menyuarakan hal-hal provokatif dan kontroversial, dengan dua jenis pilihan bahasa: frontal dan sangat frontal.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner