Haruskah Saya Hijrah? (Ke Layanan Streaming)

Haruskah Saya Hijrah? (Ke Layanan Streaming)

Saat ini saya berlangganan layanan musik streaming, namun juga masih membeli rilisan fisik CD dan sesekali piringan hitam (plat). Tapi tanpa sadar juga belakangan ini saya makin bergantung kepada layanan musik streaming, sehingga beberapa tahun ini satu set perangkat audio analog CD player, turntable, amplifier dan speaker salon saya tak tersentuh berdebu di pojok ruangan.

Ternyata disela kesibukan, tanpa sadar saya menghindari keribetan analog. Kini lebih mudah meraih ponsel, buka aplikasi musik, menghubungkan speaker bluetooth, dan voila! musik langsung menemani. Ketimbang harus beranjak, memasang tetek bengek audio, mengeluarkan plat dari sleeve, memasang di turntable. Belum lagi kalau sedang asik bekerja kadang repot harus beranjak membalik side B karena side A habis. Ditambah kalau mendengarkan malam hari dan ketiduran hingga pagi, artinya meninggalkan turntable semalaman menyala dengan jarum menari-nari di bagian terdalam plat. Karena tentu saja turntable tidak bisa otomatis mati sendiri ketika lagunya habis.

Saya punya banyak CD masih tersegel yang baru dibeli maupun yang sudah lama dibeli. Beberapa di antarnya Gesture (2017), album ke 3 milik Atlesta, jagoan electro pop asal Malang dalam kemasan limited edition, Detik Waktu: Perjalanan Karya Cipta Candra Darusman (2018) serta 3 CD album pertama Naif yang dirilis ulang beberapa saat lalu. Oh ya, 3 album awal era analog Naif itu pun saya miliki dalam format piringan hitam, dan barusan saya melirik ke rak saya, baru sadar plat Blur, Magic Whip (2015) juga masih duduk manis di pojokan.

Namun mereka semua kurang beruntung, karena belum pernah keluar dari casing/sleeve-nya sama sekali. Karena semua albumnya tersedia di layanan musik streaming. Jadi untuk apa membukanya? Yang cukup beruntung adalah album Dance, Sing, Mood, (2017) milik Shore, band rocksteady asal Jakarta, box set Homicide, Complete Discography (2017)  dan album baru Burgerkill, Adamantine (2018). Mereka sempat menghirup udara segar, keluar dari casing nya untuk di convert ke laptop dan ponsel. Karena album mereka tidak/belum tersedia di layanan musik streaming.

Pada akhirnya memutar musik analog ternyata mulai terasa kurang praktis. Terakhir seingat saya speaker salon nya suaranya tidak enak, dan kadang mati sebelah –buat saya itu kiamat kecil-, jarum turntable-nya juga entah kenapa skip terus, padahal baru beli. Semakin lengkaplah alasan perangkat audio saya tak tersentuh. Sementara karena laper mata sesekali masih membeli plat. Terutama saat menemukan plat Indonesia berharga miring, meski kadang tanpa kovernya. Walaupun akhirnya tidak sempat diputar, karena kan lagu-lagunya sudah ada di internet. Akhirnya musik streaming + speaker bluetooth solusinya.

Sumber foto : www.decibel.net

Membeli CD tentu adalah bentuk nyata dukungan untuk musisi lokal. Dan harus diakui, rupiah yang dikeluarkan lebih ringan dibanding plat. Saya tidak pernah kapok membeli CD secara acak, meskipun kadang tidak suka albumnya. Lagian CD selalu bisa di convert ke mp3 dan dibawa ke mana-mana. Tidak heran bila CD lebih mudah menumpuk di rumah. Belum lagi CD promosi dari berbagai label yang diterima karena saya menulis musik. Tapi sekali lagi, tujuan membeli CD juga agar bisa diputar di laptop/ponsel saya. Lagi-lagi kesimpulannya: musik digital + speaker bluetooth solusinya.

Apakah puncak semua ini? Saat ini CD dan plat saya setelah tersimpan di rak hampir pasti tak mungkin disentuh lagi. Lalu muncul pertanyaan akan kemanakah koleksi-koleksi musik saya ini nantinya? Haruskah menjual koleksi beserta satu set audio saya mumpung peminatnya masih banyak? Dan haruskan saya ‘hijrah’ ke digital/streaming saja? Meski melepas koleksi CD dan plat tentu tidak semudah menyingkirkan baju bekas, koleksi action figure, atau bahkan alat musik. Tentunya karena alasan sentimentil.

Semakin bingung dengan masa depan koleksi rilisan fisik saya. Apakah penting untuk terus menggali musik lama Indonesia melalui plat, sementara kita bisa mendengarkan arsip musik lama Indonesia yang lebih lengkap, mudah dan gratis melalui situs iramanusantara.org? Sementara sebagai penggemar plat, koleksi saya juga masih kelas ringan. Jangan bandingkan dengan teman-teman kolektor yang hingga punya ratusan bahkan ribuan plat. Jadi buat apa juga?

Lalu masihkah penting belanja CD sementara semua sudah tersedia di layanan musik streaming? Pada akhirnya juga akan menumpuk di rak. Dan akhirnya atas nama kepraktisan lebih sering mendengarkan musik via laptop/ponsel plus speaker bluetooth.

Sampai sini saya tidak punya jawabannya. Saya malah ingin bertanya ke para pembaca, kira-kira 10-20 tahun lagi, apa yang akan terjadi dengan koleksi rilisan fisik kalian?  

A. Dijual dengan harga tinggi (investasi)

B. Tetap disimpan untuk diwariskan

C. Tak tersentuh di sudut ruangan dan berdebu

D. lainnya (silahkan jawab di kolom komentar)

Anto Arief

Vokalis/gitaris 70sOC dan penjaga konten Pophariini.com. Suka membaca tentang musik, tentang subkultur anak muda dan sangat gemar menonton film.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner