Gemuruh Musik Pertiwi

Gemuruh Musik Pertiwi

Kredit foto: Diambil dari konser launching album Screaming Factor di Malang, 27/01/19 - Oleh Ali Topan / Redbiter Photoworks.

Kolom metal hari ini soal naskah RUU Permusikan yang menggelikan, serta rekomendasi musik cadas terbaru dari 1984, Avhath, Disinfected, Mooner, hingga Screaming Factor.

Tahun 2019 baru berjalan sekitar sebulan tampaknya sudah muncul peristiwa penting di kancah musik Indonesia. Isu yang paling hangat – dan agak memanas – adalah polemik seputar naskah RUU Permusikan. Kalau belum tahu isinya, coba baca di sini.

Naskah itu memang lagi marak jadi obrolan di tongkrongan maupun media sosial para pelaku musik. Wajar saja sih. Kalau dicermati klausulnya memang agak menggelikan, dan bikin geram banyak kalangan. Tampaknya, pasal demi pasal itu dirancang oleh anggota parlemen yang terhormat namun nihil wawasan soal blantika musik Indonesia. Bahkan, sepertinya mereka tidak paham bagaimana industri musik itu bekerja.

Contohnya saja, menyangkut pasal 5 dan 50 itu sungguh sudah kebablasan. Itu pasal karet yang cenderung represif dan mengekang kreativitas para musisi. Lalu, ada ketentuan yang berpotensi merepotkan promotor atau penyelenggara pertunjukan musik (pasal 18-19), serta anjuran yang bisa memusingkan pengelola kafe atau bar (pasal 42).

Wahai wakil rakyat yang terhormat, simpan logika anda tentang cinta tanah air terhadap mereka yang pernah menyematkan bendera merah putih dengan sukarela di panggung festival musik kelas internasional. Sebut saja itu Burgerkill, Jasad, Beside, DeadSquad, atau Down For Life. Mereka semua memainkan musik metal – yang notabene diadopsi dari barat. Saya yakin mereka juga tidak peduli dengan tafsir nasionalisme, poros budaya barat-timur, atau konten norma versi pemerintah.

Blunder lainnya adalah soal uji kompetensi yang termaktub di pasal 32-35. Ini sungguh jenaka. Siapa juga yang peduli kudu ikut ujian dan memburu sertifikasi untuk menjadi musisi. Masak karya, pencapaian, dan diskografi saja belum cukup?! Regulasi seperti itu sudah pasti akan ditertawakan oleh Ian Antono, Man Jasad, atau Iksan Skuter yang memilih lebih fokus untuk berkarya daripada mengantongi semacam “Surat Izin Bermusik”.

Maaf saja jika naskah seperti itu dianggap kontraproduktif serta merendahkan harkat dan martabat para pelaku musik. Menyitir kalimat yang pernah diucapkan Sisir Tanah, “Tuan dan nyonya belajar logika sudah sampai mana?”

Alhasil RUU Permusikan ini dianggap bak manuskrip distopia. Saking absurd-nya, sampai-sampai Burgerkill menanggapi via akun media sosialnya: “Mohon maaf, kami tidak butuh RUU Permusikan!”

Ya sudahlah. Saya saja (yang bukan musisi) jadi ikut senewen khan. Padahal, awalnya di sini saya cuma mau menulis kolom metal untuk bersenang-senang – mengulas musik sekaligus memberi rekomendasi lagu/album cadas yang seru dan menarik.

Mari kita tunggu saja nasib RUU Permusikan yang kayaknya bakal dirombak dan ‘dikawal’ lebih ketat lagi oleh kalangan musisi yang punya akses ke Senayan. Berbekal semangat lagu “Breaking The Law”-nya Judas Priest, kalau memang tidak ada kompromi, ya hendaknya naskah itu ditolak saja. Cukup.

Well, yuk sekarang kita bahas musik saja. Belakangan ini, kuping saya dihajar oleh beberapa karya yang seru. Ini sebagian nama dari mereka...

Samack lahir dan tumbuh di kota Malang. Sempat menerbitkan Mindblast Fanzine (1996-1998) dan situs musik Apokalip (2007-2010). Tulisannya seputar musik dan budaya pop pernah dimuat di Jakartabeat, The Metal Rebel, Rolling Stone Indonesia, Vice Indonesia, Warning Magz, Whiteboard Journal, GeMusik, serta berbagai media lainnya. Sesekali menjadi editor untuk sejumlah buku dan penerbitan. Saat ini beraktivitas di bawah insitusi Solidrock serta mengelola distribusi rekaman bersama @demajors_mlg.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner