Geliat Musik Bali: Kecil, Kuat, Berbahaya

Geliat Musik Bali: Kecil, Kuat, Berbahaya

Meledak-ledaknya kancah musik di Bali ini sayangnya tak dibarengi dengan mutu produk, pengalaman, serta kesiapan sumber daya manusia yang memadai. Memang berlimpah artis yang eksis namun kebanyakan memilih jalan generik dan memainkan musik yang mirip dengan SID yaitu melodic punk. Sementara itu, di daerah-daerah lain di Nusantara juga bejibun band-band yang mengusung melodic punk, dengan mutu yang relatif lebih baik. Pun jika bicara soal pemasaran dan sisi manajerial, rata-rata masih kebingungan, apa strategi terbaik dalam menarik perhatian publik nasional. Belum lagi, stok manajer atau orang yang mau menjadi manajer—posisi vital agar fondasi nge-band lebih kuat—sangatlah terbatas, bahkan hampir nihil. 

Gejolak eksplosif ini berangsur meredup. Kerjasama Navicula dengan Sony Music Indonesia hanya menghasilkan letupan kecil, kurang signifikan. The Hydrant yang bergabung dengan EMI juga nasibnya segendang sepenarian. Lolot yang sempat meraih penghargaan di SCTV Music Award, meredup. Ketiga “sinar harapan” Pulau Dewata tersebut bisa dibilang sekadar ribut sebentar lalu beringsut sirna. Navicula, The Hydrant, dan Lolot balik lagi jadi jago kandang.

Berakhir hingga di situ saja? Syukurnya tidak. Mereka konsolidasi ke dalam, mempersiapkan amunisi yang lebih canggih, menambahkan pengalaman agar lebih kaya. Hanya SID yang justru makin jaya wijaya menaklukkan percaturan musik nasional.

Sampai akhirnya sejak sekitar empat tahun lalu Bali kembali menyeruak ke permukaan. Balik dari masa meditasi dan penggemblengan diri yang lumayan lama, dengan kekuatan penuh. Back in full effect. Navicula dan The Hydrant, misalnya, beredar pesat lagi di skena musik nasional. Dibarengi dengan rangkaian tur luar negeri yang konstan. Minimum setahun dua kali—utamanya The Hydrant—terhitung sejak 2015.

Sumber foto : https://fundrazr.com

Yang menarik, yang menampakkan diri bukan cuma wajah-wajah lama, tapi dibarengi muka-muka baru. Atau mungkin lebih tepat disebut sebagai “gelombang baru”. Sebut saja misalnya Zat Kimia, Nosstress, Rollfast, Jangar, Scared of Bums, Joni Agung & Double T, Leanna Rachel, Sandrayati Fay, dsb. Secara nasional nama-nama itu mampu menancapkan cakarnya dengan tajam. Lagu-lagu mereka dikenal dengan baik, sanggup mengundang sing along kala mereka manggung. Ajakan tampil bukan lagi sekadar dalam rangka promosi, dibayar sekadarnya. Tapi sudah secara profesional, diganjar dengan jumlah dana yang layak.

Sumber foto : Dok.Pribadi Zat Kimia, hasil tangkapan foto Teddy Drew

Rudolf Dethu memiliki beragam profesi. Mulai dari manajer band, penulis buku, jurnalis, pengamat musik, aktivis gerakan sosial kemasyarakatan, koordinator program kesenian, sempat menjadi penyiar radio cukup lama, pun menyandang gelar diploma di bidang perpustakaan segala.

Pernah ikut menyelenggarakan salah satu festival industri kreatif terbesar di Indonesia, Bali Creative Festival, selama 2 tahun berturut-turut. Namanya mulai dikenal publik setelah turut berperan membesarkan Superman Is Dead serta Navicula.

Belakangan ini, Dethu disibukkan utamanya oleh 3 hal. Pertama, Rudolf Dethu Showbiz, band management yang mengurusi The Hydrant, Leanna Rachel, Manja, Athron, Leonardo & His Impeccable Six, Negative Lovers, dan Sajama Cut. Kedua, Rumah Sanur - Creative Hub, di mana ia menjadi penyusun program pertunjukan musik dan literatur. Ketiga, MBB - Muda Berbuat Bertanggungjawab, forum pluralisme yang mewadahi ketertarikannya pada isu kebinekaan dan toleransi.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner