Gelaran Dengan Kekhasan Musik yang Menginspirasi
Bukan berarti mengkotakan, tapi gelaran-gelaran ini kemudian menjadi ukiran sejarah yang pada kemudian hari menjadi penting sebagai sebuah geliat kreatif dari gelombang musik tertentu lewat wadah besar yang kemudian berimbas signifikan bagi generasi setelahnya
Tidak bisa dipungkiri tahun 2022 lalu menjadi titik balik bagi banyak band untuk kembali lagi menjajal panggung, menjalani tur, serta sederet kegiatan lainnya yang sempat ‘mati suri’ pada dua tahun sebelumnya, kala pandemi melanda dunia. Tentu hal ini menjadi satu hal yang patut disyukuri, karena selain bisa membuat ‘dapur ngebul’ kembali, aktivitas manggung dan menjalani tur memang menjadi bagian yang tidak bisa terpisahkan dari kegiatan ‘anak band’.
Menggaris bawahi tentang aktivitas manggung dan tur, tidak tahu kenapa pikiran kemudian membawa saya pada deretan festival atau gelaran seperti Vans Wapred Tour, Rebellion Fest, Punk Rock Bowling, serta sederet gelaran lainnya yang berhubungan erat dengan keriaan merayakan musik, dan tentunya ajang musisi unjuk gigi dan bersilaturahmi. Gelaran-gelaran ini biasanya melibatkan banyak sekali band/musisi di dalamnya. Contohnya saja, Warped Tour yang sukses besar sejak didirikan pada tahun 1993 oleh Kevin Lyman (pria juga bertanggung jawab untuk menciptakan Taste of Chaos tour) dan dua tahun setelahnya Warped Tour telah disponsori oleh produsen sepatu skateboard Vans, hingga menarik perhatian dunia.
Gelaran ini memboyong 100 band (lebih) bermain selama musim panas, di berbagai tempat di seluruh dunia. Uniknya lagi, gelaran ini memulai semuanya dengan menyertakan banyak sekali band ska, skate punk, punk rock, pop punk, bahkan hingga band metalcore dan post-hardcore. Namun yang kemudian menjadi cukup identik dengan gelaran ini adalah punk rock (or pop punk?), yang kala itu menjadi sangat popular pasca kehadiran Green Day dan Blink 182 contohnya.
Saking menariknya gelaran ini, label SideOneDummy Records merilis album kompilasi Warped Tour yang berisi lagu-lagu dari banyak band yang bermain di tur, dan memungkinkan fans untuk menghidupkan kembali pengalaman konser mereka/bagi mereka yang tidak pergi untuk mendengar semua keriaan (dan kegilaan) di gelaran tersebut.
Selain Warped Tour, ada juga The Rebellion Festival (sebelumnya bernama Holidays in the Sun and the Wasted Festival) yang menjadi ‘hajatannya’ musik punk rock di seluruh dunia. Gelaran ini pertama kali digelar di Inggris pada tahun 1996. Festival ini telah menarik liputan pers dari berbagai belahan dunia seperti The Guardian, the Independent, The Daily telegraph, Kerrang, dan masih banyak lagi. Sama seperti Warped Tour, gelaran ini juga identik dengan musik punk, bahkan menebalkan hal itu untuk kemudian menjadi kekhasan dan jadi ‘naik hajinya’ band-band punk.
Hal ini menarik karena setiap gelarannya The Rebellion Festival selalu punya cerita menarik untuk disajikan. Tahun lalu tentu saja berita tentang band asal Bandung, Turtles Jr yang menjadi salah satu line up festival ini menjadi berita yang menggembirakan bagi publik tanah air. Sekian tahun berpegang pada apa yang mereka percaya (musik punk) akhirnya bisa membawa mereka ke ‘tanah suci’ asal musik ini berasal. Tentu dengan hal itu mereka bisa dengan lantang berteriak ‘punk not dead’ karena nyatanya musik ini masih ada, bertumbuh, dan menarik perhatian dunia.
Masih bicara tentang musik punk, selain keriaan di The Rebellion Festival, musik punk juga bergema di gelaran bertajuk Punk Rock Bowling & Music Festival yang pertama kali digelar pada tahun 1999 oleh dua bersaudara Shawn dan Mark Stern, yang juga dikenal sebagai pendiri label rekaman independen spesialis kancah punk rock, BYO Records. Yang unik dari gelaran tersebut, kata ‘Bowling’ di nama acara pun tak sekadar frasa belaka, di acara ini terdapat pula kompetisi bowling amatir. Hal ini menjadi unik karena kemudian gelaran ini menawarkan keriaan lain, selain tentunya sajian musik yang menjadi menu utamanya.
Tiga gelaran di atas kemudian tidak hanya menjadi identik dengan musik punk yang bisa dibilang dominan sebagai menu utamanya, akan tetapi yang menarik untuk digaris bawahi juga adalah tentang konsistensi untuk menggelar event tersebut selama bertahun-tahun. Saya pikir tidak mudah menjaga konsistensi karena butuh passion dan komitmen yang tinggi dari orang-orang yang terlibat di dalamnya. Tentang bagaimana api itu bisa tetap menyala dan membakar, sebenarnya itu yang kemudian jadi paling penting dalam setiap gelaran yang dibuat.
Selain itu yang menjadi catatan penting lainnya adalah tentang ‘catatan’ suatu genre musik tertentu yang kemudian diberi wadah besar untuk sama-sama unjuk gigi dan muncul ke permukaan. Bukan berarti mengkotakan, tapi gelaran-gelaran ini kemudian menjadi ukiran sejarah yang pada kemudian hari menjadi penting sebagai sebuah geliat kreatif dari gelombang musik tertentu lewat wadah besar yang kemudian berimbas signifikan bagi generasi setelahnya.
Imbasnya kemudian menginspirasi banyak hal yang bukan tidak mungkin bisa menghasilkan keriaan serupa atau bahkan bisa sesederhana menjadi trigger bagi banyak penonton yang menyaksikan untuk juga membuat band seperti idolanya di atas panggung. Semuanya bisa saja, karena sepertinya musik memang masih jadi ‘senjata’ ampuh untuk menggerakan. Bisa karena iramanya, bisa juga karena lirik yang ditulisnya.
Bukan tidak mungkin di Indonesia, atau Bandung khususnya bisa membuat gelaran seperti itu, selama hal itu didukung banyak pihak-pihak terkait yang punya wewenang. Tentunya akan sangat menyenangkan ketika banyak band di tanah air bisa sama-sama merayakan musik dan berbagi panggung yang sama. Apalagi ketika itu kemudian menjadi bagian dari budaya, seperti halnya The Rebellion Festival, di Inggris, atau pun Wacken Open Air di Jerman.
Comments (0)