Funk. MSG Untuk Musik Indonesia? (Bagian 2 dari 3)

Funk. MSG Untuk Musik Indonesia? (Bagian 2 dari 3)

(Baca artikel sebelumnya: Funk. MSG Untuk Musik Indonesia? (Bagian 1 dari 3))

Era 70an

Benarkah kalau funk itu hanyalah sekedar MSG belaka? Mari lanjutkan pembahasan itu melalui kilas balik cerita saya mengenal funk. Pada tahun 80an setelah mengenal musik funk melalui hits-hits di radio, lalu tahun 90an yang meriah, saya menemukan percampuran funk dengan rock, bahkan dengan metal. Plus menemukan label Inggris, Acid Jazz dengan band-bandnya yang meniupkan semangat funk revival di 90an, dan membuat saya tertarik ke dalam pusarannya, serta menemukan akar funk di 70an.

Perkenalan dengan internet di awal 2000an memberikan saya akses tak terbatas pada musik funk 70an dan akarnya musik: soul 60an. Munculah nama-nama besar soul/funk seperti Sly & The Family Stone, Parliament/Funkadelic, The Meters, dan dedengkot funk: James Brown, Marvin Gaye, Curtis Mayfield, dan Gil Scott-Heron. Saat itu sebelum ada layanan musik digital streaming, atau Youtube. Musik menyebar melalui ratusan blogspot ilegal maupun aplikasi file sharing, yang memungkinkan akses tak terbatas untuk download album-album funk/soul klasik. Maka mulailah saya membabi buta download semua itu.

Saya juga berkenalan dengan piringan hitam (PH) yang memberikan akses tak terbatas pada musik soul/funk 70an, dan yang utama: harta karun musik Indonesia lama. Namun mencari rilisan funk pada musik Indonesia lama ternyata tidak mudah. Saya tidak menemukan album funk Indonesia yang signifikan. Indonesia hanya punya The Rollies (dengan Gito Rollies “James Brown”-nya Indonesia) yang bertransformasi menjadi New Rollies. Tapi saya menemukan hampir semua musisi Indonesia pernah menyempilkan unsur funk. Dari Benyamin S. yang memasukan suara gitar dengan pedal wah-wah dan bass line yang joget-able plus solo gitar fuzz ala Jimi Hendrix.

Lalu ada sang raja, Rhoma Irama yang memadukan dangdut ber tabla dengan funk. Seru!

Untuk the Rollies karena para personilnya biasa bermain jazz rock, soul dan punya seksi tiup (brass section) yang maut terbiasa ditambah masuknya Gito Rollies yang terbiasa menyanyikan lagu-lagu James Brown tidak heran bila kemudian mereka mendekatkan diri dengan genre soul/funk. Simak lagu“Musik Kami” dari album Kemarau Vol.4 yang kental pengaruh funk nya. Album yang dirilis saat The Rollies muncul dengan formasi baru dan mengganti nama jadi New Rollies.

Lalu ada juga rocker legendaris Dedy Stanzah Indonesia yang pernah tergabung sebagai pendiri era awal The Rollies, dan kemudian membentuk supergrup trio, Superkid. Dalam salah satu album solonya Ia sempat nge-funk dengan lagu yang berlirik absurd ini.

Ada penjelasan mengapa musik funk cuma menjadi sempalan di musik Indonesia 70an. Salah satunya adalah karakter orang Indonesia yang selalu latah dengan tren. Dan saat itu funk tengah berjaya. Makanya banyak musisi yang menyelipkan unsur funk di lagu-lagunya. Namun sayangnya umur funk tidak panjang. Karena di saat bersamaan di Amerika funk bertransformasi menjadi disko yang lebih manis dan ngepop. Seluruh dunia geger demam disko, dan funk pun kalah pamor dan meredup.

Dan bicara demam disko di tahun 70an ironisnya disko justru membunuh musik funk. Sehingga band-band funk kemudian beralih bermain disko dan menjadi hit maker di radio seperti yang dilakukan Kool & The Gang. Tentunya berimbas di Indonesia. Tidak heran sepanjang akhir 70an dan 80an musik “funk/disko” di musik pop Indonesia pun bertaburan. Penyebutan “funk ‘garis miring’ disko” berlaku karena pada musik disko akan selalu ada unsur funk. Dan dengan semakin ringannya musik disko, definisi funk di sini memudar, tapi pengaruhnya seperti kocokan gitar funk berdecit, dan basslineserta ketukan drum funk masih terasa. Simak salah satu kompilasi musik funk/disko Indonesia 80an, di sini:

Salah satu problem rock Indonesia era 70an adalah masalah klasik: musisi harus mengikuti selera pasar. Di tahun 70an para cukong yang biasa memodali rekaman selalu ingin para musisi punya lagu pop melayu yang menjual. Makanya tidak heran bila mendengarkan sebuah album lama milik band rock Indonesia jaman dulu akan menemukan porsi lagu pop melayu yang lebih banyak. Begitu pula sebaliknya. Kadang dalam album musik pop ditemukan kejutan berupa lagu rock n roll/psychedelic/funk maksimal.

Salah satu contoh adalah band Panbers yang populer dengan lagu pop “Gereja Tua”, ternyata juga pernah liar dan memabukkan. Dan bila bicara band Panbers kita tidak boleh melupakan kompilasi dashyat Those Shocking Shaking Days: Indonesian Hard, Psychedelic, Progressive Rock and Funk 1970-1978 (2011) oleh label Amerika Now-Again. Di situ kita akan menemukan Panbers yang menebar rock psikedelia memabukan lewat “Haai” (yang kemarin direkam ulang oleh Kelompok Penerbang Roket). Oh ya di album ini juga kita akan menemukan (lagi-lagi) The Rollies yang funky lewat “Bad News”, serta unit rocker garang AKA bermain funk di “Shake Me”.

Those Shocking Shaking Days: Indonesian Hard, Psychedelic, Progressive Rock and Funk 1970-1978 (2011)

Supergrup AKA adalah contoh menarik funk bisa menyelinap di dalam karya mereka. AKA dikenal dengan lagu-lagu dan aksi panggungnya yang garang. Membawa peti mati dan ambulans dengan sirinenya di panggung hingga menggantung diri dicambuk dengan cemeti. Label Kanada Strawberry Rain pun memutuskan untuk merilis ulang lagu-lagu rock AKA dalam kompilasi AKA – Hard Beat dalam CD dan PH, tahun 2011 lalu. Dan tentu saja “Shake Me” yang sangat James Brown-esque ini masuk ke dalamnya.

Funk memang tidak pernah besar di Indonesia. Karena menilik sejarahnya dalam musik populer funk hanya numpang lewat dan terlibas oleh musik disko, anak kandungnya sendiri. Namun nafas funk dengan ciri khasnya gitar berdecit, irama yang membuat badan goyang, serta kenakalan tidak patuh pada ketukan semestinya tetap hadir di mana-mana. Seperti di lagu Benyamin S, Rhoma Irama dan AKA. Dan bicara era 70an dan band legendaris Indonesia bergenre soul/funk jawabannya ada pada The Rollies/New Rollies.

Begitulah kira-kira pengamatan sok tau saya tentang funk 70/80 an funk 90an. Bagaimana dengan funk 2000an – sekarang? Nantikan di tulisan terakhir Funk. MSG Untuk Musik Indonesia bagian 3.

BACA JUGA - Funk. MSG Untuk Musik Indonesia? (Bagian 3 dari 3)

Anto Arief

Vokalis/gitaris 70sOC dan penjaga konten Pophariini.com. Suka membaca tentang musik, tentang subkultur anak muda dan sangat gemar menonton film.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner