For Revenge 2020: Dibuka Derana, Ditutup Jentaka

For Revenge 2020: Dibuka Derana, Ditutup Jentaka

Perayaan Patah Hati

Siapapun, band manapun pasti mengalami efek pandemi ini. Termasuk kami. Ada masanya selama dua bulan kami benar-benar tidak berkomunikasi sama sekali, grup WhatsApp bernama “KURUPUK” itu dibiarkan tanpa notifikasi. Ditambah, kami harus kehilangan Arief Ismail yang memutuskan untuk hengkang dari fRーkami sengaja tidak mengumumkan kabar resign-nya Arief, karena jujur saja, saya, Chimot, Izha dan Cikhal masih menganggapnya bagian dari keluarga fR. Lengkap sudah. Proses kreatif harus berhenti, rencana untuk bisa merilis album di akhir 2020 pun tampaknya mustahil bisa terwujud. Pandemi ini benar-benar mematahkan hati.

Sampai pada satu titik, saat kami dipaksa untuk “diam di rumah”, ide itu muncul. Ya, terkadang kreativitas muncul saat kita dipaksa. Di suasana seperti ini, yang ingin saya lakukan adalah membuat lagu yang sangat-sangat kelam. Ide itu lalu saya sampaikan ke Cikhal (gitar), Izha (bass), Chimot (drum) dan Salt, gitaris band Eirene yang belakangan membantu menjadi music director di proses kreatif fR. Sebuah ide yang pada akhirnya memecah kebuntuan kami.  

Suatu hari, sebuah file sampai di grup WhatsApp. “Fuck Emo.MP3”, judul file itu. Dan ya, setelah saya dengarkan, demo lagu itu memang terlalu post-rock untuk bisa dibilang emo.

But, I love it. Lagunya begitu kelam, dan akan lebih suram jika ditambahkan diksi-diksi yang menyayat hati.


For Revenge with Wira Nagara

Wira Nagara, nama yang tidak sengaja terlintas saat saya men-scroll feed Instagram. Seorang komika jebolan SUCI 5, sekaligus penulis buku Distilasi Alkena (2016). Saya pribadi menyukai karya-karya yang ditulisnya, rasanya ada benang merah antara fR dan Wira Nagara: kami sama-sama emo. Selanjutnya bisa ditebak, perbincangan saya dan Wira di tengah malam berujung pada kesepakatan, kalau Wira akan mengisi lagu ini dengan puisi. Temanya? Patah hati.

Tidak butuh waktu lama, berselang dua jam, Wira mengirimkan voice note berisi puisi yang dia rekam. “Ada revisi?” tanya Wira. “Enggak pak! Ini sakit!” jawab saya setelah mendengarkan puisi berdurasi nyaris tiga menit itu. Walau sesekali saya harus membuka kamus, untuk memaknai apa yang ditulis Wira. Ada sedikit ketakutan saat itu: “Apa bisa lirik seberat ini bisa diterima pendengar fR?”. Ah sudahlah, siapa yang tahu kalau belum dicoba.

"Perayaan Patah Hati" pun dirilis 17 Agustus 2020. Sebuah kolaborasi lintas profesi, yang akhirnya membuat saya menemukan hal baru: ternyata bukan anak senja aja yang bisa berpuisi, anak emo pun bisa, hehe. Walaupun ya, ada saja komentar-komentar yang menyayangkan, “kenapa part Boniex dikit banget?” kata pendengar lama fR. Hehe, kalian tidak tahu, bahwa sebenarnya tujuan lain lagu ini memang dibuat untuk memaksa “anak senja” melirik fR.

Lagu ini yang kemudian membuat fR menggeliat lagi. Meski kelam, lagu ini punya optimisme di liriknya: “Takkan lelah menanti, menunggu datang hari, kita bersua lagi merayakan patah hati”. Ya, akan datang waktunya, fR bisa kembali ke atas panggung, merayakan patah hati bersama-sama. Secara langsung, bukan virtual. 

Boniex Noer, bermain di depan layar unit modern rock/emo For Revenge dan bekerja di belakang layar sebagai produser di salah satu televisi swasta.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner