Eksklusivitas Musisi/Musik yang Semakin Hari Semakin Berkurang

Eksklusivitas Musisi/Musik yang Semakin Hari Semakin Berkurang

Era digital seperti dua mata pisau, bisa memudahkan, bisa juga menghilangkan esensi dari intensitas pendengar, hingga kemudian menghilangan eksklusivitas dari musik itu sendiri

Musik bisa jadi sesuatu yang sakral dan personal. Seseorang yang menggemari The Beatles atau The Rolling Stones bisa jadi punya latar kisah dengan alasan kuat dibelakangnya. Atau bagaimana ketika seseorang mengimani sebuah lagu yang jadi trigger dalam mengubah hidupnya. Bukan tidak mungkin jika musik bisa jadi juru selamat dalam hidup seseorang. Itu semua terjadi karena intensitas yang disajikan musik pada seseorang. Dalam konteks zaman sebelum internet, artian sakral dan personal juga bisa mengerucut pada cara seseorang mengenal musik tersebut, yang tentunya karena arus informasi tidak sederas sekarang, perjuangannya lumayan besar untuk sekedar tahu ada band keren di luaran sana.

Zaman dulu musik kemudian menjadi eksklusif karena akses yang susah disentuh oleh pendengar. Berbeda dengan era digital hari ini di mana musik sudah merupakan hal yang sangat mudah didapat, dari mulai era warnet yang menjadi rujukan referensi musik kita, hingga banyaknya platform musik digital yang menyajikan ribuan lagu setiap harinya. Kasar kata, lucunya mungkin hari ini sudah tidak ada lagi yang bisa menepuk dada dan mengaku ‘hipster’, karena nyatanya semua orang bisa punya akses untuk mendapatkan referensi musik yang beragam, bahkan sampai dititik ‘aneh’. Jika dulu mungkin Nine Inch Nails atau Radiohead membuat banyak orang terheran-heran dengan gaya bermusiknya, bisa jadi hari ini ada ribuan band yang menampilkan musik tidak kalah unik dengan dua band itu. Fenomena yang mungkin pada ouputnya melahirkan banyaknya ‘music snob’ dengan analisanya masing-masing. Hehe just saying.

Era digital seperti dua mata pisau, bisa memudahkan, bisa juga menghilangkan esensi dari intensitas pendengar dengan musik itu sendiri. Tombol next dalam setiap pemutar musik mungkin jadi pembeda paling kentara dari cara orang mendengar musik. Musik jadi hanya sekilas dengar saja, tanpa adanya keterikatan dan eksklusivitas itu tadi. Dengar sekilas lalu tekan tombol next dan beralih ke lagu lain. Masuknya era streaming digital membuat musik tidak seeksklusif dulu, di mana hal itu makin menjauhkan sebuah ritual pada era analog berjaya, seperti mendengar album secara full (tanpa skip), lengkap dengan barisan lirik di sampulnya, bahkan hanya sekedar membaca ucapan terima kasih dari para personilnya. Dari hal sederhana seperti itu kita merasa dekat dengan musisi yang kita idolakan. Kita merasa jika kita pendengar eksklusif mereka (meski mungkin ada ribuan lainnya yang mendengarkan album tersebut), lewat cara para musisi itu ‘menyentuh’ dengan musiknya bisa kita rasakan.

Intensitas dan eksklusivitas itu makin menjauh ketika teknologi membawa musik pada era ring back tone atau RBT, sampai hari ini ketika Tik Tok menjadi platform yang ‘berhasil’ menyajikan musik tanpa ruh. Bagaimana mungkin kita bisa terikat dengan sebuah lagu yang ditampilkan hanya beberapa detik saja? mengesampingkan intro, chorus, bahkan interlude lagu, yang tidak jarang punya kesan mendalam buat kita sebagai pendengar.

Cara mendapatkan musik yang sangat mudah kemudian berbanding lurus pula dengan eksklusivitas musisi yang semakin hari semakin berkurang, karena tidak adanya keterikatan itu tadi. Bagusnya mungkin era sekarang tidak akan melahirkan kubu-kubu dalam musik seperti zaman The Beatles VS The Rolling Stones, Blur VS Oasis, atau bahkan Limp Bizkit VS Slipknot, karena mungkin fanatismenya tidak terbangun. Namun, itu juga artinya setiap musisi yang kita dengar ‘hari ini’ seperti tidak sedang mewakili siapapun, selain hanya sedang bercerita tentang pengalamannya yang tertuang dalam sebuah lagu. Tidak ada lagi Oasis si kelas pekerja atau pun Blur si anak kampus.

Saya teringat cerita beberapa musisi atau penggerak scene musik indie dalam beberapa wawancara. Mereka mengisahkan tentang betapa musik kemudian jadi sesuatu yang prestise karena akses mendapatkannya susah. Harus orang yang punya privilege yang bisa mendapatkan akses tersebut. Karena itu lah musik terasa eksklusif. Dalam buku Pure Saturday: based on a true story karya Idhar Resmadi misalnya. Disana dikisahkan jika referensi bermusik para personil Pure Saturday tidak bersentuhan dengan musik-musik –so called- ‘indies’, namun berkat peran Uci ‘Kubik’ mereka akhirnya tahu band-band seperti itu, hingga akhirnya menjadi trigger dalam membangun musik Pure Saturday hingga hari ini. Bayangkan jika zaman itu musik ‘indies’ tidak punya kadar eksklusif, mungkin akan ada banyak band seperti Pure Saturday, dan ceritanya mungkin akan berbeda, mungkin nama Pure Saturday juga tidak akan muncul ke permukaan karena warna musik yang ‘pasaran’.

Eksklusivitas musisi yang semakin berkurang juga karena ‘hari ini’ semua orang bisa jadi musisi. Semua orang, selama itu punya perangkat komputer dan akses internet rasanya bisa membuat musik dan mendaku sebagai musisi. Meski hanya dari kamar mereka bisa membuat musik yang mereka mau. Pada outputnya apakah musiknya bisa bicara lebih atau tidak itu lain soal, yang jelas pada intinya mereka bisa membuat musik dan menjadi musisi. Jika semua orang bisa menjadi musisi, maka siapa yang pantas kita panggil the real musician? Apakah kreator Tik Tok? Kreator Reels di Instagram? Apakah pembuat jingle? Penjaga studio musik? Pengamen?

Saya percaya jika musisi-musisi jenius seperti David Bowie atau pun Lou Reed lahir bukan karena cara mereka membuat musik saja, tapi dibalik itu ada hal-hal otentik yang mereka sajikan sampai menciptakan kekhasannya masing-masing. Terasa eksklusif karena hal itu berbanding lurus pula dengan hal otentik yang mereka punya. Karya mereka saat itu disajikan utuh dari intro hingga coda, tidak dipotong hanya sekian detik demi memuaskan dahaga joget anak muda hari ini. Saya juga masih muda sih. Ini kesannya saya orang tua yang lagi nyeramahin ya hahaha. Bebas sih sebenarnya, hanya saja ini point of view saya sebagai anak muda yang lahir pada era digital namun terikat dengan sesuatu yang konvensional, seperti halnya intensitas musisi dan pendengarnya, hingga hal itu membuat musik jadi sesuatu yang eksklusif, tidak hanya didengar sekilas. Apa memang sekarang polanya seperti itu ya? Sama halnya dengan membaca berita dengan sekilas, mendengarkan musik juga sekilas, tapi berkoarnya seolah membaca atau mendengar sesuatu dengan utuh. Waduh sok ngritik lagi deh hehehe peace.  

BACA JUGA - Sedikit Tentang Post Punk dan Pengaruhnya Hingga Hari ini

Gilang Dhafir Dhiaulhaq

Gilang merupakan salah seorang personil dari band The Sugar Spun. Selain itu Gilang juga aktif mengurusi musikatalog, yang bergerak di bidang media dan pengarsipan musik. Ketertarikannya akan olah suara membuatnya banyak terlibat dalam produksi musik, baik itu dengan band atau pun dengan proyek musik lainnya

 

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner