Efek Samping Membaca Buku 'Harry Roesli Si Bengal dari Bandung'

Efek Samping Membaca Buku 'Harry Roesli Si Bengal dari Bandung'

Musik Harry Roesli sejak awal memang sudah masuk kategori “mencong”; album The Gang of Harry Roesli - Philosophy Gang tentu bukan barang umum pada dunia rekaman musik Indonesia

Sejak pesanan datang di Jakarta, buku itu saya letakkan saja, Saya memilih untuk membawanya ke Leiden, Belanda, tempat saya menetap sementara, untuk dibaca di sana. Ketika harinya tiba, mulai membuka Harry Roesli Si Bengal dari Bandung karangan Idhar Resmadi; buku dengan sampul biru bertulisan putih, saya terdiam di dalamnya. Hasrat saya ingin menulusuri dan enggan keluar.  

Sembari membaca, hingga saat tuntas, saya selalu ingin mengecek apa saja: memutar satu demi satu diskografi Harry Roesli yang tercecer serta mencoba mencari jejak-jejak pertunjukannya, dari Opera Ken Arok, bersama Putu Wijaya (Teater Mandiri), Nano Riantiarno (Teater Koma), atau apa pun yang telah dibuatnya—pada pertunjukan “Musik Rumah Sakit” dideskripsikan oleh katalognya sebagai “30% hiburan, 30% analisa, 20% eksperimen, dan 20% sisanya ialah konsentrasi untuk sebuah pagelaran”.

Hal lainnya, saya cukup penasaran akan masa sekolah Harry Roesli di Rotterdam Conservatory. Harry mendapat beasiswa pada 1977, lulus sebagai doktor musik pada 1981, setelah menghabiskan waktu kurang lebih 3,5 tahun. Pada kurun waktu itu ia seringkali bolak-balik Indonesia-Belanda.

Tesis Harry Roesli berjudul “Pengaruh Negatif Musik terhadap Daya Tahan Belajar”.  Saya sebetulnya tidak fokus ingin menemukan teks tesis itu, tapi membayangkan mungkin bisa saja masih tersimpan di kampusnya sebagai arsip audio tugas-tugas kuliah Harry Roesli. Saya tertarik karena pada buku Harry Roesli Si Bengal dari Bandung diungkapkan fase kecendrungan Harry Roesli pada musik yang lain dari yang telah ia buat sebelumnya. Berikut petikan di buku itu, terletak pada “Bab 6: Sang Kameleon Musikal”…

Makanya, sebelum berangkat, Harry intens mempelajari musik-musik dari imigran seorang Polandia bernama Basil Kirchin. Dia memperoleh musik Basil Kirchin ketika sedang berada di perpustakaan Erasmus Huis, Jakarta Selatan. Itulah alasan yang membuat ia ingin lebih banyak mempelajari musik elektronik atau elektroakustik di Belanda.

“Saya memperolehnya dari perpustakaan yang terdapat di Erasmus Huis. Sukar untuk menerangkan secara mendetail kepada Anda, tapi jenis musk ini boleh dibilang new wave electronic music, semacam aliran baru dunia musik yang memasukkan unsur-unsur efek elektronis ke dalam sajian musiknya,” ujar Harry ketika diwawancarai Aktuil.    

Petikan wawancara itu diambil dari Majalah Aktuil terbitan 1978 dengan judul “Harry Roesli Menuju Musik Elektronik?”. Menjadi menarik buat saya ketika Harry mengatakan “sukar untuk menerangkan secara mendetail kepada Anda” ketika ‘Anda’ yang dimaksudkannya adalah seorang wartawan majalah musik paling hip dan maju di zamannya. Ditambah lagi, Harry Roesli dan Majalah Aktuil pun berhubungan dekat (di era 1970an, corong utama yang banyak memberitakan kiprah Harry Roesli, sampai menjadikannya sampul, adalah Aktuil). Bagaimana lagi bila Harry Roesli harus menerangkan visi masa depan musiknya kepada “wartawan biasa” dan “khalayak umum”?

Musik Harry Roesli sejak awal memang sudah masuk kategori “mencong”; album The Gang of Harry Roesli - Philosophy Gang tentu bukan barang umum pada dunia rekaman musik Indonesia. Dirilis 1973, Harry Roesli dan rekan-rekan bandnya banyak dipengaruhi progressive rock, temasuk Frank Zappa dan Gentle Giant (album demi album kemudian dirilis oleh Harry Roesli, dengan musiknya itu dijuluki sebagai “Frank Zappa-nya Indonesia”). Tapi yang paling luar biasa bagi saya adalah bagaimana ia menulis lirik, terutama pada “Malaria”, lagu paling legendaris dari debut album ini, juga untuk segenap diskografi Harry Roesli, meskipun harus pula kita akui bahwa lagu ini tak seberapa terkenal bagi masyarakat luas.

Seprai tempat tidurmu putih

Itu tandanya kau bersedih

Mengapa tidak kau tiduri?

Kau hanya terus menangis

Apakah kau seekor monyet yang hanya dapat bergaya?

Kosong sudah hidup ini bila kau hanya bicara

Guling bantalmu kan bertanya, “Apa yang kau pikirkan, Nona?”

Kau hanya bawa air mata dan ketawa yang kau paksa

Lantai kamarmu kan berkata, “Mengapa Nona pengecut?”

Lanjutkan saja hidup ini sebagai nyamuk malaria

Setelahnya, kita tahu Harry Roesli membuat pagelaran “Rock Opera Ken Arok” yang kemudian konsep ini dijadikan album rekaman (menarik sekali membaca di buku ini bagaimana Harry Roesli bergerak untuk bisa mewujudkan gagasan akbarnya, termasuk menggabungkan dua kubu tongkrongan anak muda Bandung: “anak disko” dan “anak gunung”). Harry Roesli lalu kemudian merilis Titik Api bersama Majalah Aktul—album yang juga menerobos dengan memadukan musik tradisional dan Barat.  

Tiga tonggak album Harry Roesli ini jauh di kemudian tahun dirilis kembali oleh indie label Lamunai Records berturut-turut pada 2017, 2019, dan 2020. Album-album ini kembali diputar dan dibicarakan, diperkenalkan dan disimpan.

Tapi dengan membaca buku Harry Roesli Si Bengal dari Bandung, saya mengoprek lebih banyak dan mungkin lebih intens dari sebelumnya, hingga bertemu album Harry Roesli ’83. Saya merasa mendapatkan buah emas dari apa yang dikatakan Harry Roesli dalam wawancara tahun 1978 di atas, tentang musik elektronik yang menjadi perhatiannya.

Harry Roesli ’83 adalah album instrumental dengan dua lagu saja di dalamnya: Side A diisi oleh “Batas (Echo, 1)” dan Side B diisi oleh “Tengah Malam di Puncak Bukit yang Sepi di Utara Bandung yang Dingin (Echo, 2)”. Ketika pertama memutarnya, saya langsung tertarik bukan kepalang!

Terus terang, ingatan saya langsung tertuju pada Brian Eno dengan Ambient 1: Music for Airports (1978) beserta segenap kelanjutannya. Saya sampai memutar album itu lagi dan lagi, termasuk (dengan musik seperti itu, tentu saja) pernah tertidur dengan earphone menyala. Masing-masing penyuka musik punya Harry Roesli kegemarannya; untuk saya sekarang adalah Harry Roesli ’83.  Album ini juga sebenarnya yang membuat saya penasaran akan apa-apa saja musik yang pernah dikerjakan Harry Roesli semasa sekolah di Rotterdam.

Harlan Boer

Harlan Boer adalah penulis, musisi, produser, dan seniman visual. Pernah tergabung bersama the Upstairs, C'mon Lennon, dan menjadi manajer band Efek Rumah Kaca. Sebagai singer-songwriter hingga kini sudah merilis sejumlah single, 4 mini album, dan 2 album penuh. Tinggal dan bekerja di Jakarta.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner