Eastern Elite Commander: Bertamasya ke Lorong Kegelapan dari Timur

Eastern Elite Commander: Bertamasya ke Lorong Kegelapan dari Timur

"Jika ingin membangun dan menjaga keawetan sebuah, sebut saja; genre musik, maka berkomunitaslah. Barangkali sejalan dengan wasiat B.R. Ambedkar, sosok radikal pendiri Partai Buruh di India yang berbunyi slogan educate, organise, agitate. Tidaklah berlebihan mengandaikan dua hal tersebut, sementara yang satu berwujud komunitas yang sifatnya non-hierarkis, sedang yang satunya adalah organisasi yang mustahil dibikin tanpa struktural yang tegas. Namun demi menghadapi jeratan industri raksasa yang kian menjadi-jadi, pilihan saling merekatkan diri dan terus mengupayakan kemandirian merupakan tindakan paling rasional, apalagi dalam konteks musik bawah tanah."

Akhir 2015, sebuah poster dengan deretan huruf terbaca Garage Blackness mengumumkan diskusi tentang Black Metal. OK, sebuah diskusi, dan ini tentang Black Metal. Seolah terbuka jalan terang bagi saya waktu itu yang sebelumnya nyaris tidak menemukan kawan mengobrol soal Black Metal. Kali ini adalah momen tepat dan saya harus ikut hadir di situ. Di Surabaya.


Almarhum Yayak ov Rajam

Acara yang diselenggarakan pada 16 Januari 2016 di kediaman Daniel Natjaard itu ternyata tidak semuanya mampu memuaskan saya dari seputar isu dan obrolan-obrolannya. Namun, hal-hal tersebut tidaklah jadi masalah karena mempertemukan saya dengan beberapa sosok seperti mendiang Yayak “Sir Warlord” Rajam, Tony Throne dan Dewadji Ratriarkha dari Djiwo. Momen dari acara itu malahan menginspirasi saya untuk menggarap film dokumenter "Where Do We Go" sekaligus menyusun langkah-langkah berikutnya, seperti beberapa kali berkunjung ke kota itu dan membangun jaringan pertemanan.

Beberapa waktu setelah acara itu pun ternyata kawan-kawan melanjutkan pergerakan dengan membangun komunitas bernama Eastern Elite Commander (EEC). Sementara, saya bolak-balik dari Jogja dan beberapa kota lain menyibukkan diri dengan proyek dokumenter tadi.

Sebuah komunitas berbenderakan bawah tanah bukan hal yang baru. Dulu, saya juga sempat mendirikan komunitas serupa di kampung halaman, Bumiayu, namun saya memutuskan keluar. Kenapa? Karena ranahnya mulai diseret-seret ke arah komersil. Sampai pernah saya hasut beberapa kawan untuk memboikot sebuah rencana event di sana. Memang kejam sih, tapi apa iya saya mesti bungkam begitu saja?

Hadirnya EEC ini bagi saya menjadi semacam rumah baru yang secara khusus mewadahi segala hasrat dan kegilaan pada musik Metal. Jogja memang masih menjadi rumah saya untuk berkesenian tapi di bidang yang lain, tidak untuk Metal yang ternyata malah dihadirkan oleh kawan-kawan di EEC. Dan OK, di Jogja pun ada komunitas musik bawah tanah, namun bagi saya sendiri pribadi merasa lebih cocok dengan rumah yang ada di Surabaya itu.

Hernandes Saranela

Hernandes Saranela merupakan pembuat film personal di bawah bendera kolektif Cinemarebel Yogyakarta. Vokalis dari band Punk DEMSTER & band Pagan Metal ENUMA ELISH. Juga menjadi pengajar film dan akting di salah satu kampus di Jogjakarta.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner