Catatan Bodoh Musik Indonesia Hari Ini

Catatan Bodoh Musik Indonesia Hari Ini

Bab 3. Periode: 2007-2012

Lokasi ruang redaksi Trax Magazine circa 2007-2012:

Invasi Yogjakarta menyuguhkan band-band kontemporer menarik hati bermain di wilayah yang liar dari indie pop, psychedelic revival hingga eksperimetal. Sementara Jakarta terus mencoba mencetak band-band baru dengan kemunculan durasi yang super cepat membuka gerbang genre indie rock. Saya rindu Bandung. Saat itu kami atas nama redaksi menuangkan sebuah ide kompilasi  lintas genre dan daerah bertajuk "Traxound", yang muncul di setiap eksemplar setiap bulannya. Saya nyaris tak menemukan band Bandung dari hasil kurasi yang saya lakukan, untuk masuk kedalam kompilasi tersebut. Mungkin alasan di Bab 2 diatas yang menyebabkan sulitnya Bandung untuk bergerak dan mencetak band-band baru.

Sebuah percakapan yang menarik pun terjadi antara saya dan Helvi, seorang scenester tua yang memiliki label FFWD Records. Pertanyaan yang sama saya layangkan, "kenapa hanya merilis katalog baru dari band-band lama?". Jawabnya sangat sederhana, karena dirinya dan tim tidak menemukan banyak pilihan band baru saat itu. Pasukan Bandung saat itu masih didominasi oleh nama-nama besar yang itu-itu lagi, saya rindu gebrakan segar anak muda dari Bandung.

Bab 4. After Math

Kendati represif yang sangat mendalam terutama bagi subsektor musik di Bandung tak menyurutkan semangat kreatifitas muda mudi Bandung. Seperti kepiawaian muda mudi Bandung dari dahulu adalah dengan cepat mampu menyerap kultur dan gaya baru (seperti munculnya kultur brand clothing lokal akhir 90an). Derasnya arus informasi dan akses Jakarta Bandung yang kini semakin mudah membuat pilihan-pilihan baru. Musik sepertinya tak lagi menjadi pilihan utama bagi para muda mudi, efek "coolness" kini telah membaur ke subsektor lainnya dari fashion, film maker, graphic design, barista, kuliner, dan ide-ide entrepreneur lainnya telah menjadi pilihan baru yang seksi. Seiring dengan terbukanya kembali akses bagi subsektor musik, tingkat represif tak lagi seketat dahulu. Namun sepertinya paksaan hibernasi panjang ini membuat subsektor musik tak lagi menjadi primadona dan sedikit sulit untuk berevolusi.

Teringat perbincangan saya dengan Bob Tutupoly yang memberi kesaksian kalau dahulu sebuah band belum manggung di Bandung berarti kualitas band kamu belum teruji, begitu singkatnya. Begitu pula dengan kesaksian Remy Sylado, editor sekaligus redaktur majalah musik legendaris Bandung, Aktuil pada era akhir tahun 60an hingga 70an, yang bertutur bahwa Bandung adalah trend setter bagi sektor musik dan fashion. Persis seperti yang orang-orang bilang di tahun 90an, yang menyatakan jika belum manggung di GOR Saparua berarti belum sah untuk dikatakan sebagai band "Underground". Dengan adanya kondisi yang terpapar diatas, Bandung telah mendapatkan pukulan keras dengan tingkat represeif yang cukup tinggi, dan sepertinya sebutan "gudangnya anak musik" hingga saat ini secara global adalah hanya sebatas catatan sejarah.

Lahir di Bandung 28 Juni 1977, mengawali karir bermusik bersama Harapan Jaya sebagai vokalis sejak 1996 hingga band ini diyatakan bubar. Membuat Teenage Death Star sebagai gitaris bersama Sir Dandy di tahun 2002. Sejak 2005 hingga 2012 menjabat sebagai Feature Editor di Trax Magazine. Pada tahun 2013 hingga sekarang membentuk Yayasan Irama Nusantara. Sebuah Yayasan pengarsipan musik populer Indonesia pra kemerdekaan hingga 1980 (sampai saat ini).

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner