Campur Sari Indie & Top 40 di Bali
Apakah merupakan aksi terlarang ketika sebuah band indie menyanyikan lagu orang lain? Bisakah dikategorikan dalam perbuatan tidak menyenangkan kala sekelompok grup musik yang mengaku indie namun faktanya kerap tampil menyanyikan tembang-tembang populer/Top 40?
Fenomena menarik tersebut sedang riuh terjadi di Bali belakangan ini. Walau sejatinya sudah ada sejak cukup lama, jajaran pegiat indie mulai dari Zat Kimia, Aray Daulay (almarhum), hingga bahkan Navicula, pernah cukup aktif "ngamen" di bar-bar di Bali selatan. Namun "serbuan" para aktivis indie di masa pagebluk ini mengalami peningkatan signifikan. Grup-grup musik seperti Manja, Modjorido, Soulfood, Ras Muhamad x Bhismo, serta solis macam Truedy dan Rivaba, silih berganti meramaikan panggung-panggung pertunjukan bar dan restoran di Canggu, Seminyak, Nusa Dua, sampai Uluwatu. Bergantian dengan paguyuban dendang Top 40 veteran seperti, sebut saja misalnya, Ika & the Soul Brothers serta Djampiro.
Mengapa peristiwa seperti ini bisa terjadi? Lama-lama sulit membedakan yang mana band indie yang mana Top 40. Apa masih pantas—katakanlah—Manja dan Modjorido, mengklaim diri sebagai grup indie? Wong nyatanya mereka bagai tanpa beban bersenandung lagu-lagu orang. Nyaris tiada independensi tersisa sebab melulu menyuguhkan bukan karya sendiri.
Jika menilai kemandirian dari aspek seberapa luhur karya sendiri, pantang (sering-sering) menyanyikan milik orang maka—sekadar menyebut nama—Manja dan Modjorido sungguh kurang pantas mengaku sebagai band indie. Namun kalau menaksir independensi dari persepektif "hidup-mati dari musik" maka Manja dan Modjorido sangat layak dikategorikan sebagai musisi mandiri. Sebab bermain musik menjadi elemen vital di keseharian mereka. Istilahnya: bisa makan dari main musik. Tak tergejala setengah hati: musisi bukan, kantoran segan.
Comments (0)