Buku dan Lirik, Dua Mata Pisau yang Sama Mematikan

Buku dan Lirik, Dua Mata Pisau yang Sama Mematikan

Ilustrasi oleh Muhammad Senna.

Orang tua adalah awal dari ketertarikan saya pada buku. Setiap kali anak-anaknya berulang tahun, mereka selalu memberi hadiah buku. Tentu saja isinya disesuaikan dengan umur mereka saat itu. Dari mulai ensiklopedia dinosaurus, teori evolusi Darwin, kisah para nabi sampai ekspedisi manusia ke bulan. Juga buku-buku komik terbitan DC dan Marvel yang berhasil membangun fantasi kekuatan superhero.

Selain buku, setiap bulan mereka sengaja berlangganan majalah anak-anak yang setiap kali datang edisi terbaru selalu menjadi rebutan di antara kakak dan adik. Begitu pun setiap acara pergi keluar rumah, selain museum dan tempat-tempat piknik di alam bebas, mereka pasti menyempatkan diri untuk sekadar mampir ke toko buku. Dulu, pilihannya hanya toko buku Gramedia.

Kebiasaan itulah yang menjadikan buku sebagai kebutuhan yang sama pentingnya dengan makanan. Hingga tak terasa koleksi buku keluarga menumpuk memenuhi setiap sudut rumah.

Sampai suatu hari, saya bersama adik dan kakak berinisiatif untuk membuka perpustakaan di beranda depan rumah. Banyak sekali tetangga sebaya yang datang untuk meminjam. Saking banyaknya, kami semua bingung siapa saja teman yang datang dan pergi membawa buku-buku tersebut. Kesalahan kami adalah lupa mencatat nama dan judul buku yang dipinjam. Alhasil, dalam beberapa minggu koleksi buku kami raib tak pernah kembali. Hanya beberapa teman yang sadar dan mau mengembalikan.

Kebiasaan membaca buku di keluarga berjalan beriringan dengan kecintaan pada musik. Di tengah ruang keluarga kami, terpasang alat pemutar kaset lengkap dengan speaker besar. Lemari di ruang keluarga dipenuhi koleksi kaset yang berjajar rapi dan di tiap bungkus plastiknya terpasang nomor. Yang saya ingat ada sekitar 200 kaset.

Hampir setiap hari bapak memutar kaset-kaset koleksinya. Kebanyakan yang diputar lagu-lagu rock seperti Deep Purple dan Led Zeppelin. Kadang, ibu saya dan kakek ikut memutar lagu-lagu degung Sunda dan wayang golek. Selain itu, di tiap kamar ada radio lengkap dengan pemutar kaset.

Tiap anak punya musik favoritnya masing-masing. Saya suka dengan musik rock seperti yang bapak saya putar. Setiap pagi menjelang sekolah, ketika kami sarapan bersama, buku dan musik selalu hadir menyambut hari yang akan dijalani. Dari keseharian itulah awal dari petualangan saya untuk mengenal lebih jauh tentang buku dan musik.

Ranah musik bawah tanah kota Bandung tidak akan pernah sama jika Addy Gembel tidak hadir di era '90an. Bersama grup musik ekstrim yang dinamai Forgotten, ia lantang menyuarakan hal-hal provokatif dan kontroversial, dengan dua jenis pilihan bahasa: frontal dan sangat frontal.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner