Berdosakah Jika Tak Antusias pada HUT RI?

Berdosakah Jika Tak Antusias pada HUT RI?

Foto di atas didapatkan dari jasa pencarian daring.

Saatnya memperingati 17 Agustus alias Hari Kemerdekaan Republik Indonesia alias Hari Ulang Tahun Republik Indonesia nih. Atau, singkatnya kita sebut Agustusan saja ya.

Sejujurnya, bagi saya perayaan kemerdekaan itu, hanya terasa menarik ketika masih kanak-kanak. Setiap datang bulan Agustus, hati girang, karena terbayang bakal ada lomba-lomba di komplek, dan panggung Agustusan. Saya masih ingat berdebar jantung mengikuti lomba makan kerupuk. Meskipun tak pernah menang, rasanya selalu menyenangkan. Saya juga masih ingat jantung berdebar ketika SD melihat anak perempuan bernama Gadis—yang sepertinya sih seusia saya juga—menari bersama dua temannya diiringi lagu “Gadisku” dari Trio Libels di panggung Agustusan. Almarhum bapak saya juga selalu membeli bendera merah putih berukuran kecil untuk diikat di spion kanan kiri mobil kami setiap Agustusan. Pokoknya, Agustus adalah salah satu bulan istimewa.

Tapi sekarang, Agustusan terasa biasa saja buat saya. Tak ada yang istimewa. Dan saya selalu merasa berdosa, apakah ini artinya nasionalisme saya sudah terkikis? Apakah rasa kebangsaan saya memudar? Apakah ini sama buruknya dengan muslim yang tak bahagia menyambut datangnya Ramadhan?

Jangan-jangan, karena sudah tak pernah upacara bendera, nasionalisme memudar. Minimal, waktu masih sekolah, seminggu sekali saya mendengarkan Pancasila dibacakan, lagu Indonesia Raya dan lagu wajib nasional dikumandangkan. Minimal, seminggu sekali saya menghormat bendera merah putih sehingga ibarat pacaran sih, masih ada percakapan yang mengumbar rasa sayang atau rayuan manja. Nonton pertandingan olahraga pun saya tak pernah. Itu kan salah satu media penumbuh nasionalisme. Kalau ada atlet kita juara olahraga dan mengharumkan nama bangsa, biasanya suasana cinta bangsa makin terasa.

Apalagi kalau membaca atau menonton berita dan isinya soal koruptor, atau pejabat publik yang menyebalkan, pertentangan di masyarakat, orang tak boleh beribadah, permusuhan karena interpretasi yang berbeda soal agama, dan segala macam ketidakberesan yang ada di negara ini. Semua itu membuat saya makin apatis dan tak nasionalis. Meskipun nyatanya masih banyak hal indah di negeri ini, setidaknya kata Good News From Indonesia.

Soleh Solihun adalah mantan wartawan musik yang kini jadi stand-up comedian, penulis buku dan pemain film.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner