Analog VS Digital di Kepala Seorang Avedis Mutter
Aku bisa membuat tone gitar seliar yang kamu bisa bayangkan di studio, merubahnya menjadi preset di Digital Multi Effect yang akan aku gunakan dan memanggil preset tersebut di atas panggung
Kenapa Mereka Ada?
Kamu semua pasti familiar dengan Simulasi Amp, Simulasi Cab, Simulasi Pedals, dan Impulse Response yang kini marak disebut dengan Digital Simulation. Hal itu ternyata semakin kesini semakin ‘real’ dan semakin mudah untuk diakses. Kalau kamu belum tahu, Digital Simulation adalah hasil simulasi atau salinan dari sebuah benda real atau nyata, berupa Amplifier, Cabinet atau Effect Pedal yang hasil akhirnya berupa software seperti Kuassa, Neural DSP, Amplitube dan juga dapat berupa Digital Multi Effect seperti Fractal atau Kemper. Singkatnya, barang-barang nyata tersebut bisa berubah menjadi deretan kode dan bisa digunakan dengan lebih instan, cepat dan tentunya effortless.
Anak 8 Tahun Dengan Puluhan Koleksi Ampli
Beberapa bulan yang lalu, ketika aku Demo Klinik di salah satu daerah di Yogyakarta, ada satu orang anak yang baru menginjak usia delapan tahun dan sudah mempunyai koleksi ampli lebih banyak dari kebanyakan dari kita pernah sentuh atau gunakan benda aslinya. Yes, anak itu menggunakan Digital Multi Effect yang didalamnya sudah terdapat puluhan Simulasi Ampli, Cabinet, dan Pedal, yang dikemas dengan compact dalam bentuk software dan dibandrol hanya dengan harga 2 jutaan.
Di kasus anak itu, kita bisa tahu kalau ternyata perkembangan teknologi effect yang canggih dan dengan harga jual yang pas dikantong ternyata mempermudah proses bermusik kita. I mean, coba bayangkan diri kita saat di usia 8 tahun, aku kayaknya masih sibuk main PS! Daym son! Oke, dimataku, ini adalah salah satu point plus banget buat Simulasi.
Pembicaraan Dengan Teman
Beberapa waktu yang lalu, salah seorang teman di Bandung membuka sebuah obrolan, kurang lebih isi pertanyaannya mengenai ‘kebingungan’ dia menggunakan Fractal AX8 yang baru saja dia dapatkan. Yes, seperti yang sudah kamu duga, usia dia tidak 8 tahun, tapi sedikit lebih tua, to be exact 30 tahun lebih tua, dan dia sudah bertahun tahun manggung dengan band punk-nya menggunakan Real Amp, Real Cab, dan Real Pedals!
Tapi ternyata jawaban yang aku berikan tidak dapat memuaskan dia. Singkat cerita, akhirnya dia memutuskan untuk tweaking bersama di studioku. Dari pengalaman ini, muncul sebuah pertanyaan di kepalaku :
“Apakah musisi yang sudah terbiasa dengan real amp akan kesulitan untuk langsung berubah system ke Simulasi?
Dan ternyata hal tersebut menjadi pembatas antara musisi dengan perkembangan teknologi instrumen yang seharusnya dapat sangat mempermudah proses kita dalam bermusik, mulai dari proses pembuatan lagu, workshop bersama bandmates, bahkan rekaman dan juga live performance.
Perlu diakui, bahwa pada beberapa kasus, Simulation tidak lebih sexy dari Real Amps, Cabs, dan Pedals, dan mungkin juga bagi beberapa orang, pengoprasian Digital Simulation tidak lebih mudah dari Real Things.
Cinta Kedua
Oke, rasanya sudah cukup membahas soal pengalaman orang lain, sekarang let’s move membahas pengalamanku bersama Simulation dan Real Amps
Real Amps, Real Cabs, dan Real Pedals adalah pilihan pertama aku setiap manggung bersama Aftercoma ataupun ketika bersama Pas Band. Semua yang real is a must! Wajib ada. Semua itu terasa normal dan necessary. Wait! Itu semua sebelum aku kenal dengan simulation. Sampai pada saat Aftercoma akan mengadakan tour pulau Jawa dan Bali, dengan 10 titik dan tentunya it’s gonna be a long long trip, yang akan memakan waktu 21 hari on the road.
Satu bulan sebelum keberangkatan, aku sudah berpikir dengan keras mengenai limitasi teknisi yang dibawa demi menghemat budget dan kecepatan bekerja, baik saat soundcheck maupun ketika perform. Belum lagi mengingat pengalamanku soal ampli meledak ketika soundcheck bersama Pas Band. Semenjak ampli meledak itu terjadi, sering sekali aku kepikiran ‘bagaimana kalau ampli meledak ketika sedang live perform?’, ‘Bagaimana kalau itu terjadi, dan membuat setlist malam itu kacau dan berakhir sangat buruk untuk band?’
Akhirnya aku putuskan untuk menjual semua pedals yang aku miliki dan beralih menggunakan Line 6 HD500X dengan rencana setelah tour selesai, akan ku jual kembali dan ganti lagi ke Real Pedals.
Tour pun berjalan, dan ternyata workflow menggunakan Digital Multi Effect sangat disukai oleh FOH Engineer Aftercoma pada saat itu. Waktu soundcheck menjadi sangat cepat karena preset yang selalu sama dari panggung ke panggung. Setup juga sangat cepat karena tinggal simpan pedals pada posisinya, dan minta 2 buah XLR cable menuju sistem. Dan hualaaa, band sudah siap untuk soundcheck. Monitoring di panggung terasa lebih nyaman karena mengandalkan floor monitor. Dan that's it, jika dunia gitar adalah cinta pertamaku, maka dunia Simulasi adalah yang kedua. Akhirnya aku memantapkan hati untuk terjun ke dunia simulasi dan mempelajari lebih dalam soal Simulasi untuk kepentingan live perform.
Foto Dari Signal Chain Impianmu
Setelah mantap dengan Digital Multi Effect untuk Live, aku mulai berkenalan dengan plugin Simulasi Ampli asal Bandung, kita sebut saja Kuassa. Berawal dari sekedar penasaran untuk mencicipi salah satu ampli mereka, sampai ternyata aku ketagihan dengan workflow Simulasi Ampli berbentuk Plugin. Tak lama setelah itu, aku mulai download lebih banyak Simulasi untuk aku coba dan pada akhirnya aku mulai berkenalan dengan game changer di teknologi instrumen modern, Impulse Response.
Impulse Response (IR) adalah file dengan format WAV yang berupa informasi response frequency dari sederet signal chain. Rasanya mungkin bisa diibaratkan seperti kamu sedang melihat foto keluarga. Ada kamu, saudaramu, dan orang tuamu. Nah, tapi ini dalam bentuk audio. Beberapa contohnya adalah seperti ini :
● Celestion V30 (Speaker) - Shure SM57 (Microphone) - Center (Posisi Microphone) - Neve 1073 (Preamp Mic)
● Mesa Oversized (Cabinet) - Sennheiser 906 (Microphone) - Off Axis (Posisi Microphone) - UA610 (Preamp Mic)
Impulse Response lah yang membuat aku benar-benar falling deeply in love ke dunia Simulasi, karena hasilnya yang benar-benar akurat. I mean, sembilan puluh delapan persen (98%) akurat is a perfect copy for me. Who cares dengan dua persen sisanya? Pastinya bukan orang-orang yang akan puluhan ribu kali stream lagu kita dan membeli rilisan terbaru merch kita bukan?
Penjual Impulse Response
Setelah beberapa bulan nyaman menggunakan workflow Plugin dan Impulse Response, datang kesempatan yang sampai saat ini paling aku syukuri. Adhit, salah seorang representatif Kuassa mengajak aku untuk meng-capture IR dari beberapa cabinet yang akan dijadikan resources untuk membangun ampli terbaru Kuassa. Di studio tersebut akhirnya aku mempraktekan semua teori soal Impulse Response yang selama ini kugali dan kusimpan in the corner of my mind palace untuk aku implementasikan di dunia nyata suatu hari nanti.
12 jam terasa sebentar (tentu saja aku bohong, itu sangat lama dan membosankan) tapi sangat memuaskan karena semua rasa penasaranku berhasil terbayar dan aku bisa membuktikan sekaligus mematahkan teori teori liarku soal Impulse Response. Persis seperti cerita pengusaha kuliner sukses yang mendapatkan ilmu ketika bekerja di resto milik bos-nya zaman dulu, pengalaman capture IR bersama Kuassa menjadi salah satu pelumas ketika pembuatan Impulse Response bikinan ku sendiri, Subject Zero yang sekarang sudah bisa dibeli di link di bio aku (maaf promo, kebiasaan).
Gitaris adalah Gitaris
Setelah membaca sejauh ini, harusnya kamu sudah tau posisiku ada dimana ketika memperdebatkan soal Analog vs Digital, tapi let's get real, dan membahas soal yang really matters di kehidupan bermusiku.
Aku akan selalu menggunakan Simulasi ketika Live Perform karena alasan kecepatan bekerja (efisiensi) dan akurasi tone yang dihasilkan dari panggung satu ke lainnya. Ditambah Impulse Response, aku bisa membuat tone gitar seliar yang kamu bisa bayangkan di studio, merubahnya menjadi preset di Digital Multi Effect yang akan ku gunakan dan memanggil preset tersebut di atas panggung.
Tapi, ketika membahas dunia rekaman, aku tetap akan selalu membuka opsi menggunakan Real Amp, Real Cab, Real Pedals. Karena bagaimana pun, sexy is SEXY!, gitaris adalah gitaris, dan gitaris inginkan hal yang sexy di karya mereka. No? Just me? Ok
Jika artikel ini tidak menerangkan apapun kepadamu, don’t u worry my son, aku menulis 1253 kata hanya untuk membuatmu tersesat ke arah yang sama seperti aku.
Remember what Nike says, Just Do It!
Comments (0)