Adil-lah, Niscaya kan Merdeka Seutuhnya!
Pernah suatu ketika, rombongan dari Institut Kesenian Jakarta dipimpin Maestro Tari Indonesia, Dedi Lutan (Almarhum) harus tidur di tengah hutan karena kondisi jalan yang terputus, lalu memutar balik ke arah Tenggarong pada keesokan harinya. Dedi Lutan bercerita bahwa hampir semua dari mereka kelaparan, hanya berbagi memakan bekal roti di tas dan air mineral secukupnya tanpa ada warung di tengah hutan belantara.
Saya pun pernah beberapa kali berkunjung ke sana. Desa Miau Baru memang salah satu desa di pedalaman yang cukup mempesona, memiliki banyak sekali sanggar tari dan masyarakatnya hidup menjunjung tinggi adat istiadat budaya leluhur mereka. Lalu, saya tertegun mengingat betapa jauhnya jarak yang harus ditempuh teman-teman dari desa ini jika melakukan pertunjukan bersama saya ke Jakarta ataupun pertunjukan keluar negeri lainnya. Sukar! Jika saja bukan atas nama seni, tentu mustahil melakukan hal ini.
Pak Irang Away | Dokumentasi Pribadi Akbar Haka
Pak Irang semakin bersemangat menceritakan bisnis pecahan batu emas di pedalaman ini, dengan tambahan liturgi dari masyarakat setempat, Dayak Punan. Saya menjadi penasaran dengan historikal Dayak Punan yang menurut informasi yang saya terima, konon katanya sudah hampir punah, dan Pak Irang meyakinkan bahwa mereka masih ada.
Cukup miris, berdiam jauh menghindari keriuhan hiruk pikuk kota, namun tetap bahagia. Malah ada cerita lucu sekaligus sedih: seseorang dari Dayak ini bertanya bingung perihal warna bendera Indonesia, putihnya yang di ataskah? Ataukah warna merahnya?
Pada akhirnya saya berpersepsi, mereka seperti “bangsa tanpa negara”.
Comments (0)