Adil-lah, Niscaya kan Merdeka Seutuhnya!

Adil-lah, Niscaya kan Merdeka Seutuhnya!

Pernah suatu ketika, rombongan dari Institut Kesenian Jakarta dipimpin Maestro Tari Indonesia, Dedi Lutan (Almarhum) harus tidur di tengah hutan karena kondisi jalan yang terputus, lalu memutar balik ke arah Tenggarong pada keesokan harinya. Dedi Lutan bercerita bahwa hampir semua dari mereka kelaparan, hanya berbagi memakan bekal roti di tas dan air mineral secukupnya tanpa ada warung di tengah hutan belantara.

Saya pun pernah beberapa kali berkunjung ke sana. Desa Miau Baru memang salah satu desa di pedalaman yang cukup mempesona, memiliki banyak sekali sanggar tari dan masyarakatnya hidup menjunjung tinggi adat istiadat budaya leluhur mereka. Lalu, saya tertegun mengingat betapa jauhnya jarak yang harus ditempuh teman-teman dari desa ini jika melakukan pertunjukan bersama saya ke Jakarta ataupun pertunjukan keluar negeri lainnya. Sukar! Jika saja bukan atas nama seni, tentu mustahil melakukan hal ini.


Pak Irang Away | Dokumentasi Pribadi Akbar Haka

Pak Irang semakin bersemangat menceritakan bisnis pecahan batu emas di pedalaman ini, dengan tambahan liturgi dari masyarakat setempat, Dayak Punan. Saya menjadi penasaran dengan historikal Dayak Punan yang menurut informasi yang saya terima, konon katanya sudah hampir punah, dan Pak Irang meyakinkan bahwa mereka masih ada.

Cukup miris, berdiam jauh menghindari keriuhan hiruk pikuk kota, namun tetap bahagia. Malah ada cerita lucu sekaligus sedih: seseorang dari Dayak ini bertanya bingung perihal warna bendera Indonesia, putihnya yang di ataskah? Ataukah warna merahnya?

Pada akhirnya saya berpersepsi, mereka seperti “bangsa tanpa negara”.

Akbar Haka lahir di Tenggarong, 19 Februari 1983. Anak ketiga dari 4 bersaudara dan Ayahnya Drs. Halidin Katung yang disingkat menjadi akhiran namanya "Haka" adalah seorang gitaris band rock terkenal di Kalimantan Timur - D'Gilz pada medio akhir 1970-an. Selepas menamatkan SMA 1 Tenggarong pada tahun 2000, Akbar merantau ke Bandung hingga 2005, lalu pindah ke Jakarta (2005-2007), lalu kembali menetap di Tenggarong sebagai kecintaannya pada kampung halaman dan bercita-cita meledakkan nama Tenggarong, Kutai Kartanegara di Peta Musik Keras Nasional.

Perlahan cita-citanya terwujud saat mendirikan Kapital (2005) sampai sekarang, dan telah memiliki 6 album penuh, mewakili Indonesia dalam Heartown Rock Fest Taiwan 2018, dan saat ini sedang berproses untuk album ke tujuh "MANTRA".

Membentuk skena musik keras di Tenggarong bernama "Distorsi" yang kemudian melahirkan event rock berskala internasional KUKAR (Kutai Kartanegara) Rock In Fest dan ROCK IN BORNEO yang tercatat dalam rekor MURI sebagai festival rock terbesar dan gratis di Indonesia dengan catatan 80 ribu penonton.Juga aktif tercatat sebagai Music Director untuk Lembaga Pembinaan Kebudayaan Kabupaten Kutai Timur yang membawa Akbar Haka bersama sanggar-sanggar Tari Dayak atau pun Kutai berkeliling Eropa sebanyak dua kali, kemudian Shanghai, Vietnam, Singapura dan beberapa pertunjukan tradisi di dalam dan luar negeri.

Terobsesi oleh hampir semua karya tulis dari Tan Malaka, dan yang paling melekat dalam persepsi Akbar Haka adalah Terbentur, Terbentur, Terbentur...... Terbentuk!

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner