Adil-lah, Niscaya kan Merdeka Seutuhnya!

Adil-lah, Niscaya kan Merdeka Seutuhnya!


Sungai Miau Baru | Dokumentasi pribadi Akbar Haka

"Maukah ikut saya mencari emas ke hulu Sungai Miau Baru, Pak Akbar?"

Ucapan Pak Irang Away membangun diksi sederhana yang cukup mengejutkan pada suatu sore, di sebuah apartemen flat dari Kedutaan Besar Indonesia di Singapura.

Narasi pembuka yang cukup menarik. Sebuah tawaran yang sebenarnya menjurus kepada kebasabasian untuk memecahkan suasana canggung di antara kami berdua saat mulai membakar ujung rokok dan menghisapnya lebih dalam lagi. Pak Irang terbiasa menggunakan imbuhan "Pak" sebagai bentuk penghormatan kepada orang yang dia temui, sungguh sebuah aplikasi dari kerendahan hati.

Hari itu, kami tiba di Singapura untuk menghadiri sebuah pertunjukan spektakuler tahunan “Chingay Parade 2013", dan Pak Irang adalah seorang seniman Sampe’ Dayak Kayan dari desa Miau Baru, Kecamatan Kombeng Kutai Timur, Kalimantan Timur yang turut serta memenuhi undangan Kedubes RI untuk mewakili Indonesia menjadi salah satu penampil dalam parade tersebut.

Sesekali sambil menyeruput kopi hitam panas yang kami bawa dari Indonesia, saya mencoba masuk lebih dalam pada diskusi tersebut, mencari tahu bagaimana sistematis untuk mendapatkan pecahan emas dari para pendulang tradisional, yang menurut informasi Pak Irang cukup hanya dengan melakukan barter barang, seperti baterai, gula, ataupun sembako lainnya yang agak sulit didapatkan masyarakat Dayak Punan di sana. Namun, bisnis ini cukup berisiko tinggi karena potensi dicegat rampok di tengah perjalanan melintasi hutan belantara dan juga anak sungai dengan jarak tempuh hampir 12 jam sangat berpeluang bisa terjadi.

Sekadar informasi, jarak dari Ibu Kota Provinsi Kalimantan Timur, Samarinda menuju desa Miau Baru saja sudah hampir 12 jam juga lamanya. Jadi, total bisa 24 jam perjalanan untuk bisa sampai ke sungai tempat mendulang emas yang dimaksud.

Ada dua alternatif perjalanan darat: melewati perkebunan sawit menuju Muara Bengkal atau lewat jalur Ibu kota Kabupaten Kutai Timur, Sangatta. Tentang jalan, tentu saja membutuhkan energi yang berlebih. Hancur nian! Menemukan banyak sekali kubangan lumpur di sepanjang perjalanan, dan jika musim hujan tiba mobil tanpa teknologi double gardan harus berpikir ekstra untuk mengarah ke sana.

Akbar Haka lahir di Tenggarong, 19 Februari 1983. Anak ketiga dari 4 bersaudara dan Ayahnya Drs. Halidin Katung yang disingkat menjadi akhiran namanya "Haka" adalah seorang gitaris band rock terkenal di Kalimantan Timur - D'Gilz pada medio akhir 1970-an. Selepas menamatkan SMA 1 Tenggarong pada tahun 2000, Akbar merantau ke Bandung hingga 2005, lalu pindah ke Jakarta (2005-2007), lalu kembali menetap di Tenggarong sebagai kecintaannya pada kampung halaman dan bercita-cita meledakkan nama Tenggarong, Kutai Kartanegara di Peta Musik Keras Nasional.

Perlahan cita-citanya terwujud saat mendirikan Kapital (2005) sampai sekarang, dan telah memiliki 6 album penuh, mewakili Indonesia dalam Heartown Rock Fest Taiwan 2018, dan saat ini sedang berproses untuk album ke tujuh "MANTRA".

Membentuk skena musik keras di Tenggarong bernama "Distorsi" yang kemudian melahirkan event rock berskala internasional KUKAR (Kutai Kartanegara) Rock In Fest dan ROCK IN BORNEO yang tercatat dalam rekor MURI sebagai festival rock terbesar dan gratis di Indonesia dengan catatan 80 ribu penonton.Juga aktif tercatat sebagai Music Director untuk Lembaga Pembinaan Kebudayaan Kabupaten Kutai Timur yang membawa Akbar Haka bersama sanggar-sanggar Tari Dayak atau pun Kutai berkeliling Eropa sebanyak dua kali, kemudian Shanghai, Vietnam, Singapura dan beberapa pertunjukan tradisi di dalam dan luar negeri.

Terobsesi oleh hampir semua karya tulis dari Tan Malaka, dan yang paling melekat dalam persepsi Akbar Haka adalah Terbentur, Terbentur, Terbentur...... Terbentuk!

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner