Pengadilan Musik Memutuskan Bahwa Album '#LIKE!' Cokelat Layak Diperdengarkan

Sore itu, Kamis, 26 Mei 2016, Kantinnasion sudah mulai ramai dengan pengunjung. Di area kantin, orang-orang tampak asyik bergerombol membicarakan ini itu di mejanya masing-masing. Di area panggung Pengadilan Musik, para kru masih sibuk mempersiapkan setting lampu, kamera, hingga mengecek sound gitar. Sedangkan di back stage, para personil Cokelat—Edwin, Ronny, dan Jackline—yang ditetapkan sebagai terdakwa sudah duduk manis sambil berbincang santai bersama dan salah satu pembela mereka hari itu, Che Cupumanik.

Cuaca Bandung yang dingin selepas hujan tidak lantas membuat atmosfer di Kantinnasion menjadi mendung. Saya yang sedang memperhatikan sekitar sambil memotret suasana tiba-tiba mendapat sapaan ceria dari salah seorang teman yang sudah lama tidak saya jumpai. Ia mengaku sengaja datang ke Kantinnasion karena penasaran dengan kelakar Pidi Baiq juga format Pengadilan Musik yang terdengar unik.

Selepas maghrib, para perangkat pengadilan lainnya—Hakim Man Jasad, Jaksa Pidi Baiq, Jaksa Budi Dalton, serta Pembela Ronny Urban—baru mulai hadir di lokasi. Tak lama membumi dengan kawan-kawannya di sekitar kantin, mereka lalu segera menuju back stage untuk briefing terakhir sebelum pengadilan dimulai. Di back stage, semua personil, kru, juga dokumentator sudah berkumpul. Ternyata, terjadi twist yang cukup menarik malam ini. Eddie Brokoli dan Ronny Urban yang pada Pengadilan Musik #3 menjadi pembela dan panitera kini bertukar peran—Eddie menjadi panitera dan Ronny menjadi pembela.

Seusai briefing dan sesi berdoa bersama yang dipimpin Gus Candra Malik, Eddie Brokoli pun naik ke atas panggung untuk membuka Pengadilan Musik #4. Ia lalu memanggil Jaksa Pidi dan Jaksa Dalton untuk memasuki persidangan. Kehadiran dua sekawan yang mengaku selalu menjadi rival sejak masih aktif di jalanan ini saja sudah cukup mengundang gelak tawa dari para penonton. Suasana semakin ramai ketika menyusul kemudian hakim, dua orang pembela, dan para terdakwa, berturut-turut dihadirkan di meja persidangan.

Beberapa tuntutan pertama yang diajukan jaksa pada terdakwa ialah mengenai asal usul penamaan band Cokelat yang dinilai dapat membuat generasi muda kebingungan untuk mebedakan yang mana band dan yang mana makanan; lalu mengenai cover album Cokelat yang berwarna kuning, bukan coklat sesuai dengan nama mereka; dan mengenai personil Cokelat yang jumlahnya hanya tiga orang, “Katanya kalau orang berdua-duaan, yang ketiganya adalah setan. Nah, saya bingung, jadi di antara kalian setannya yang mana?” ujar Pidi Baiq.

Lontaran tuntutan-tuntutan absurd dari kedua jaksa ini tentu membuat tawa penonton semakin pecah. Ronny Urban yang dipilih sebagai pembela di sini bahkan berkali-kali terpengaruh oleh pernyataan jaksa dan akhirnya meminta bantuan Che untuk menangkal apa yang dituduhkan pada Cokelat. Para personil Cokelat sendiri, di sela-sela tawa yang tak bisa mereka redam, memberi penjelasan-penjelasan cerdas untuk setiap pertanyaan yang diajukan Pidi dan Dalton.

Setelah separuh waktu berjalan, sidang dihentikan sejenak. Momen ini dimanfaatkan Cokelat untuk menampilkan lagu #Like! sebagai salah satu single andalan dari album terbaru mereka yang berjudul serupa. Sebelumnya, Ronny menjelaskan bahwa album ini dinamai #Like! dengan penggunaan tagar karena mereka mencari sebuah padanan yang terdengar familiar, mewakili apa yang mereka suka, juga sesuai dengan perkembangan sosial media yang kini kian populer di tengah masyarakat.

Turut menambahkan penjelasan Ronny, Jackline sebagai vokalis baru dari band yang sudah berdiri selama 20 tahun ini pun sedikit bercerita mengenai lagu #Like! yang liriknya mencerminkan suara hati para personil Cokelat sendiri. Lagu tersebut seakan menjadi pernyataan lugas dari Cokelat bahwa mereka tidak takut untuk terus melangkah, menjadi diri sendiri, mengikuti kata hati, dan melakukan hal-hal yang mereka suka walaupun berbeda dari orang kebanyakan.

Pada penghujung persidangan, jaksa bertanya mengenai keputusan Cokelat yang kini memilih menjadi band indie. Di sini, Edwin menegaskan bahwa ‘indie’ bukanlah genre musik, melainkan sebuah gerakan independen. Mereka lelah dengan mayor label yang selalu berkata, “Industri musik Indonesia sekarang sedang sakit”. Menurut mereka, yang sakit bukanlah industri musik Indonesia, tetapi justru orang-orang yang bekerja di balik industri musik Indonesia. Oleh karena itu, walaupun tidak sepenuhnya menutup diri dari mayor label, Cokelat saat ini memilih untuk beralih dari jalur mainstream dan menentukan ‘nasib’ mereka sendiri dengan melakukan segalanya secara independen.

Pengadilan Musik #4 yang berlangsung dengan keseruan konstan ini kemudian dibubuhi pesembahan "Karma" dan "Segitiga" dari ketiga personil Cokelat untuk mengobati kerinduan para penggemar mereka, Bintang Cokelat. Di akhir persidangan, Hakim Man Jasad menyatakan bahwa Cokelat dibebaskan dari segala dakwaan dan album baru mereka, #Like!, sangat layak untuk dikonsumsi khalayak ramai. Suara ketukan palu dari sang hakim pun menandai usainya Pengadilan Musik #4 yang membuat hadirin pulang dengan hati senang malam hari itu. ***

Foto : ArdlyldrA

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner