“Wijayakusuma” : Cara Ardhito Pramono Menerjemahkan Tembang Indonesiana

“Wijayakusuma” : Cara Ardhito Pramono Menerjemahkan Tembang Indonesiana

Sumber foto : Diambil dari rilisan pers Ardhito Pramono/Aksara Records

Lagu “Wijayakusuma” memiliki aransemen megah pada bagian orkestrasi maupun paduan suara, serta diramaikan oleh komposisi gamelan dan nyanyian sinden dari Peni Candra Rini, pelaku macapat asli Solo

Sukses dengan mini album Ardhito Pramono, solois yang identik dengan musik jazz ini kembali merilis mini album bertajuk Playlist Vol. 2 dan Letter to My 17 Year Old pada tahun 2019 lalu. Selain itu ada karya lain dari Ardhito yang ikut mewarnai khazanah perfilman Indonesia dengan melepas single yang menjadi soundtrack untuk film ‘Susah Sinyal’ berjudul “Fine Today”, serta perannya sebagai Kale di film ‘Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini’.

Bukti dari keseriusan dan konsistensi Ardhito dibidang musik berbuah manis dengan masuk sebagai nominasi pada ajang Anugerah Musik Indonesia sebagai Artis Solo Pop Terbaik, Artis Jazz Vokal Terbaik dan Karya Produksi Folk/Country/Balada Terbaik ditahun 2019. Selain sukses didunia musik Ardhito juga menua prestasi sebagai Pemeran Pendatang Baru Terfavorit di ajang Indonesia Movie Actors Awards.

Tidak ingin berpuas diri terlalu dini dengan sederet pencapaiannya, Ardhito kembali muncul ke permukaan dengan merilis single baru berjudul “Wijayakusuma”, pada Kamis 7 Juli 2022. Perilisan single ini menjadi terasa istimewa karena merupakan karya perdana Ardhito pasca menyelesaikan masa rehabilitasi, sekaligus penanda kembalinya label rekaman Aksara Records setelah hampir 13 tahun tidak beroperasi. Lagu ini diproduseri oleh Gusti Irwan Wibowo dan ditulis bersama Narpati ‘Oomleo’ Awangga.

Ardhito mulai menciptakan “Wijayakusuma” sejak awal 2021, ketika ia menjadi saksi penggusuran kawasan asri di Canggu, Bali, demi vila yang akan dibangun oleh warga negara asing. Awalnya, ia ingin mengritik peristiwa tersebut lewat sebuah lagu, sebelum Oomleo membalas kritik Ardhito sebab karya-karyanya yang minim sentuhan Indonesia.

Ardhito pun menggeser perspektif idenya dan melahirkan “Wijayakusuma”, tembang pop Indonesiana dua babak bercerita seputar eksistensial diri. Di babak pertama, Ardhito mempertanyakan makna hidup dengan iringan khidmat piano, orkestrasi yang lirih, juga adakalanya sahut paduan suara, dimana pada penulisan liriknya yang ia buat dengan padanan aksara autentik yang dinyanyikan melalui lekuk pop Indonesia kala 50 tahun silam.

“Banyak kecemasan gue akan … ‘guna gue apa, ya? Gue musisi, main film, penyiar juga. Terus apa?’ Malah jadi mempertanyakan fungsi diri gue. Gue cerita banyak ke Oomleo, untuk itu akhirnya  gue  sertakan  dalam  lirik,”  jelas  Ardhito tentang  bagian  awal  “Wijayakusuma”. Liriknya kemudian berkembang seiring lagunya melaju mencapai babak kedua, ketika ia mengaitkan makna hidup dengan alam semesta yang digambarkan oleh kekayaan alam maupun budaya Indonesia.

Secara musik, lagu ini memiliki aransemen yang tumbuh selaras dengan semakin megahnya bagian orkestrasi maupun paduan suara, serta diramaikan oleh komposisi gamelan dan nyanyian sinden dari Peni Candra Rini, pelaku macapat asli Solo. Jika digambarkan, “Wijayakusuma” selayaknya luapan energi eksploratif mendiang Chrisye yang terpantik berkat sejawatnya seperti Eros Djarot, mendiang Yockie Suryoprayogo, Keenan Nasution, hingga Guruh Soekarnoputra. Ardhito bukan berusaha mereplika zaman emas itu. Ia menjembatani semangatnya untuk masa ini.

“Awalnya lagu ini tidak bisa gue rekam karena gue tidak tahu cara menyanyikannya,” ungkap Ardhito mengenai kesulitan membuat “Wijayakusuma”. “Di-take pertama, Oomleo merasa gue tidak nyaman dan terengah-engah. Jadi yang sudah dalam versi lagunya, itu setelah melalui take ke-100 sekian.” Ia pun mengaplikasikan metode satu kali rekam, demi menuai esensi olah vokal yang maksimal dalam situasi terbatas, selayaknya periode rekaman menggunakan pita.

“Gue memang mencoba balik ke zaman dulu untuk proses A sampai Z-nya,” kata Ardhito. “Meski sudah banyak teknologi yang mendukung, metode yang gue gunakan masih bersemangat lawas. Meski sudah tersedia jasa orkestrasi yang lebih praktikal di Budapest, gue lebih memilih untuk merekamnya di Indonesia, dengan pemain-pemain dari Indonesia, dan beberapa alat rekamnya pun asli dari Indonesia.”

Konsep pop Indonesiana yang diusung Ardhito menjadi salah satu pemicu untuk Hanindito Sidharta, co-founder Aksara Records, membangkitkan kembali label rekaman tersebut. Tentang hal ini Hanin menuturkan jika dulu Aksara Records berdiri karena mereka ingin mendokumentasikan band-band Jakarta yang tidak berpatokan kepada musik pop atau rock yang ada di pasar pada saat itu. Seperti The Brandals, The Upstairs, The Adams, dan masih banyak lagi. Hingga akhirnya sekarang, Aksara Records kembali karena kancah musik pop Tanah Air hari ini sangat seru, dengan sentuhan pop 80’an atau 70’an. Musik-musik seperti ini bahkan digemari anak-anak gen Z dan milenial.

Sebagai tambahan informasi, Aksara Records juga bakal merilis album penuh terbaru Ardhito Pramono yang direncanakan terjadi pada pertengahan Juli ini. Selayaknya “Wijayakusuma”, warna musik Ardhito dalam album tersebut pun akan bernafas ala pop Indonesia lama. Sembari menunggu, simak terlebih dahulu single “Wijayakusuma” di bawah ini.

BACA JUGA - Menyingkap Arah Musik dan Semesta Gamaliél di Lagu “Asteroid”

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner