Punk dalam Politik, Sebuah Komedi Menggelitik Hari Ini

Punk dalam Politik, Sebuah Komedi Menggelitik Hari Ini

Sumber Foto : Detikcom, merahputih.com, variety.com

Bagi sebagian penggiatnya, idealis PUNK menjadi luntur dan akhirnya berkomproni dengan segala kata perlawanan di dalamnya, yang dilakukan untuk menjaga dapurnya agar tetap ‘ngebul’

Tempo hari ketika berselancar di media sosial, ramai dibicarakan seputar salah satu personil yang katanya dari ‘band punk’ terjun ke dunia politik. Memang terdengar kontradiksi sekaligus ironi. Ketika dalam lirik-lirik lagunya mengedepankan sikap kritis penuh perlawanan – entah itu kepada instansi atau bahkan membawa unsur ‘agama’ – yang realitanya tidak mencerminkan sikap itu, atau bahkan malah mencederai idealis yang mereka bawa dalam lirik lagu – yang katanya “Takkan menyerah di bawah tanah”.

Sebelumnya band ini pernah kami bahas tentang pengemasannya yang mengedepankan unsur komedi, dan benar saja rasanya bukan hanya kemasannya saja, tetapi sikap yang diambil pun sangat terasa kocak. Di sisi lain, kekecewaan para fans mulai meluap ketika band idolanya itu akhirnya berkompromi dengan apa yang selama ini mereka tentang. Meskipun yang melakukannya adalah personal, namun tetap saja segala ekspektasi hancur lebur menyiprat ke seluruh tubuh band.

Tapi sebenarnya ini bukan pertama kalinya band/musisi yang memegang teguh idealis ‘punk’ terjun bebas ke dunia politik. Sebut saja vokalis Dead Kennedys, Jello Biafra yang pada tahun 1979 secara mengejutkan dirinya masuk dunia politik sebagai kaum ‘minoritas’, dengan satu tujuan yaitu ‘revolusi’. Padalah seperti yang diketahui, Dead Kennedys adalah band punk kontroversial yang menentang instansi pemerintah Amerika dengan paham kiri yang dianutnya, dan tujuannya masuk dunia politik ingin merubah sistem yang ada.

Selain Biafra, ada juga Johnny Rotten, seorang ‘PUNK GILA’ yang menjadi frontman dalam band legendaris Sex Pistol yang secara gamblang mendukung kepemimpinan Donal Trump. Lagi-lagi semuanya terasa ironi ketika band ini ingin tampil bebas dengan mencanangkan “Anarchy in UK”, dan hal ini pun – pemaknaan punk – sempat memanas di ruang debat dalam sebuah acara TV yang melibatkan Henry Rollins (Black Flag), Marky (Ramones) dan beberapa musisi lainnya. Dari hasil perdebatan tersebut bisa disimpulkan bahwa setiap pelaku PUNK memiliki idealisnya masing-masing, yang jika diperdebatkan tidak aka nada ujungnya.

Beralih ke dalam negeri, Marjinal dikenal sebagai band kritis yang bahkan pada awal kemunculannya band ini sempat memakai nama Anti ABRI. Band ini juga dikenal sebagai kelompok dengan idealis punk yang kuat dan selalu lantang menyinggung soal sistem pemerintahan di Indonesia. Namun seiring berjalannya waktu, semua keidealisannya itu luntur yang ditandai dengan tampil di beberapa acara partai politik. Terlepas dari semua itu, pastinya Marjinal mempunyai planning atau sikap dari apa yang sudah mereka lakukan.

Ya pada akhirnya semua idealis yang dipegang dan berbenturan langsung dengan PUNK akan luntur seiring berjalannya waktu. Saya berani simpulkan bahwa semua langkah yang diambil para musisi di atas hanya menginginkan dapurnya tetap ngebul. Dan pastinya hal ini menjadi sebuah komedi menggelitik ketika idealis luntur karena hal yang ditentang habis-habisan di dalam idealis itu sendiri (dalam hal ini idealis PUNK). Saya juga menegaskan bahwa pembahasan dalam artikel ini tidak menyangkut-pautkan penggiat PUNK secara keseluruhan. Masih banyak musisi PUNK yang dari dulu hingga hari ini tetap kukuh dengan idealisnya sebagai seorang PUNK.

Tambahan : Tim Redaksi DCDC hingga berita ini dirilis sedang menunggu balasan dari ‘band punk’ yang sedang hangat dibicarakan di media itu untuk melakukan interview.

BACA JUGA - Sedikit Tentang Punk dan Subkulturnya

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner