Morscode Ajak Selami Lebih Dekat Kehidupan di Bantar Gebang

Morscode Ajak Selami Lebih Dekat Kehidupan di Bantar Gebang

Sumber foto : Diambil dari rilisan pers Morscode

Morscode baru saja meluncurkan music video keduanya yang berjudul “Fear”. Videoklip ini menceritakan kisah nyata dua anak pemulung yang bernama Ma’at dan Basri.

Apa yang terlitas di pikiran kita ketika merasa takut? Ragam reaksi dan interpretasi saat mengalami rasa takut menjadi satu hal yang lumrah dirasakan banyak orang. Pun begitu dengan Morscode, yang menafsirkan ketakutan lewat satu lagu berjudul “Fear”. Morscode mengerucutkan rasa takut dari angle soal kondisi sosial, yang memiliki standar yang berbeda-beda.

Ditambahkan oleh mereka jika mudah saja bagi kita bekerja sambil menikmati koneksi wi-fi cepat di sebuah coffee shop, yang mungkin akan terusik apabila harus bekerja di daerah kumuh, penuh dengan tumpukkan sampah, serta dipenuhi lalat. Satu hal yang kemudian ditangkap secara visual lewat video klip “Fear”, yang menampilkan ketakutan masyarakat umum dengan latar belakang tempat pembuangan sampah Bantar Gebang.

Lebih jauh tentang Bantar Gebang. Tempat ini adalah lokasi penampungan sampah seluruh masyarakat Jakarta. Lokasi ini merupakan gunung sampah yang dikumpulkan dari seluruh sudut kota Jakarta. Potret tentang kondisi kota Jakarta tersebut, kemudian diwakili oleh Ma’at dan Basri (dua orang anak kecil yang dijadikan fokus utama dalam video klip tersebut). Hal ini menjadi menarik karena keduanya merupakan potret kecil dari kondisi masyarakat Bantar Gebang, yang memiliki cara hidup berbeda dari kebanyakkan orang. Minimnya akses kebersihan dan ketidakpedulian terhadap pendidikkan menjadi hal yang biasa di Bantar Gebang. Menyantap makanan ditemani ratusan lalat yang hinggap boleh jadi akan membuat kita muntah, akan tetapi Ma’at mampu menikmati setiap suapan makanannya tanpa rasa jijik.

Bantar Gebang memiliki banyak potret manusia yang menjalani kehidupan tanpa rasa takut. Singkatnya, mereka memiliki kehidupan yang “orang normal” takuti. Hidup di tengah sampah tanpa akses kebersihan yang memadai. Lebih ironis lagi, banyak yang acuh dengan pendidikan. Bagi kebanyakkan orang Bantar Gebang, sekolah hanyalah cara lain membuang uang. Tidak ada yang lebih penting dari sesuap nasi, dibanding mengenyam pendidikkan formal.  “Uniknya, situasi sosial yang menyedihkan ini hanya berjarak sepuluh kilometer dari tempat saya dulu sekolah” ujar Dioma selaku produser videoklip ini.

Di balik semua situasi sosial tersebut, Resa Boernard seorang warga asli Bantar Gebang yang  berjuang untuk memperbaiki kualitas hidup anak-anak pemulung lewat sanggarnya yang bernama BGBJ (The Seed Of Bantar Gebang). Lahir dan besar di Bantar Gebang, Resa adalah sedikit dari masyarakat asli Bantar Gebang yang mampu mengenyam pendidikkan sampai level perguruan tinggi. Menurut Resa, banyak stigma yang menempel di masyarakat Bantar Gebang salah satunya dicap sebagai orang yang tidak kompeten untuk bersaing dengan masyarakat luas, dikarenakan mereka didominasi oleh pemulung.

BGBJ hadir membuka kesempatan bagi anak-anak di Bantar Gebang untuk merasakan hal “normal” seperti anak-anak pada umumnya. Di BGBJ, mereka bisa belajar banyak hal seperti bahasa, seni tari, olahraga dan berbagai pendidikkan non-formal yang bersifat “character building”. Yang agak berbeda adalah di setiap hari Minggu, BGBJ memberikan program makan gratis bagi anak-anak Bantar Gebang. Yang dimaksud program makan gratis adalah anak-anak diberikan makanan yang bersih, selayaknya makanan yang kita santap sehari-hari.

Morscode berharap agar masyarakat lebih sadar bahwa masih ada banyak anak-anak yang tumbuh di situasi yang tidak layak. BGBJ sebagai perpanjangan tangan orang-orang yang peduli akan situasi sosial Bantar Gebang adalah medium positif yang harus kita dukung atas hasil sampah yang kita kirimkan setiap harinya ke Bantar Gebang. Simak cuplikan video behind the scene video klip "Fear".

Untuk itu, Morscode mencoba menggalang dana lewat website www.kitabisa.com/bantargebangfearless untuk membantu BGBJ dengan semua kegiatan program dan aktivitas positifnya demi memberikan harapan hidup yang lebih baik bagi anak-anak pemulung di Bantar Gebang.

 “Sebenarnya gunungan sampah ini cuma settingan bagi kita orang awam yang gak terbiasa, tapi bagi para pemulung disini, sampah ini jadi rejeki, yang patut kita apresiasi adalah cara anak-anak pemulung disini untuk tetap mau belajar ketika banyaknya keterbatasan dan stigma-stigma sosial yang menempel di mereka” lanjut Dioma ketika dirinya merasa bahwa situasi sosial di Bantar Gebang ini penting untuk diperhatikan masyarakat luas.

Videoklip ini disutradarai oleh Fajar Shohibu dan pengerjaan video Behind The Scene disutradarai oleh Ogie Kurniawan. Kedua insan kreatif ini berdiri dibawah naungan Bineka Sinema.

BACA JUGA - “Miris & Sinting”, Imajinasi Liar Terbaru Dari Muchos Libre

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner