Into The Hollow Circle : Deklarasi Wujud Baru!

Into The Hollow Circle : Deklarasi Wujud Baru!

“Intinya sih, kita bosen ingin eksplorasi lebih,” kata Angga, gitaris Asia Minor dalam sebuah wawancara.

Minggu, 20 Maret 2016. Sebuah bar tua dipadati oleh segerombolan manusia lengkap dengan baju kedodoran dan snapback di kepala. Di sana, sedang terjadi keributan. Jangan pernah membayangkan ini adalah sebuah kericuhan dengan konotasi negatif—kerusuhan jalanan penuh kekerasan fisik yang bisa disejajarkan dengan sampah. Hollywood cafe & bar namanya. Ada sebuah gelaran sarat distorsi tengah berlangsung. Pesta rilis album ke dua, Into The Hollow Circle, milik Asia Minor.

“telat maneh mah, acaranya udah mulai dari tadi. Dari jam setengah tujuh,” kata seorang kenalan saya dengan nada kecewa. Waktu itu, jarum jam sudah menunjukan pukul tujuh malam. IN MY SIDE sudah menyelesaikan permainannya dan saya kebagian penampilan INWISE sebanyak tiga lagu. soal performanya, jangan ditanya. Pasukan metal core tersebut dari tiga lagunya memberikan awal yang bagus disana. Crowd belum memadat di lantai dansa. Boleh jadi penonton masih dalam tahap peregangan. Mereka belum memulai  keliarannya dan lebih memilih memperhatikan saja.  

Kehebohannya baru terasa saat Eyes Of War dipersilahkan untuk unjuk gigi di atas panggung. Gitarisnya adalah nama yang tidak asing. Dia memegang gitar pula untuk Savor Of Filth. Badick namanya. Lagu pertama, “Berdiri Tegak” (saya melihat catatan songlist di dekat pedal efek gitar Badick), berhasil membuat moshpit memiliki kehidupan. Semuanya berkerumun, lantas saling menubrukan diri. “asa nteu kieu euy, bieu drum na,”  ucap sang vokalis saat melihat adanya masalah pada sang drummer-saat ingin memulai lagu ke tiga. Rupanya, pedal drum terlepas. Bass drum juga agak menggeser posisinya, jadi lebih maju. Tentu saja, itu adalah kendala dalam sebuah penampilan. Selanjutnya, nomor “Lies” membuat para hardcore kids makin edan saja. Mereka sudah berani naik ke panggung dan melakukan crowd surfing sesekali. “salagu deui, ceuk si Angga” celoteh vokalis saat akan membawakan lagu berjudul “Flower City”. Bohong besar. Kenyataannya, mereka terus menghajar massa dengan buncahan irama oldschool hardcore dari tembang bertajuk “Believe Your Choice” dan ditutup oleh lagu legendaris milik 7Seconds, “Young Until I Die” sebagai pamungkas.

Tanpa kenal ampun, hening malam kembali di hajar oleh susunan hardcore beatdown milik gerombolan gahar tamu dari Malang, Sharkbite. Ini bukan kali pertama mereka beraksi di Bandung. Di tahun 2013, mereka turut menjadi band pembuka ketika Madball berkesempatan tampil di Bandung. Hampir empat lagu mereka mainkan. Aksi penuh groovy-groovy cadas mereka suguhkan disana. Lagu ke tiga adalah materi baru, katanya. Sangat terasa berbeda dari materi-materi lain yang mereka bawakan. Temponya lebih cepat. Terlepas dari itu semua, mereka akan segera merilis video klip untuk lagu tersebut. Di penampilan terakhir mereka, entah apa judul lagunya, tapi itu adalah komposisi yang berhasil mencipta koor dari kerumunan hadirin.

Ini terlihat janggal memang. Diantara band list yang didominasi oleh band hardcore dan tercantum dalam famplet digital, terselip satu di antaranya sebuah unit indie pop. Tapi mulai sekarang, coba renungkan lagi. Ternyata hal tersebut patut dicoba bagi siapa pun nanti penggagas event serupa. Setelah sedari awal para penonton dihajar oleh rentetan distorsi tajam, penampilan Sunny Summer Day terbukti ampuh untuk menyamankan gendang telinga. Demi Tuhan, saya benar-benar menikmatinya. Ini adalah pengalaman saya melihat mereka secara live. Kehadiran mereka membantu saya rileks sejenak. Tidak ada lagi perasaan aneh di awal. Ini merupakan terobosan brilliant

“Nyaho teu?!, band iyeu sakeudeung deui bakal main di New York Pop Fest, bro!” kelakar seseorang yang tiba-tiba saja naik ke panggung setelah lagu pertama dimainkan, dengan agak sempoyongan, dia berbicara dari mic. Saya tau orang itu. Dia adalah Seon, pemegang posisi vokal dari Under18. Setelah itu lagu kedua, “In Summertime” pun di mulai. Beberapa orang saat itu tidak sungkan-sungkan untuk bergoyang dengan gaya masing-masing, bahkan diantaranya juga berloncatan dari atas panggung.

Lagu ketiga adalah lagu baru. Kalau tidak salah, judulnya adalah “Sun Hills The Mount”. Katanya, Sunny Summer Day akan segera merilisnya sebelum mereka pergi ke New York pada bulan Mei tahun ini. Suasana masih sama seperti saat pertama mereka tampil di panggung itu, dan setelah lagu ke empat atau lagu terakhir mereka, encore terjadi. Berawal dari sebuah negosiasi alot, hingga mereka akhirnya luluh dan memainkan satu buah tembang lagi.

Dan tibalah saatnya untuk sang empunya hajat. Asia Minor sudah dipanggil untuk mengisi kekosongan panggung. Perlu di catat, hari ini Asia Minor memiliki wajah berbeda; secara visual maupun secara musikal. Bayu sejak awal mula penggarapan album “Into The Hollow Circle”, sudah didaulat sebagai drummer baru untuk menggantikan Erwin yang memilih keluar oleh sebab ingin lebih fokus mengurus bisnisnya. Secara musikalitas, Asia Minor hadir dalam wujudnya yang lebih eksploratif dalam menelurkan karya, hal itu termaktub jelas dalam album keduanya. “Eksperimental progresive hardcore”, kata Angga saat ditanya genre musik Asia Minor saat ini.

“Faktor apa saja yang membuat Asia Minor bisa ketingkatan musikalitas seperti sekarang?”

”Bosen sih intinya sama materi album yang sebelumnya,” jawab Ican sang vokalis.

“Kita mau coba bikin gebrakan baru lewat album ini,” Angga turut menjawab pertanyaan saya tersebut.

Oke, kita lanjut lagi cerita berlangsungnya acara.

Lagu pertama mulai dimainkan. Ada yang terasa ganjil di panggung sana. Ya, mereka saat itu bermain tanpa Aji (gitar). Aji rupanya berhalangan hadir karena terpentok pekerjaan. Untuk gantinya, ada Aldi salah satu personil dari Ametis. Dia adalah adik kandung Angga. Disini letak menariknya. Ketika melihat dua bersaudara tengah bersinergi untuk berusaha menyuguhkan tampilan paling menawan.

“Aji kemana?” tanya saya.

“Aji kebetulan sudah diterima di salah satu perusahaan BUMN di Jawa Timur,”  Ican yang menjawabnya.

“Jadi kita untuk sementara akan melanjutkan Asia Minor berempat saja,” Angga juga ikut menjawab.

Lagu pertama itu berjudul  Into The Hollow Circle (saya baru tahu judul-judul lagunya saat Bayu mengirimkan playlist Asia Minor di hari itu sehari setelah pesta rilis berlangsung), tentu saja semuanya bergembira. Di moshpit juga terlihat para mantan personil, Mbap (Ex-vokalis) dan Erwin. Disana benar-benar brutal. Maksud saya, semuanya sangat menikmati perannya sebagai yang turut meramaikan pesta. Awal yang bagus. Tembang kedua, Shadow Of Betrayal makin gila lagi. Ican, di pertengahan lagu digotong ke atas oleh kerumunan. Satu persatu penonton mulai mencoba berselancar di kerumunan.

Untuk selanjutnya, nomor berjudul Their Lust dan Blackened With Contemp juga sama saja hebohnya. Di pertengahan Their Lust, Ican kembali di angkat oleh kerumunan massa, dan bagian paling mencolok dari lagu yang terakhir saya sebutkan barusan adalah ketika Angga mulai memainkan jemarinya untuk menghasilkan part paling melodius di lagu tersebut.

“Selamat pagi!” kata Ican. Terasa gerah, dia membuka bajunya. Lalu lagu selanjutnya dimulai. Kali ini, judulnya adalah Bonded In Apathy. Sebelum memulai lagu keenam, pidato Ican tersendat. Kalau tidak salah perihal mic sedikit bermasalah, tapi tidak tahu juga. Itu tidak penting, yang jelas di lagu ini tampak jelas bahwa Aldi menjadi pengganti yang bagus. Dia bisa memainkan alurnya.

Setelahnya, mereka mengajak serta seorang wanita bernama Serafica Megazania. “Dia vokalis salah satu band saya juga, Janefala”, kata Angga. Judul lagunya agak panjang juga; Relish In The Dreadfull Creatures.  Dia terlihat canggung dalam penampilannya, suaranya tidak terdengar jelas, tertutupi suara instrumen. Tapi uniknya, di lagu tersebutlah pertama kali saya melihat Ican bernyanyi vokal berteknik clean.

Lanjut ke tembang kedelapan. Sebuah kolaborasi klasik. Lagu lama mereka One In A Thousand Arm di bawakan dengan formasi lawas. Tanpa Aji tentunya. Erwin kembali mengambil posisi drum, dan Mbab, tampil untuk bernyanyi. Tiba-tiba saja saya seperti terseret ke enam tahun ke belakang. Saat dimana mereka masih rajin tampil di Elang Studio (studio lawas yang dulu sering dijadikan tempat untuk studio gigs) dengan formasi yang saya lihat ini. Maaf bila sedikit meromantisir.

Lagu kesembilan, Epic In Grave. Disini sangat terlihat kepiawaian Bayu dalam bermain drum. Apa karena kehadiran dia juga, Asia minor sampai bisa sampai berbeda seperti sekarang?

“Bayu mah nothing, ga ada kontribusinya,” kata Ican tentu saja bercanda.

“Engga deng bercanda, semua personil mempunyai porsinya masing-masing dalam menggodok album Into The Hollow Circle ini. Termasuk Bayu, tapi yang paling dominan adalah Angga”, ujar Idan sang pembetot bass.

“Bisa dibilang saya yang paling bawel”, Angga menambahkan.

Di menit-menit terakhir penampilan mereka, saat membawakan nomor Breathing On Fire dan Maelstrom A Weakness, entah kenapa crowd yang memadat tadi tidak terlihat lagi. Semakin sepi bila dibandingkan saat lagu-lagu sebelumnya dimainkan. Namun persetan itu semua. Lihat saja, di Breathing On Fire, Idan memberikan permainan bass terbaiknya, dilanjut oleh sederet melodi panjang dari Angga. Sedangkan untuk Maelstrom a Weakness, terjalin sebuah harmonisasi apik antar para personil. Lalu berakhirlah pesta ugal-ugalan rilis album kedua Into The Hollow Circle, yang di racik langsung oleh para personil.

“Kendala dalam membuat event ini adalah masalah waktu, para personil memiliki kesibukan masing-masing di luar Asia Minor, sedangkan kami membuatnya sendiri, meski ada beberapa teman yang membantu. Juga pada saat merampungkan Album, kita terkendala oleh waktu juga. Bayu kan personil baru. Dia butuh penyesuaian”, Angga bercerita tentang event ini, sekaligus tentang proses pembuatan albumnya.

Tentunya, bagi yang suka-kita akan selalu menunggu gebrakan lanjutan yang akan di ciptakan Asia Minor. Setidaknya untuk saya. Saya sedang menjilat? Tentu saja tidak. Selera adalah urusan personal bagi masing-masing pribadi.

“Keluar dari jalur hardcore? Bisa aja sih, tidak menutup kemungkinan. Lagipula, hardcore bukan sekedar musik. Tapi jiwa, dan inilah bentuk hardcore kami” jelas Ican.

Foto : Bobby Agung Prasetyo

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner