Batu Tapal itu Bernama An Intimacy

Batu Tapal itu Bernama An Intimacy

Oleh: Iksal R. Harizal*

Malam itu 9 Februari 2008, Gedung AACC (Asian Africa Culture Centre) yang sarat sejarah tersebut dipenuhi metalheads. Sebelumnya ada Polyster Embassy dengan album ‘Tragicomedy’  juga The S.I.G.I.T dengan album Visible Idea of Perfection yang dilahirkan di gedung ini. Dan malam itu Beside siap merayakan peluncuran album terbarunya,”Against Ourselves”. Gedung pertunjukkan berkapasitas sekitar lima ratus orang tersebut nampak seperti sebuah pakaian berukuran small yang dilesakkan secara paksa kepada orang berbadan tambun. Sesak. Namun penonton terus berdatangan, layaknya semut mencium gula, yang sebenarnya pemandangan tersebut tidaklah aneh. Sekitar pukul 19:00, Beside mulai menjajal pentas yang berarti ini waktunya untuk mulai bersenang-senang dengan memanaskan pit dan melupakan sejenak kedegilan rutinitas bagi para metalheads. Namun jam-jam selanjutnya berubah mencekam, kita tahu kemudian ada sebelas orang yang nyawanya harus lunas diantara para penonton yang berdesakan menuju pintu keluar.

Kita berduka. Media saling menuding. Sanksi diberikan. Dan lilin-lilin dinyalakan mengenang mereka yang padam. Seorang jurnalis sepak bola pernah menulis, tidak pernah ada harga sebuah nyawa yang pantas untuk sepak bola. Kita harus katakan hal yang sama untuk musik.

Delapan tahun telah berlalu, semua telah banyak berubah ke arah yang lebih kondusif. Magnum Opus dari Prof. C.P. Wolff Schoemaker masih tegap berdiri, hanya nama yang berubah, New Majestic sekarang kita mengenalnya. Minggu lalu di tempat yang berbeda baru saja saya merasakan kembali panasnya pit hingga berkeringat, dengan melakukan crowd surfing dan ber-moshing ria di Program Party Seringai. Tidak ada polisi dengan tatapan tajam. Tidak ada lagi pelarangan. Semua bersenang-senang. Tentu ini adalah buah dari bibit perjuangan kawan-kawan di scene yang tak pernah lelah menyemai benih kreatifitas. Bisa kita saksikan, yang sempat patah kini tumbuh kembali.

Maka dalam delapan tahun ini berbagai pertunjukkan digelar dengan beragam semangat. Salah satunya An Intimacy yang kini telah memasuki edisi dua belas.  Bukan waktu yang singkat. Saya melihat regenerasi yang sedari awal mereka tawarkan bisa kita lihat hasilnya. Meski terlalu dini jika saya katakan berhasil. Setidaknya perlu beberapa tahun lagi untuk bisa menilai gerak kolektif ini. Sebab jika kita bandingkan dengan Coup De Neuf yang memiliki semangat serupa, An Intimacy bisa dibilang masih muda.

Kawan-kawan An Intimacy  pada edisi ini merasa bahwa band-band yang pernah tampil dalam An Intimacy perlu mereka bawa  ke panggung yang lebih besar. Tidak seperti sebelumnya yang menggunakan Loubelle Shop sebagai venue, kali ini kawan-kawan An Intimacy memutuskan membawa mereka tampil di dalam gedung bersejarah, New Majestic.

Dalam peradaban, manusia berperilaku unik. Mereka yang hidup memerlukan bentuk fisik, padat material dari mereka yang telah pergi sebagai medium pengingat dan juga trigger. Di Swiss, Dying Lion of Lucerne dibangun untuk mengenang prajurit Swiss yang dibantai saat Revolusi Prancis tahun 1972. Mark Twain menyebutnya sebagai batu paling menyedihkan di dunia. Di luar Stadion Anfield, patung Bill Shankly diabadikan sebagai pengingat bahwa Liverpool pernah berjaya. Di Bandung kita tidak memiliki monumen satupun seorang tokoh yang telah membuat dunia musik kita begitu menyenangkan atau untuk mengenang sebelas nyawa yang melayang itu. Namun kita memiliki dua gedung yang tegap berdiri sebagai saksi dan penanda dimana pernah di dalamnya beragam aliran musik di pentaskan; Saparua dan New Majestic. Dengan diadakannya An Intimacy saya harap gedung yang memiliki catatan panjang dalam perjalanan musik arus pinggir di Bandung ini dapat kembali mengeluarkan aura dan daya magisnya.

Beberapa tahun ke belakang seperti kita ketahui komunitas-komunitas kolektif terus lahir. Masing-masing membuat micro-gigs dengan semangat yang sebenarnya kurang lebih sama; mewadahi talenta-talenta brilian yang terus bermunculan. Namun akan menjadi sesuatu yang besar apabila kemudian simpul-simpul komunitas ini dapat dikaitkan dalam satu tempat. Seperti apa yang terjadi di Saparua dahulu. Karena kita terlalu lelah berwacana mengharapkan gedung pertunjukkan musik yang dibangun Pemerintah Kota Bandung, maka upaya memberdayakan kembali New Majestic oleh-oleh kawan komunitas bisa menjadi opsi dan rasanya lebih realistis tentu dengan tetap memperhatikan faktor keamanan dan kenyamanan. Saya rasa dengan diselenggarakannya An Intimacy di New Majestic bisa menjadi penanda kembali aktifnya gedung ini sebagai tempat pertunjukkan musik dari kawan-kawan independen.

An Intimacy edisi kali ini akan menghadirkan sembilan penampil, diantaranya adalah Littlelute, Ellipsis, Good Morning Breakfast, Bedchamber, Heals, Diocreatura, Polyester Embassy, Under The Big Bright Yellow Sun, dan Sigmun. Dengan beragam genre dalam satu panggung, saya rasa kita akan menemukan kesenangan yang lain. Kesenangan yang dulu pernah redup di dalam gedung ini. Kesenangan yang dulu direbut oleh mereka yang berperilaku banal yang menyebabkan sebelas nyawa khatam delapan tahun silam di gedung ini.

Pada pelaksanaan An Iintimacy edisi enam lalu saya menulis sebuah catatan singkat bahwa, micro-gigs ini mampu menjadi batu tapal pergerakan bagi kawan-kawan di scene independen untuk mengenalkan karya mereka. Dan apa yang saya tulis rasanya tidak keliru. Keputusan tepat dari kawan-kawan An Intimacy dengan memilih New Majestic sebagai venue, karena menurut saya perlu ada pengingat bagi generasi sekarang atas apa yang pernah terjadi dan apa yang pernah ditorehkan di dalam gedung ini. “Sejarah itu penting, rumah tempat orang melanglang dunia. Kalau tak tahu dari mana ia berangkat, ia tak mengerti tujuan.”  ujar Pram.  Departure yang berarti keberangkatan menjadi tema An Intimacy kali ini, tentu setelahnya kita berharap siap untuk melanglang dunia.

*Menulis di Surnalisme.com, sekarang ini sedang berjuang menyelesaikan studinya. Memiliki cita-cita memiliki rumah di pegunungan dan ladang untuk berkebun ditemani wanita yang pandai memasak nasi goreng.  

Foto : An Intimacy dok.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner