“Aparat” : Sebuah Ode Dari Tashoora Untuk Hukum di Indonesia

“Aparat” : Sebuah Ode Dari Tashoora Untuk Hukum di Indonesia

Sumber foto : Diambil dari rilisan pers Tashoora

Lewat lagu “Aparat” Tashoora berkisah tentang fenomena salah tangkap atau rekayasa kasus yang terjadi saat ini, di mana hal itu masih menjadi ‘gunung es’ dalam situasi penegakan hukum di Indonesia

Sebuah lagu lahir dari keresahan si empunya karya, dari mulai drama patah hati, hingga perkara fenomena sosial, seperti salah satunya maraknya kasus salah tangkap di Indonesia. Tergerak menulis soal itu, Tashoora kemudian menuangkannya dalam sebuah single berjudul “Aparat”. Menariknya, perilisan single ini selain bisa diakses di berbagai digital streaming platform, video musik lagu ini juga dapat disaksikan di kanal Youtube LBH Jakarta

Danang Joedodarmo, Dita Permatas, Gusti Arirang, tiga orang dibalik wadah musik bernama Tashoora adalah yang kemudian tergerak dengan beberapa masalah sosial yang terjadi di negeri ini. Beberapa lagu mereka tidak jarang berkisah tentang fenomena sosial yang kemudian mereka riset dan tuangkan dalam sebuah lagu. Kali ini, bekerja sama dengan LBH Jakarta dalam proses riset penulisan karya, Tashoora lantang berbicara agar aparat penegak hukum melakukan pembenahan diri dan menjalankan penegakan hukum, yang berdasar pada integritas dan kemampuan intelektual. “Kita harus menjaga mata dan memori kolektif agar aparat melakukan penegakan sesuai dengan hukum yang berlaku dan tidak lagi melakukan penangkapan sewenang-wenang”, ucap Asta, staf Kampanye Strategis LBH Jakarta.

Untuk urusan musik, kali ini Tashoora menggandeng Dias Widjajanto untuk mengambil peran sebagai produser. Lagu Aparat direkam sepenuhnya di Kios Ojo Keos, Jakarta. Proses mixing “Aparat” dikerjakan oleh Danang di tempat yang sama, sedangkan mastering dipercayakan kepada Anton Gendel di Sangkar Emas Mixing and Mastering, Yogyakarta. Artwork dari lagu “Aparat” dikerjakan oleh Gusti Arirang, sementara untuk video musik dikerjakan secara mandiri oleh Danang, Dita dan Gusti di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

“Video dan artwork dari lagu ini sangat responsif pembuatannya. Direncanakan, dibuat dan disunting dalam waktu kurang dari 2 jam,” jelas Gusti, “Seharusnya, kita juga bisa lebih responsif kalau menghadapi represi dan penangkapan yang sewenang-wenang oleh aparat,” tutup Dita.

Lebih jauh berkisah tentang lagunya, menurut Tashoora fenomena salah tangkap atau rekayasa kasus saat ini masih menjadi ‘gunung es’ dalam situasi penegakan hukum di Indonesia. Penelitian LBH Jakarta yang bertajuk “Kepolisian dalam Bayang-Bayang Penyiksaan” mencatat terdapat 37 kasus terkait praktik penyiksaan yang dilakukan aparat penegak hukum yang ditangani LBH Jakarta dalam kurun waktu 2013-2016.

Tujuh puluh persen (70%) penyiksaan dialami oleh korban dengan kelas ekonomi rendah. Pada penelitian sebelumnya (2008-2009) berjudul “Mengungkap Kejahatan dengan Kejahatan”, LBH Jakarta mengungkap 70-80% tahanan mengalami berbagai bentuk penyiksaan. KontraS selama 2019-2020 mencatat terjadi 62 kasus penyiksaan dan mayoritas penyiksaan tersebut terjadi pada korban salah tangkap (47 kasus). Pada tahun 2019-2020 juga, kita menyaksikan ribuan massa aksi ditangkap oleh aparat di berbagai kota. Suara-suara protes berakhir di kalkulasi kerugian, kita dipaksa santun di tengah penindasan.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan sejak 28 Oktober 2008 melalui UU No. 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Torture (UNCAT). Artinya, ada konsekuensi bahwa tersangka atau terpidana kasus tidak boleh disiksa untuk kepentingan apapun, apalagi mereka yang belum tentu terbukti bersalah. Pada kenyataannya, penyiksaan sering terjadi pada proses penangkapan dan pemeriksaan dengan tujuan agar para korban mengaku bersalah sampai mendekam di penjara atas kejahatan yang tidak mereka lakukan.

Pada tahun 2008, Kemat seorang warga Jombang, Jawa Timur, disiksa dan dipaksa mengaku sebagai pelaku pembunuhan Asrori. Faktanya, Kemat terbukti tidak bersalah dan menjadi korban salah tangkap. Para penyidik yang terlibat dalam kasus salah tangkap ini hanya dikenai sanksi etik dan profesi, tidak ada proses pidana. Pada kasus lain, 6 pengamen Cipulir, DKI Jakarta, menjadi korban salah tangkap atas pembunuhan Dicky Maulana pada tahun 2013. Empat dari 6 pengamen ini masih di bawah umur dan baru bebas pada tahun 2016. Selain menjadi korban salah tangkap, hak atas pendidikan mereka juga terabaikan selama proses itu.

Hal serupa juga dialami oleh Mispo Gwijangge yang dituduh melakukan pembunuhan berencana terhadap 17 karyawan Istaka Karya pada tahun 2019 di Nduga, Papua. Mispo ditangkap waktu berumur 14 tahun dan mengalami penyiksaan saat penangkapan. Sempat didakwa pasal ancaman hukuman mati, Mispo akhirnya bebas tahun 2020 setelah pengadilan menghentikan proses hukum terhadap Mispo karena terbukti proses penyidikannya cacat dan sewenang-wenang.

Sebagai tambahan, semua hasil pendapatan dari lagu ini akan disalurkan langsung kepada LBH Jakarta melalui Simpul LBH Jakarta untuk membantu penanganan kasus-kasus salah tangkap dan kerja-kerja bantuan hukum lainnya dalam mendampingi masyarakat miskin, buta hukum, dan tertindas. Silakan simak lagu “Aparat” melalui tautan di bawah ini.

BACA JUGA - Lebih Dari Sekedar Musik, Mata Ketiga Hadirkan Dunia Spiritual Mereka di Debutnya

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner