Youtube dan 'Generasi Susah Move On'

Youtube dan 'Generasi Susah Move On'

Youtube yang dibuat sebagai bagian dari kemajuan peradaban, namun terkadang disikapi dengan sebuah romantisme, dengan berbagai alasan. Mundur ke belakang demi mendapatkan hal-hal memorable dalam hidupnya

Tahu jika waktu tidak bisa diulang, maka manusia menciptakan teknologi kamera untuk menyimpan gambar dan membekukan waktu. Seiring perkembangannya, teknologi kamera ini ditingkahi juga dengan budaya pembuatan video musik bagi para musisi, yang saat itu difasilitasi pula oleh MTV, sebagai wadah yang menayangkan video-video tersebut. Namun ketika MTV tidak lagi ‘seksi’, dan teknologi sudah semakin maju, peradaban manusia menemukan pola baru dalam menikmati musik, yang dalam hal ini mengerucut pada cara baru menikmati video musik lewat Youtube.

Adalah Chad Hurley, Steve Chen, dan Jawed Karim, tiga orang pencipta Youtube, yang sebelumnya merupakan karyawan pertama PayPal. Tiga orang ini memfasilitasi banyak orang untuk bisa menyaksikan video yang dia suka, termasuk video musik.

Youtube memungkinkan kita mendapatkan kemudahan akses mendapatkan video musik yang kita suka, termasuk ketika kita ingin mengenang hal-hal nostalgic dari waktu-waktu yang lalu. Kita hanya perlu membuka komputer/laptop atau handphone untuk kemudian menuliskan video musik apa yang kita suka. Youtube membuatnya lebih praktis, dan membuat kita tidak perlu bersusah-susah datang ke acara tribute untuk bernostalgia dengan era emas yang kita suka, karena di Youtube semua musisi dari semua era ada.

Selain itu, Youtube juga memungkinkan lahirnya generasi baru ‘rasa lama’, dengan banyaknya anak muda yang ‘terjebak’ pada era ayah atau ibu mereka mengalami puber pertamanya, dan ini terbukti lewat lahirnya kembali musik-musik lama yang kembali menjadi tren, dari mulai 60an, 70an, 80an hingga 90an. Tidak menutup kemungkinan juga jika penulis seperti Marchella FP, yang terkenal berkat buku “Generasi 90an” nya itu pada awalnya mendapatkan trigger dari apa yang dia tonton di Youtube, hingga akhirnya romantisme tahun 90an itu dia tuangkan dalam bukunya. Buku itu kemudian meledak di pasaran, hingga banyak menggiring anak muda millenials untuk menyalakan mesin waktu, kembali ke tahun 90an.

Satu atau dua dekade dari sekarang mungkin akan ada banyak orang yang lahir dari generasi hari ini bercerita tentang Seringai, Barasuara, Burgerkill, atau mungkin Teenage Death Star, dimana nama-nama tersebut diangap sebagai band yang bisa merepresentasikan sebuah era, seperti halnya The Beatles atau Nirvana yang dianggap bisa merepresentasikan eranya.

Setiap orang punya definisi sendiri tentang era emas dengan masing-masing argumen yang menguatkan, dari mulai era flower generation, era british invasion, sampai era musik alternatif yang menginvasi dunia, termasuk Indonesia. Uniknya, tidak sedikit juga anak muda yang mungkin lahir pada tahun 90an namun punya selera musik era 80an. Karena secara esensi maupun estetika karya dianggap bisa merepresentasikan dirinya, atau mampu memenuhi kriteria ideal menurut pandangannya. Hal tersebut kemudian melahirkan barisan orang ‘susah move on’ dengan semua romantisme yang bisa dia jabarkan tentang sebuah era emas yang menurutnya ideal.

Generasi susah move on ini biasanya akan punya perpustakaan data cukup lengkap tentang semua hal yang dia suka pada era tertentu, dari mulai klipingan majalah, poster, hingga artefak-artefak album musik, dari mulai era piringan hitam, kaset, sampai CD. Dengan semua ‘bank data’ yang dia punya, maka cukup baginya untuk melesatkan amunisi tentang seberapa paham dia akan sebuah era. Menariknya, terkadang Youtube jadi muara dari banyaknya pencarian tentang ‘cinta pertama’ mereka. Tidak melulu tentang asmara, ‘cinta pertama’ ini bisa berartian tentang film, lagu, hingga video musik pertama yang dia suka, sepuluh sampai dua puluh tahun ke belakang. Karena kesan pertama begitu menggoda, maka meski ribuan lagu telah dilahirkan setelahnya, tetap saja perasaannya tertinggal dengan pesona lagu masa lalunya. Lucunya, Youtube yang dibuat sebagai bagian dari kemajuan peradaban, namun terkadang disikapi dengan sebuah romantisme, dengan berbagai alasan. Mundur ke belakang demi mendapatkan hal-hal memorable dalam hidupnya. Tidak salah, namun hal itu jadi paradoks menarik dari cara orang menyikapi Youtube.

BACA JUGA - Film dan Romantisme Soundtrack

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner