Yang Harus Kita Pahami Dari Barasuara

Yang Harus Kita Pahami Dari Barasuara

Kembali ke Barasuara. Iga Masardi, salah satu personil Barasuara yang menjadi central point, dan bertanggung jawab mengarahkan musik Barasuara, menjadi disoroti banyak orang. Untungnya ini bukan yang pertama bagi Iga. Di band terdahulunya, The Trees and The Wild, pun mendapati kritikan yang tidak kalah panas di telinga, ketika mereka (atau dalam hal ini mengarah pada sang vokalis, Remedy Waloni) dianggap terlalu mirip dengan John Mayer, dari segi karakter vokalnya. Padahal secara musik jauh berbeda. Karena kemiripan itu, eksplorasi musikal yang dilakukan oleh The Trees and The Wild seakan tidak punya pengaruh cukup signifikan, karena banyak yang salah fokus pada kemiripan dengan John Mayer tadi.

Pembahasan tentang Barasuara sebagai sebuah band alternative/indie-rock di tanah air, mungkin akan berhadapan dengan satu-satunya saingan terkuat band ini (dan pernah satu panggung untuk berkolaborasi bareng), yakni Efek Rumah Kaca. Berbeda dengan Barasuara yang langsung ‘ngegas’ dari awal mereka muncul, Efek Rumah Kaca mengawali pijakannya di panggung musik tanah air dengan konsep trio pop minimalis, sebelum pada akhirnya band ini kerap tampil rombongan, dengan isian musik yang lebih beragam dan kompleks di album Sinestesia.

Dari segi musik, baik Barasuara maupun Efek Rumah Kaca adalah band dengan personil berkemampuan musik yang mumpuni. Namun ada satu hal yang dengan segala kerendahan hati saya tuliskan, Efek Rumah Kaca lebih unggul dalam penulisan liriknya. Jika Barasuara seperti sedang bermain-main dengan diksi-diksi menarik, yang sayangnya, tidak semuanya tepat sasaran atau terasa relate dengan pendengar, Efek Rumah Kaca mampu menyajikan diksi-diksi keseharian seperti kata ‘diabetes’ atau ‘tahlilan’, yang jika dipikirkan lagi rasanya tidak akan cocok dimasukan dalam sebuah lagu, namun nyatanya punya kekuatan besar yang mengikat antara Efek Rumah Kaca dan pendengarnya.

Lirik-lirik lagu Efek Rumah Kaca terasa sangat kuat dan menggetarkan, dibanding misalnya, maaf, lirik “Bahasamu bahas bahasanya. Lihat kau bicara dengan siapa” (diambil dari lagu “Bahas Bahasa”, album Taifun), yang meski secara pemilihan kata terbilang menarik, namun sayangnya tidak ada kedekatan dengan pendengar, karena Barasuara terkesan asik sendiri saat melantunkan lagu tersebut. Dan hal tersebut juga nampaknya masih dilakukan mereka di album terbarunya, Pikiran dan Perjalanan.

Yang harus kita pahami dari band-band seperti Barasuara adalah tentang sebuah pertunjukan musikal yang baik yang dimiliki para personilnya. Tidak ada yang meragukan kemampuan bermusik Iga Masardi, TJ Kusuma, Gerald Situmorang, Marco Steffiano, Asteriska, dan Puti Chitara. Mereka akan selalu menjadi band yang terkonsep dan jeli menangkap detail yang menguatkan konsep tersebut.

Untuk yang tidak bisa menangkap konsep yang ditawarkan Barasuara, mungkin akan menganggap band ini jadi sebuah angin lalu saja. Tapi untuk yang bisa menangkap konsep tersebut, akan menganggap jika Barasuara adalah sebuah band yang mampu membuat dunianya sendiri, layaknya Tolkien atau J.K Rowling misalnya. Pertanyaannya, apakah kita mau masuk ke dunia itu atau tidak? Yang jelas, Barasuara sudah memberi kita petunjuk lewat Pikiran dan Perjalanan. Sejauh apa pikiran kita mampu menciptakan perjalanan alam bawah sadar lewat lagu-lagu dari Barasuara? Sejauh itu pula lah kita akan menemukan dunia yang dibangun oleh Barasuara tersebut. 

BACA JUGA - Apakah Jargon Pasar Bisa Diciptakan Masih Relevan Untuk Efek Rumah Kaca?

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner