Yang Harus Dipelajari Anak Musik Dari Anak Seni Rupa

Yang Harus Dipelajari Anak Musik Dari Anak Seni Rupa

Kerangka imajinasi yang anak seni rupa punya tidak selalu terkait dengan urusan teknis musik, hingga secara estetika bermusik mereka menghubungkannya dengan persona yang ingin mereka gambarkan

Jika ada pertanyaan tentang siapa saudara kandung dari seni musik, mungkin jawabannya adalah seni rupa. Diakui atau tidak banyak torehan anak seni rupa di dunia musik, termasuk di Indonesia. Mungkin industri musik tanah air kiranya bisa berterima kasih untuk anak-anak seni rupa yang kemudian ‘menginvasi’ dunia musik dengan torehan kreasi serunya. Dua nama kampus seperti IKJ dan ITB lumayan banyak melahirkan band-band seru ke permukaan, dari mulai The Upstairs, Naif, White Shoes & The Couples Company, Goodnight Electric, Club 80s yang berasal dari kampus IKJ, hingga musisi musisi seperti Arian dan Khemod Seringai, Satria NB (Pure Saturday), sampai Ucok ‘Homicide’ yang sama-sama mengenyam disipilin ilmu seni rupa di ITB.

Menghubungkan analisa gembel ini dengan petikan wawancara White Shoes & The Couples Company (selanjutnya ditulis WSATCC) bersama Jimi Multhazam & Ricky Malau di kanal Youtube Ngobryls, kala mereka menyoroti tentang anak seni musik dan seni rupa. Seperti banyak orang tahu, para personil WSATCC merupakan gabungan antara anak musik dan anak seni rupa IKJ. Bassis WSATCC, Ricky Virgana menuturkan alasannya sering nongkrong bareng anak seni rupa di kampusnya. Salah satu faktor terbesarnya adalah dia menemukan pola berekspresi seru yang sebelumnya dia belum pernah dapat di jurusannya. Menurut Ricky sebelum dia bertemu dengan anak-anak seni rupa, dia dan mungkin juga anak-anak musik di kampusnya menemui banyak ketakutan ketika hendak berkarya.

Mengamini pernyataan Ricky, sang kibordis, Aprimela Prawidiyanti yang juga mahasiswi dari jurusan musik di IKJ menuturkan jika di jurusannya banyak yang terpaku pada pakem-pakem dalam disiplin ilmu musik, serta banyaknya tekanan dari sesama anak musik. Karena mendapat label ‘anak musik’ jadi karya yang dihasilkan pun tidak boleh ‘sembarangan’ (harus yang skillfull banget). Hal tersebut mendatangkan ketakutan-ketakutan yang tidak perlu bagi Mela dan mungkin teman-temannya di jurusan musik. Banyak ketakutan akhirnya jadi lupa berkarya, dan main aman dengan membawakan karya orang lain. Tidak semua memang, tapi sepertinya typical anak musik seperti itu. Satu hal yang kemudian dimentahkan oleh anak anak seni rupa, di mana dengan semua keterbatasan mereka bermusik, mereka justru mendobrak batasan-batasan yang dibuat oleh anak musik itu sendiri. Hal ini seakan mengingatkan kala rock n roll mendobrak ‘batasan’ yang dibuat blues, dan punk yang kemudian mendobrak ‘batasan’ yang dibuat rock n roll, metal yang mendobrak batasan rock, dan seterusnya.

Salah satu contohnya mungkin dari perspectif mereka (anak musik dan anak seni rupa) yang berbeda. Mungkin cara anak musik dan anak seni rupa mengartikan rock bisa berbeda. Jika anak musik mengidentikan musik rock dengan olah kreasi distorsi dengan semua teknik njelimet dari mulai arpeggio, mayor minor, perpindahan birama, dan hal-hal teknis lainnya. Hal itu kemudian ditampar anak seni rupa yang mengimani musik rock hanya dari kadar seberapa berisik dia bermusik. Makin berisik makin ngerock. Hal tersebut juga yang membuat band-band yang dibuat anak anak seni rupa menjadi in between, karena ketika mereka membuat band pop pada outputnya bisa ngga terlalu pop, dan ketika membuat band rock juga ngga terlalu ngerock. Karena ada ‘pintu-pintu’ yang mereka dobrak, menjadikan outputnya berbeda dan terbilang unik. “Musik aing kumaha aing”, gitu mungkin kata orang sunda.

Analisa gembel lainnya mungkin karena anak seni rupa kerap bermain dengan visual, kerangka imajinasi yang mereka punya tidak selalu terkait dengan urusan teknis musik, hingga secara estetika bermusik mereka menghubungkannya dengan persona yang ingin mereka gambarkan. Tengok band band seperti The Upstairs, Naif, hingga White Shoes & The Couples Company. Persamaan ketiganya adalah mereka sama-sama kuat dalam urusan ‘branding’, hingga hal tersebut kemudian menarik perhatian dan membuat mereka muncul ke permukaan. Diakui atau tidak musik kemudian menjadi produk, dan band band yang di dalamnya kemudian bertanggung jawab penuh membuat ‘produk’ itu menarik. Selain dari musiknya yang memang bagus, tentu secara brand image juga harus menarik. Dari mulai Iron Maiden, Misfits, hingga The Rolling Stones, yang kita ingat logonya kan?

Jadi jika ada pertanyaan, apa yang sebaiknya anak musik pelajari dari anak seni rupa adalah tentang bagaimana mereka memberi perspectif berbeda dari musik yang mereka buat. To Be honest, ada tipe band seperti Seringai misalnya. Rasanya kita tidak akan kesulitan menemukan band dengan skill bermusik yang sepadan dengan para personil Seringai. Namun apa yang mereka sajikan bisa mencuri perhatian karena ada sentuhan seni rupa disana. Bagaimana Seringai hadir dengan paket komplit, dari mulai citra, brand image, sampai printilan lainnya yang berhubungan erat dengan cara mereka meramu olah kreasi seru di luar musiknya itu sendiri. Seringai, Serigala Militia, image tengkorak, font yang khas, hingga hal itu juga berbuah manis kala diaplikasikan dalam bentuk merchandise.

Tentu bukan tanpa alasan kenapa akhirnya brand besar seperti vans mau memilih Seringai sebagai brand ambassador nya. Atau ketika brand besar lainnya seperti Adidas yang kepincut sama brand image yang disajikan Goodnight Electric, dan banyak lagi lainnya yang muncul ke permukaan berkat adanya sentuhan seni rupa disana. Musik akan selalu menjadi nomor satu mau seperti apapun bandnya, namun jika tidak ditunjang kesadaran untuk ‘menjualnya’ dengan cara yang asik mungkin musiknya tidak akan kemana-mana.

BACA JUGA - Apa Memang yang Ingin Kita Rayakan di Hari Musik Nasional?

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner