Tiga Band Dengan Pola Musik yang Bebas Tanpa Batas

Tiga Band Dengan Pola Musik yang Bebas Tanpa Batas

Tentang adanya keadaan tertib diawali dengan ketidaktertiban. Hal ini kemudian diaplikasikan oleh tiga band berikut ini, yang dengan pola kreasi bermusiknya masing-masing bisa menyajikan musik yang bebas dan tanpa batas.

Shahida Manzoor, dalam disertasinya yang mengutip Ovid Methamorposes, menyatakan bahwa “before ocean was, or earth or heaven, nature was all a like, a shapeless chaos”, yang menjelaskan tentang adanya keadaan tertib diawali dengan ketidaktertiban. Hal ini kemudian diaplikasikan oleh tiga band berikut ini, yang dengan pola kreasi bermusiknya masing-masing, mereka bisa menyajikan musik yang bebas dan tanpa batas.

Yang pertama, ada band asal Jogja bernama Zoo. Duo Rully dan Wukir ini punya cara sendiri menyajikan musiknya yang mungkin tidak terdengar seperti alunan musik. Lebih kepada mantra yang diiringi distorsi, jika dalam sudut pandang orang awam. Lagu-lagu semisal “Manekin Bermesin”, “Hymne Peradaban”, atau pun lagu “Lalat-Lalat”, menjadi sajian lagu yang kaya akan bunyi dan ketukan ritmis dinamis, yang membuang jauh estetika yang dibentuk banyak sekolah musik, serta segala macam yang membentuk musisi hanya jadi ‘tukang’ main musik, bukan bermain musik. Tidak salah, hanya saja Zoo menawarkan sesuatu diluar itu dengan menuhankan kebebasan sebagai fondasi utamanya. 

Selain Zoo, ada pula band bernama Leftyfish yang menggabungkan pola permainan piano jazz, brass section, dengan sayatan distorsi yang membabi buta, lalu berkejaran diantara teriakan sang vokalis dan ketukan drum dengan tempo cepat. Kamu bisa menyebutkan band manapun yang kamu tahu, dengan segala jenis warna musiknya, dan bayangkan semua komponen tersebut ada di lagu-lagu yang dibawakan oleh Leftyfish, seperti “Meat vs Ginger”, “You Fish!”, atau “Kite Wars”, yang mereka gabungkan dari ragam referensi musik yang mereka dengar, lalu disajikan secara ‘mentah’, seenaknya, ngebut, dan membuat pendengarnya kehabisan nafas dengan teror yang mereka sajikan

Yang ketiga ada Dadi and The Yeehaw, yang menyajikan perayaan tentang bunyi dalam konsep musiknya. Band ini menangkap ketidakberaturan bunyi dalam satu kompleksitas pola-pola bermusik itu sendiri. Atau jika tidak harus seserius itu menanggapi musik mereka, sederhananya mereka tidak sedang bermusik dengan alat musik yang mereka mainkan, tapi mereka hanya merayakan bunyi saja. Dinikmati atau pun tidak oleh penonton.

Tiga band tadi hadir sebagai pilihan lain dari sebuah sajian musik, ketika nyatanya, ada juga beberapa band yang tidak menjadikan musik jadi sesuatu yang punya pakem, seperti keharusan melodi dan ritmis yang selaras, lewat suguhan lagu-lagu "ajaib", dan mungkin susah dicerna, andai saja pendengarnya masih terpatok pada pakem aturan-aturan bermusik secara akademis, maupun gambaran ideal banyak musisi pada umumnya.

Tentunya masih banyak band-band ‘unik’ lainnya yang juga hadir dengan pola kreasi masing-masing. Tidak hanya unik, namun mereka juga mendatangkan wawasan baru, hingga membuat musik jadi suguhan yang kaya akan eksplorasi, dan bahkan dititik tertentu menjadi menyenangkan, karena mampu menjabarkan dengan indah apa itu makna dari kebebasan berekspresi. Mungkin hal itu pula yang diyakini Kurt Cobain, ketika dia sekonyong konyong hadir pada era guitar hero menginvasi dunia dengan permainan gitarnya yang bak dewa itu.

BACA JUGA - Para Musisi Ini Memulai Karirnya di Panggung 17-an

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner