Song Review : Harlan Boer – “Siapa Saja Merekam Pop”

Song Review : Harlan Boer – “Siapa Saja Merekam Pop”

Sumber foto : Diambil dari tangkapan layar video lirik Harlan Boer

Harlan tidak sedang bicara tentang lagu Pop yang merajai arus utama, namun Harlan hadir menjadi antitesis seperti halnya punk, grunge, indie, atau hal lainnya yang pada awalnya berada di bawah 'radar', sampai akhirnya muncul ke permukaan

Sebuah trigger dalam menulis bisa diawali oleh apa saja, termasuk oleh sebuah film animasi berjudul “Ratatouille”. Berkat keisengan luar biasa dan waktu luang yang ada, film yang diproduksi tahun 2007 tersebut kembali diputar 14 tahun kemudian, dengan satu angle baru yang mungkin sebelumnya tidak didapatkan dari film ini. Dalam film disebutkan seorang koki terkenal bernama Auguste Gusteau yang terkenal dengan kutipannya...“semua orang bisa memasak”. Hal tersebut kemudian menginspirasi seekor tikus bernama Remy, yang bahkan memberanikan diri ingin menjadi koki seperti halnya Auguste Gusteau.

Ternyata Gusteau salah, karena Remy yang bukan ‘orang’ pun ternyata bisa memasak. Satu hal kontradiktif di mana tikus yang notabene nya ‘musuh’ dari dunia kuliner, di film ini justru dibuat menjadi bagian dari dunia kuliner dan menghuni dapur restoran mewah, di Perancis pula. Sebuah negara yang menjadikan menu masakan punya kasta tinggi, bukan hanya pelepas rasa lapar semata.

Dari keisengan menonton film tadi jari jemari kemudian menemukan sesuatu yang juga menarik di kanal Youtube, lewat sebuah video lirik dari Harlan Boer yang berjudul “Siapa Saja Merekam Pop”. Menggaris bawahi judul lagu tersebut lamunan kemudian membawa pada film tadi dan menyoroti line film itu tentang semua orang bisa memasak. Tentu jika dihubungkan dengan yang Harlan maksud, memasak disini berbanding lurus dengan memasak musik. Seperti halnya dengan - sebutlah - Erwin Gutawa atau Addie MS, Harlan Boer pun termasuk orang yang bisa memasak musik. Mungkin menjadi tidak apple to apple jika membandingkan dengan urusan teknis semata, karena jika kita bicara musik maka kita akan bicara tentang imbas setelahnya. Apakah lagu tersebut hanya berujung sebagai sebuah hiburan atau bermakna dalam, sampai sepuluh dua puluh tahun kemudian masih kita kenang.

Lewat lagu “Siapa Saja Merekam Pop” Harlan bicara tentang pop dengan huruf kecil. Mengutip apa yang teman saya Irfan Popish sering analogikan, tentang pop dengan huruf kecil, yang jauh dari hingar bingar arus utama lewat lagu-lagu pop raksasa yang menembus pasar besar. Harlan tidak sedang bicara tentang lagu “Kesempurnaan Cinta” milik Rizky Febian yang merajai arus utama dengan lagu Pop nya, namun Harlan hadir menjadi antitesis seperti halnya punk, grunge, indie, atau hal-hal lainnya yang mungkin berada di bawah 'radar'.

Harlan seakan berjabat erat dengan gerombolan ugal-ugalan, Teenage Death Star yang mengamini jika skill dalam bermusik tidak perlu ditaruh di nomor satu, karena lebih dari itu yang sebuah band butuhkan adalah passion yang menyala, serta keinginan untuk bersenang-senang di atas segalanya. “Fuck skill let’s rock”, begitu ujar mereka, dan fuck skill let’s pop jika versi Harlan Boer. Lewat lagunya Harlan bicara pop dari intinya saja, jika pop akan selalu berbanding lurus dengan nada ringan yang mudah dinyanyikan, menyenangkan untuk siapa saja yang mendengarkan.

“Siapa Saja Merekam Pop”, bisa Harlan, bisa saya, bisa siapa saja yang sedang bergembira atau kesepian, seperti halnya jika semua orang bisa bermain gitar. Ingat lagu “Anyone Can Play Guitar” dari Radiohead kan?. Jadi bisa bersinergi pula dengan lagu Slank, “kuambil gitar dan mulai kumainkan lagu lama yang biasa kita nyanyikan”. Lagu lama yang kerap mengisi tongkrongan di gang-gang sempit yang diisi remaja remaja tanggung yang masih kejauhan bicara tentang masa depan, karena gitar dan minuman dalam plastik hitam cukup baginya untuk merayakan hari, atau justru merayakan kekalahan atas nasib yang mereka jalani. Karena dalam hari terburuk yang kita rayakan kita tidak akan menemukan motivator layaknya Mario Teguh, tapi justru nada-nada ringan yang kita senandungkan, entah sebagai alasan untuk mengumpat atau untuk hal lainnya yang ingin kita tampar.

Bicara tentang Harlan akan selalu berbanding lurus dengan sesuatu yang sederhana, mudah, dan mencerahkan. Setidaknya menurut saya Harlan adalah apa yang bisa kita harapkan sebagai penawar lelah. Dunia dan seisinya terlalu bising dan chaos untuk kita lihat dan dengarkan, maka sejenak melepas lelah dengan lagu-lagu Harlan adalah sebuah pelarian menyenangkan. Harlan adalah saya, kita, yang jauh dari ‘sorot lampu panggung’, namun masih punya cara untuk menyalakan lampunya sendiri, meski remang dan sunyi, tapi kita masih bisa jadi diri sendiri dan bicara tentang hal-hal ringan yang menyenangkan. Tidak dengan lampu yang terang benderang tapi menjadi orang palsu dengan obrolan yang direka-reka, hanya untuk menyenangkan si bos besar.

BACA JUGA - Song Review : Mocca – “There's A Light At The End Of The Tunnel”

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner