Sisi Kontras Dilla Anbar : Dari Masak Hingga Gulat

Sisi Kontras Dilla Anbar : Dari Masak Hingga Gulat

Sumber Foto : Foto merupakan karya dari @alfiprakoso

Selain menjadi seorang pegulat ugal-ugalan, Dilla Anbar alias @Bagongtempur juga memiliki kemampuan dalam bidang kuliner. Hal ini terbukti kala dirinya dipercaya menjadi koki di sebuah restoran di Jepang

Dilla Anbar atau yang lebih dikenal dengan nama panggung Bagong Tempur adalah sosok/dalang di balik terciptanya Muchos Libre dan Cucukrowo Mekgejin. Dengan semua persona dan kreativitasnya, DCDC tertarik untuk mewawancarai Dilla tentang banyak hal, khususnya bidang yang dia geluti, musik, seni rupa, dan kuliner. Oh iya satu lagi, literasi (jika zine yang dia buat bersama saudara kembarnya, Dalli Anbar masuk kategori produk literasi. Hhmm??). Tentang zine ‘suka’suka tersebut menurut Dilla pada awalnya terbentuk pada tahun 2010, di mana awalnya Dilla mengaku terinspirasi menciptakan sebuah komikstrip yang saat itu cukup populer di Twitter. Bertukar pikiran bersama teman-temannya (saudara kembarnya-red), akhirnya Dilla memutuskan untuk menciptakan Cucukrowo Mekgejin, sebagai media yang memuat bahasan-bahasan lucu dan ringan bertemakan hal-hal ‘jorok’.

Ketika disinggung soal ini, menurut Dilla alasan dipilihnya tema tersebut bukanlah tanpa alasan, karena sejak dari kecil Dilla memang menyukai candaan-candaan ‘jorok’ ketika ngobrol bersama teman-temannya, hingga akhirnya candaan itu menjadi sebuah rutinitas yang terbawa hingga saat ini. “Jadi dari kecil kita tuh becandanya emang secara verbal ngebahas yang jorok-jorok dan hal itu akhirnya sudah jadi rutinitas.” ujar Dilla.

Selain sibuk ‘bergulat’ di Muchos Libre dan Cucukrowo Mekgejin, Dilla diketahui sempat tinggal beberapa tahun di Jepang untuk menjalani profesi di bidang kuliner. Dilla menjelaskan bahwa sebelum beranjak ke Jepang dirinya memang sudah sangat tertarik akan hal-hal berbau Jepang. Beberapa karya yang Dilla ciptakan cukup banyak yang memiliki unsur budaya Jepang, mulai dari gambar-gambar yang terinspirasi dari manga dan anime (komik dan kartun dari Jepang), hingga musik-musik Muchos Libre pun Dilla sisipkan unsur Jepang.

Tentang dunia kuliner sendiri, Dilla mengaku bahwa pada saat itu ia ‘dijebak’ oleh ayahnya sendiri. Tanpa sepengetahuan Dilla, ternyata ayahnya sudah menyiapkan sebuah kafe bernama Warung Kopi Sukahati untuk dikelola olehnya. Awalnya Dilla merasa terpaksa akan keputusan ayahnya itu, namun dirinya juga merasa bahwa dari pekerjaannya dalam bidang gambar dan nulis kurang menghasilkan, sampai akhirnya lambat laun Dilla menikmati profesi barunya di bidang kuliner.

Kecintaannya pada bidang kuliner juga mendorong Dilla untuk mengikuti kuliah kuliner D1 di Akademi Tata Boga Bandung Timur. Setelah selesai mengenyam pendidikan, kemudian Dilla mengimplementasikan ilmu yang sudah ia dapat dengan bekerja di sebuah kafe dan hotel. Suatu hari, salah satu teman Dilla mengajak pergi ke Jepang untuk bekerja di bidang pertanian. Dilla mencoba untuk meminta pendapat orang tuanya yang ternyata tidak disetujui karena ‘beda jalur’. Setelah dari ajakan itu Dilla melihat sebuah lowongan restoran di Jepang yang membuatnya tertarik untuk mencoba. Karena berada di ‘jalur’ yang sama, akhirnya Dilla mengambil lowongan tersebut dengan berbekal kursus bahasa Jepang yang sudah ia jalani selama tiga bulan. Berlokasi di daerah Nagoya (letaknya di tengah-tengah kota Tokyo dan Kyoto), restoran tempat Dilla bekerja ini memiliki menu khas berupa sushi, yang diakui Dilla dibuat dengan serba praktis.

Dilla menuturkan jika setiap bahan-bahan dari sushi tersebut sudah siap tanpa harus mengolahnya terlebih dahulu. “Jadi waktu di Jepang itu emang ternyata di dalem restorannya praktis semua gitu, jadi si ikannya juga udah dipotong terus nasinya juga beda. Menggunakan bahan dasar ikan mentah, sebenernya untuk pengolahannya dimulai dari penyeraparan isi kandungannya dulu menggunakan kitchen paper, terus didiemin di dalem kulkas selama sehari dengan suhu di bawah nol deratat Celsius. Jadi ketika si cairan yang terkandung dalam daging tuh jadi engga cepet busuk.” jelas Dilla.

Ketika ditanya tentang perbedaan antara sushi di Jepang dan di Indonesia, Dilla mengakui bahwa dalam beberapa hal memang jelas berbeda. Sushi di Jepang menggunakan nasi dari beras khusus dan memiliki bentuk lebih bulat dan lengket dengan kandungan air yang lebih banyak dibanding beras Indonesia. Selain itu Dilla juga menjelaskan bahwa cuka yang digunakannya pun beda. Menurutnya, cuka di Indonesia memiliki aroma yang kuat dan rasanya pun terlalu asam. “Di Jepang itu berasnya emang ada khusus buat shusi dan bentuknya itu lebih bulet dan lengket, jadi kandungan airnya lebih banyak kalo dijadiin nasi tuh. Terus yang jadi beda itu dari cukanya juga, kalo yang saya rasain di Indonesia itu cukanya lebih kuat aroma dan rasanya terlalu asem. Bedanya lagi, disana kalo bikin sushi tuh pas proses menanak nasinya itu ditambah cuka jepang” ungkap Dilla.

Setelah selesai dengan pekerjaannya di Jepang, Dilla memutuskan pulang kembali ke Indonesia untuk kembali belajar seputar masakan-masakan khas Indonesia. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Dilla menimba ilmu tentang kuliner melalui saudaranya di Warung Nasi Hj Uun, Nagreg selama satu tahun.

Sedikit membahas tentang penampilannya ketika di atas panggung bersama Muchos Libre, Dilla kemudian bercerita tentang awal mula dirinya tertarik untuk mengusung konsep gulat. Berawal dari obrolannya bersama Dally di sebuah festival musik pada tahun 2010, mereka berdua mulai membicarakan rencana untuk membangun sebuah band. Terhalang oleh konsep, mereka bingung untuk mengusung konsep band yang lebih mementingkan visual dari pada musiknya. Teringat akan sebuah acara gulat “Smackdown” yang populer pada tahun 1990, kemudian mereka mulai tertarik untuk mengangkat tema gulat pada bandnya tersebut. Hal ini diperkuat lagi dengan sebuah penampilan Zeke Khaseli yang tampil dengan penuh kostum. “Terus makin mantepnya kita make topeng sebagai identitas itu pas kita datang ke Pasar Seni ITB tahun 2010, ketika nonton Zeke Khaseli yang pada saat itu set panggungnya pake kostum semua. Dari situlah akhirnya kita memutuskan untuk menggunakan kostum sambil berpesta di atas panggung.” ujar Dilla.

Dari mulai memasak, bermusik, hingga memasak musik dengan semua kepekaan rasa dan kreativitas yang disuguhkannya, tidak berlebihan jika Dilla, Dally, dan lingkaran yang ada dalam proses berkeseniannya membuat Muchos Libre jadi anomali menyenangkan untuk urusan kreativitas. Dilla Anbar alias si Bagongtempur ini punya sisi liar yang bisa dilepaskan pada waktu yang tepat, dan ketika itu terlepas, bersiaplah untuk meliar bersama Dilla dan gerombolan Muchos Libre nya. Untungnya saat masak dia tahu aturan dengan tidak mencampurkan apa yang sering dia tulis dalam zine nya (baca : T*I)

BACA JUGA - Menyimak Sisi Lain Athink ‘Alone At Last’ di Bidang Kuliner

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner