Sekali Lagi Tentang Jagat Maya : Rimba Bahaya Bagi yang Bersuara

Sekali Lagi Tentang Jagat Maya : Rimba Bahaya Bagi yang Bersuara

Jagat maya tidak pernah menjadi tempat yang sunyi, mengingat setiap detik menitnya selalu diisi dengan berbagai macam unggahan, yang tidak jarang menjadi santapan lezat bagi penikmat maupun pengkritik seseorang

Beberapa waktu lalu jagat maya sempat ramai dengan segala macam komentar tentang pernyataan Nadin Amizah lewat analoginya soal si miskin dan si kaya. Beberapa menganggap pernyataan Nadin cukup melukai perasaan orang yang kurang beruntung secara materi. Mereka menganggap jika perkara menjadi orang baik tidak ada hubungannya dengan status sosialnya, apakah dia kaya atau miskin. Tidak hanya itu Nadin juga kemudian pernah mendapat sorotan kala dia dinilai meromantisasi isu kesehatan mental, dan juga dianggap terlalu puitis dan melankolis oleh beberapa orang.

Menggaris bawahi ‘menjadi puitis’ di jagat maya, hal tersebut sedikit mengingatkan pada apa yang pernah menimpa Putri Marino, kala aktris yang sempat memenangkan piala citra untuk perannya di film ‘Posesif’ ini merilis buku puisinya. Beberapa netizen menganggap jika puisi-puisi Putri dibuku tersebut kurang layak dirilis. Dikerucutkan pada apa yang tertulis di linimasa si burung biru, kebanyakan dari mereka menjadi ‘juri’ tentang puisi Putri. Mereka, dengan segala macam estetika seni yang mereka yakini berpendapat jika tulisan Putri tidak bisa dimaafkan, dan menyarankan Putri main film saja.

Lepas dari itu, Putri mungkin ketiban sial, karena sebelumnya tren penulisan buku puisi cukup ramai dirilis, dengan semua kebanalannya. Namun karena beberapa diantaranya punya 'nama' duluan membuat banyak penerbit membuka pintu lebar untuk merilisnya. Kekesalan para pembaca yang berseberangan dengan tren itu akhirnya seperti mendapati puncaknya saat Putri merilis buku puisi. Sama seperti penulis lainnya yang punya ‘nama’ duluan sebelum rilis buku, Putri dianggap aji mumpung saja, sampai akhirnya ada penerbit yang tertarik merilis bukunya. Tidak salah jika konteksnya bisnis. Namun ketika kemudian jadi sebuah formula dari “tips agar buku laku di pasaran”, maka itu yang kemudian menimbulkan reaksi di atas.

Penulis sekaligus pemusik yang akrab disapa ‘bung’ Fiersa pun tidak luput dari cibiran netizen karena kerap membuat persona seorang ‘pujangga’, lewat deretan kata-kata manis yang kemudian diamini oleh banyak remaja. Sampai akhirnya si ‘bung’ blunder dengan menuliskan ....”kenapa kalo nemenin dari 0, karena kalo nenenin dari 00....”. Cukup mengecewakan untuk orang yang katanya dekat dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer ini. Namun meski bukan rocker yang katanya juga manusia ini, si bung yang seorang folker ini (musisi folk) juga manusia. Bisa salah.

Bagaimana pun jagat maya tidak pernah menjadi tempat yang sunyi, mengingat setiap detik menitnya selalu diisi dengan berbagai macam unggahan, yang tidak jarang menjadi santapan lezat bagi penikmat maupun pengkritik seseorang. Sedikit saja terpeleset maka netizen budiman ini dengan cepat merespon hal tersebut.

Menggaris bawahi kalimat ‘kita adalah juri di jagat maya’. Hal tersebut bisa dibilang menjadi sejalan dengan kutipan yang mengatakan “berilah seseorang topeng, maka dia akan menjadi dirinya yang sebenarnya”. Sosial media adalah topeng bagi siapapun yang memakainya, lewat sederet kalimat sumpah serapah dibalik akun palsunya. Padahal di dunia nyata, mungkin dia kerap berlaku lembut dengan tutur halus di setiap perkataannya. Menjadi gemar menghakimi karena topeng yang dipakainya, dan mungkin itu pula yang menimpa Nadin, Putri Marino, dan si Bung ketika apa yang mereka hadirkan berseberangan dengan sebagian orang yang merasa lebih tahu tentang hal-hal esensial di ranah sosial, atau juga estetika karya yang ideal menurut mereka.

Pembahasan ini akan bertambah panjang kala segala macam pernyataan netizen tersebut kemudian menyoroti pula soal selera. Musik terutama. Beberapa menganggap apa yang menjadi seleranya adalah yang terbaik, dan yang tidak satu frekuensi dinilai terbelakang. Padahal perkara selera tidak bisa diperdebatkan. Pun begitu dengan musik yang kemudian dimasukan dalam kategori-kategori tertentu, seolah si kurator tahu betul akan definisi musik seperti apa, hingga membuat standar perihal selera. Padahal untuk musisi yang berjibaku dengan karyanya atau pun yang masih berjuang membawakan lagu cinta di nikahan, musik itu sesederhana bisa menghidupi dan menghidupkan. Karena kan katanya tanpa musik hidup adalah sebuah kesalahan. Begitu kata Friedrich Nietzsche.

BACA JUGA - Ketika Musisi yang Biasa Diwawancara Kini Balik Mewawancara

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner