Sebuah Drama Lepas Kendali Dari Mahamboro

Sebuah Drama Lepas Kendali Dari Mahamboro

Sumber foto : Orange Cliff Records

Menulis itu bagai kutukan dan saya sedang menjalani masa penghukumannya. Entah sampai kapan. “Verba Volant Scripta Manent,” teriak si filsuf bijak penggila anggur murah dan pecandu anti depressan generic tak beresep dokter itu

Sebenarnya saya menerima pesan surel ini sekitar 7 hari lalu. Entah  kenapa kebetulan baru dibuka dengan ramainya berita reuni pasukan penjaga keimanan dan para ahli surga 212 yang tidak bermakna, pula dihiasi kekonyolan dan hipokrasi tanpa tendeng aling-aling, dihelat meriah kemarin lalu di kawasan patung kuda, Jakarta. Disaat hajat orang banyak menjaga jarak dan kesehatan, mereka malah berkerumun. Realitas semu sebuah potret negeri yang kelak menjadi necropolis. Kita lupa, untuk manusia yang sudah kehilangan banyak hal, menghayati laku hidup sebagai manusia post modernist – yang tak perlu mengedepankan nalar, empati, dan kasih sayang – adalah jalan keluar yang tak rugi-rugi amat dijabani. Mungkin bagi mereka yang berkumpul kemarin, menjadi momen tempat bernostalgia. Tidak tapi bagi saya, dan mungkin anda para pembaca yang terhormat.

Isi surelnya ditulis dengan font  HELVETICA,  jenis huruf resmi dan tersuci di kalangan kultus rahasia – kuil penyucian dosa. Helvetica tidaklah dirancang untuk membuat orang merasa lebih baik, menjanjikan petualangan atau membuat hati gembira yang membacanya. Helvetica dirancang untuk mengatakan padamu bahwa kondisi laba sedang menurun, bahwa mesin-mesin pencetak uang perlu diservis dan butuh peremajaan, dan bahwa (omong-omong) kau dipecat tanpa upah. Relevan atau tidak, keterlambatan saya menengok surel ini dikarenakan sedang dirudung kemalasan yang amat teruk dalam merangkai kata-kata. Suatu kemunduran (lagi-lagi) yang belakangan sering mampir.

Cukup untuk awalannya, kini saatnya membahas sajian utamanya. Jujur saja kuping saya tidak memiliki daya tahan kuat dijejali musik njelimet ambient – experimental electronic dengan unsur dark techno seperti yang dibuat Mahamboro. Pilihan musik nomor kesekian yang akan saya taruh di daftar putar mingguan paling belakang. Bisa akan saya dengarkan, atau tidak sama sekali. “Belum siap” saja rasanya jiwa resah ini merasakan dan mencoba meresapi jenis musik macam itu sampai tamat. Tapi, entah  dorongan magis apa yang membuat saya menuntaskan album karya Mahamboro ini. Hasilnya, sangat provokatif dan menyeramkan.

Di dalam album Infinit.  terdapat 6 buah trek lagu, dimulai dari 001. Whiling To Be Lost (11:09),  dihimpit bunyi juga dentuman yang kering dan sunyi. Tercengang saya dibuat. Lidah tercekat, kelu dalam sekejap. “Apa ini???” gumam saya. 002. Nosy (12:45) Mencekamnya rapalan naratif yang terucap, layaknya jampi dan aji-aji jawi kuno pengusir roh, disambut ritmisnya bebunyian beraura mistis.

Begini jahitan lirik retoriknya//Siapa yang benar//siapa yang salah//Siapa yang salah//siapa yang benar// distorted or mumbling//kami sepakat//dan kami sependapat//bahwa kami benar//siapa yang benar//siapa yang salah//siapa yang salah//siapa yang benar//salah itu pasti//benar itu pasti//salah itu pasti//benar? ditentukan//. Di penggalan ini, saya benar-benar merasa  efek ngeri. Menit-menit berakhirnya trek ini, “si ingin tahu” berusaha mengungkap tabir yang terpendam lama.

Digelayuti nelangsa, horor, dan seputar representasi cerita Jawa dan kisah pewayangan, Mahamboro mendalang sambil mendongeng dengan nada-nada absurd; 003. Prolog (Epilog) — Part .01 — Kisah Jonggrang (03:01) - 003. Prolog (Epilog) — Part .02 — Kisah Bondowoso (03:25) - dua trek yang mewakili bagian ini. Sebuah awal mula, matinya sang pemimpin raksasa di tangan pemuda bertuah yang tamak. Kemolekan yang merasuk sukma dibayangi sakitnya hati. Dua syarat penyebab bencana. 5. 003. Prolog (Epilog) — Part .03 — Perpisahan Jonggrang dan Bondowoso 03:21  sebuah fragmen petaka dan sandiwara terakhir yang berakhir mengenaskan.  6. 003. Prolog (Epilog) — Part .04 — Baka Yang Tak Tahu Apa-Apa 00:59. Raksasa panutan yang mati di awal. Pengikutnya hilang arah, disusul putrinya dikutuk jadi batu oleh pembunuhnya.

Masih larut dalam atmosfir album Infinti. Ini, seakan dirasuki dendam kesumat ruh Bandung Bondowoso,  sepersekian detik kemudian, saya mengumpat sekuat-kuatnya. “Brengsek Kau Jonggrang!” Belakangan cacian dan makian kepada diri sendiri menjadi rutinitas paling utama. Bersebab maupun tidak. Ketimbang dilontarkan kepada orang lain. Lebih sah saja mencela diri sendiri, alat memotivasi busuknya hidup. Meredakan sesaat hawa seram yang menyergap dari Infinit.

Kutipan singkat yang saya curi bulat-bulat dan tempel langsung disini, sebuah catatan dari pemilik 6 trek super seram tersebut, mendedahkan pola pikir tidak umum dari Mahamboro. “Intonasi, suara, dan ekspresi yang berbeda membuat garis yang berbeda. Ketika kita membaca cerita, atau cerita lisan yang tidak diarsipkan, kita hampir tidak pernah bisa menunjukkan bagian mana dari cerita yang dibuat. Apakah itu bahkan cerita yang 'benar'? Apakah ada cerita turunan lain di balik cerita itu sendiri?” tukasnya.

Ia berandai-andai bagaimana jika konsep, di mana jika kita menceritakan, atau membuat cerita yang berbeda, cerita itu akan benar-benar terjadi di kenyataan lain. Sama seperti membuat pilihan kita di antara opsi yang diberikan kepada kita pada satu titik waktu, membawa kita ke serangkaian opsi realitas lainnya. Peluang. Kemungkinan-kemungkinan. Efek samping. Sebuah konsep realitas ganda, di mana setiap keputusan atau pilihan yang kita buat pada suatu titik tertentu dalam realitas mendefinisikan seperangkat realitas ganda lainnya. Waktu. Ruang angkasa. Dimensi. Sebuah alur cerita yang tak terbatas. Sesuai dengan judul albumnya; Infinit.

Apresiasi saya kepada Mahamboro, kalau sampeyan berkesempatan membaca ulasan yang banyak kekurangannya ini, anda sahih saya dapuk sebagai ‘nabi palsu’ junjungan saya berikutnya! Suksesor sah, tanpa mengurangi hormat saya kepada nabi-nabi palsu pendahulunya; dirintis oleh Klaus Dinger; Holger Czukay; Edgar Froese;Harmonia; Brian Eno; Harold Budd; Genesis P-Orridge; Jóhann Gunnar Jóhannsson; Spoonfed Hybrid; Seefeel; Psychic TV; Suicide; PIG; Andy Ayunir; Media Distorsi (Agus Sasongko dan Indra 7) Indra Menus; Electrofux;  Dani Satria ‘The Kiriks’, dan ASAM tentu saja. Puja puji Tuhan Elektronika dan para rasulnya.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner