Sebegitu Sulitkah Menulis Musik Death Metal?

Sebegitu Sulitkah Menulis Musik Death Metal?

Sumber Foto : Dmitry Demidov

Perpaduan spirit untuk menciptakan kebaruan, kebebasan, dan juga kemurnian dalam musik memang tak pernah salah. Namun yang menjadikan semua itu padu adalah kejelian masing-masing individu yang terlibat dalam pembuatan lagu untuk merangkainya menjadi satu

Sebelum panjang lebar menjelaskan tentang salah satu lagu Meshuggah, “Bleed”, coba dengarkan lagu ini dengan seksama. Sudah? Iya, seperti kebanyakan orang–terutama yang menggandrungi band asal Swedia ini–banyak reaksi yang diluapkan. Kagum, bingung, sampai terheran-heran bisa jadi salah satunya. Namun, semua itu diiringi dengan gerakan kepala mengikuti beat dari lagu yang cukup memusingkan.

Tapi, kalau diputar berulang, reaksi lain yang muncul biasanya: Serumit itu, tapi bisa terasa nikmat buat didengerin?

Jangankan kita sebagai pendengar. Tomas Haake yang merupakan drummer dari Meshuggah juga dibikin pusing keblinger buat bisa menguasai lagu tersebut. Thomas yang kini berusia 51 tahun bahkan katanya butuh sampai 6 bulan hanya untuk menghafalkan lagu “Bleed”. 

Secara personal sih, gue jujur berharap gak pernah mainin Bleed di hidup gue. Tapi, gimana lagi. Kita (Meshuggah) harus mainin itu,” setengah bercanda, ucap Thomas di sebuah wawancara dengan Metal Injection.

Tapi apa sememusingkan itu kah? Jawabannya: Bisa iya bisa tidak. Kenapa bisa dianggap tidak? Secara teori, lagu “Bleed” memainkan polyrhythm di mana 2 beat berbeda yang dimainkan dalam 1 bar. Drum memainkan pola 4 ketukan, sedangkan gitar dan bass mereka memainkan 3 ketukan. Namun, keduanya dimainkan dalam ketukan 4/4 yang sama sehingga ujung-ujungnya pola ritmis akan kembali sama. Kalau disimpulkan, teori tersebut terdengar seperti penjelasan yang sangat mudah dipahami.

Tapi, untuk memainkan pola tersebut susahnya setengah mati. Kalau diamati, gitar di lagu Bleed ini memainkan ritmis dengan teknik ‘alternate’. Mungkin tak usah diterangkan, coba tanyakan kepada teman gitaris kalian tentang bagaimana memainkan teknik ini dalam tempo yang cepat. Ditambah, bass drum yang dimainkan mengikuti ritmis dari gitar. Meski cymbal dan snare yang ditabuh tetap mengikuti pola 4 ketukan, perlu lebih dari sekadar keterampilan memainkan drum. Ketepatan, kecepatan, konsistensi, sampai dengan ikhtiar paling maksimal diperlukan untuk memainkan lagu tersebut.

Susah buat gue ngebayangin udah 65 tahun tetep mainin Bleed,” ujar Thomas, dinukil dari Blabbermouth.
Sebetulnya bukan hanya lagu “Bleed”. Bisa dibilang, hampir keseluruhan format lagu Meshuggah menggunakan pola yang sama. Apalagi dalam album ObZen, Koloss, The Violent Sleep of Reason, sampai dengan Immutable yang baru rilis pada 2022 lalu.

Kalau disuruh memilih, ada beberapa lagu lain yang sebetulnya bisa merepresentasikan apa yang tengah dibicarakan dalam tulisan ini. “Stengah”, “Born In Dissonance”, “The Hurt That Finds You First”, serta “Straws Pulled At Random” dirasa penulis punya struktur yang belibet tapi tetap terasa merdu untuk dinikmati. Tapi ya ini sebatas opini, bisa berbeda sesuai preferensi.

Bahkan–entah sebuah pembuktian yang paling hakiki atau bukan–beberapa lagu dari Meshuggah sempat dijadikan sebuah objek penelitian. Salah duanya adalah penelitian “Rhythmic Deviance in the Music of Meshuggahyang ditulis oleh Guy Capuzzo serta “Rethinking Metal Aesthetics: Complexity, Authenticity, and Audience in Meshuggah’s I and Catch Thirtythr33yang digagas oleh Eric T. Smialek. Dari kedua penelitian itu, ada satu hal yang bisa dikemukakan. Selayaknya semua musisi yang selalu menginginkan originalitas, struktur lagu “Bleed” dan lagu lainnya yang dihasilkan oleh Meshuggah yang terlihat memusingkan bisa jadi satu cara untuk menjadi pembeda di antara musik lain.

Bukan menjadi sebuah rahasia memang. Apalagi dalam kategorisasi musik metal, kalau mengutip seorang Robert Walser (musicologist): “Metal’s dominant aesthetic valorize sonic power, freedom, and originality”.

Perpaduan spirit untuk menciptakan kebaruan, kebebasan, dan juga kemurnian dalam musik memang tak pernah salah. Namun yang menjadikan semua itu padu adalah kejelian masing-masing individu yang terlibat dalam pembuatan lagu untuk merangkainya menjadi satu. Tentunya Tomas Haake tak sendirian di Meshuggah. Jens Kidman, Fredrik Thordendal, Mårten Hagström, serta Dick Lövgren pasti punya peran dan memberikan bumbu masing-masing dalam penciptaan setiap lagu. Dan siapa sangka, musik yang mereka buat telah membuat sebuah pergerakan yang mungkin sudah sering dilafalkan yaitu: “Djent”. Setidaknya diakui oleh penulis, musik yang mereka mainkan telah menjadi referensi penulisan lagu bagi beberapa band. Bisa diakui, Meshuggah telah menjadi pionir dalam hal ini tentunya.

Lalu, sampai pada akhir tulisan, intinya apa sih?

Dari penjelasan yang gak karuan di atas, sebetulnya bisa disepakati bahwa kata simpel berasal dari kompleksitas yang disederhanakan. Musik yang dibawakan–atau diciptakan–oleh Meshuggah bisa jadi contoh bagaimana menyajikan hal yang ‘ruwet’ dengan sesederhana mungkin. Mau itu 4/4, polyrhythm, atau apalah itu, sesulit apapun sebuah karya musik diciptakan akan selalu punya satu tujuan. Bisa dinikmati baik oleh setidaknya si pembuat. Syukur-syukur bisa dinikmati oleh pendengar luass

Namun dalam hal ini, musik selalu punya cara untuk menyederhanakan struktur dalam membuat atau memainkannya. Tak peduli seberapa susah ketika dimainkan, mendengarkannya justru memberikan kesan mudah diingat, unik, dan membekas di telinga.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner