Review

Review "Lost" (Reprise Version) - Post Human; Mari (Kembali) Tersesat!

Foto dan artwork didapatkan dari siaran pers.

“Kefanaan adalah momok bagi setiap tubuh hingga tak jarang kita menolaknya dan memilih untuk melupakannya, pergi berlari dan tersesat dalam labirin dunia. Dengan ego yang menjulang langit, kita tutup telinga agar dapat berlari tanpa perlu peduli. Tapi kemanakah kita akan menuju?” – Post Human 

Tahun 2020 itu monoton. Pandemi dan keberulangan lelaku yang maha brengsek. Memporak-porandakan segala mimpi dan janji.

Tulisan ini teronggok cukup lama, sekitar dua bulan setengah. Dihadapkan dengan persoalan semua orang mungkin alami. Dirumahkan, wajib di rumah, di rumah saja, di rumah tidak berdaya tak melakukan apa-apa. Karena sakit semisal, ya di rumah dan konsisten menjaga kewarasan. Bagi saya sebagai pewarta musik dan penulis konten amatiran pada umumnya, tidak boleh ada gigs – tidak ada hal mengasyikkan untuk diliput jadi tidak ada pundi-pundi pula sebagai tambahan penghangat dompet. Belum lagi, soal dipecat saat pandemi melanda (sial kau Bapak CEO!!! Semoga tidurmu nyenyak). Alasannya karena giat ekonomi dalam keadaan buruk memaksa perusahaan memangkas pegawai dan terpaksa banting setir menjual apa yang bisa dijual, mengerjakan hal lain yang bisa dikerjakan. Apa pun, apa saja demi mengamini hidup, menghidupi hidup, sehidup-hidupnya. Saya yakin, tahun 2020 adalah masa bersabar dan berjuangnya setiap orang di zaman yang serba aneh ini.

Mari kita mulai pertemuan inderawi saya kali pertama dengan single “Lost” dari Post Human yang datang pada tahun 2018 lalu. Saat itu, saya dipercayakan oleh editor untuk meresensinya. Seketika itu pula, saya cukup mengikuti perjalanan Post Human. Tidak selalu, tapi menyimak dari kejauhan. Sebuah band progresif metal asal Bandung.

Jika diperkenankan saya berterima kasih, kepada single “Lost”-lah saya ingin mengucapkannya. Tidak hanya atas apa yang dialami oleh para personilnya, saya sebagai orang luar merasa terwakili oleh single “Lost” ini. Dalam bentuk terbarunya pun, “Lost” menyita saya seutuhnya. Memikat. Turut merasai dan bertumpu. Hal ini tidak akan terwujud bila permainan tuts piano Rizqi Iskanadar, vokalis dari Post Human yang tidak menggali lebih jauh dan dalam potensi dramatic yang dimiliki lagu ini. Berkat kepekaannya, ia menerapkan pendekatan ambience ruang untuk dapat menangkap dengan lebih baik momen yang coba dihadirkan dalam lagu tersebut. Meraba-raba garis-garis tipis untuk lalu ditonjolkan.

"Lost" terus mengawal perjalanan yang terjadi dalam tubuh Post Human dalam versi reprise-nya. Sampling suara elektro diagram hingga ventilator disisipkan guna membangun kesan atmosferik. Selain itu, music programming turut dilibatkan untuk terus membuka ‘pintu’ demi ‘pintu’ menuju labirin musikal lainnya.

Pendengar dihadapkan pada sebuah bangunan ambience yang kokoh yang dibuat oleh Post Human, berdaya magnet sehingga akan menarik pendengar untuk hadir dalam ruang yang telah “dikristalkan”, secara sukarela tentunya. Sebuah ruang di mana waktu akan segera berakhir, sementara hasrat begitu menggebu untuk tetap bertahan dan bernafas tersengal seakan-akan seperti lomba untuk memenuhi nadi dan saluran darah.

Setengah manusia, setengah program. Manusia yang terprogram. Karya-karya Post Human terlahir dari hasil perenungan mendalam pada perubahan, kekurangan serta kesempurnaan seutuhnya hakikat manusia di dalam labirin duniawi. Meski terkadang tidak sepenuhnya utuh. Kadang bercela, kadang berdaya.

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner