Rajasinga: “Konsep yang Kami Angkat itu Berawal Dari Hal yang Tabu”

Rajasinga: “Konsep yang Kami Angkat itu Berawal Dari Hal yang Tabu”

Band grindcore asal Bandung Rajasinga kembali merilis karya terbarunya yang berjudul III dan mereka bercerita soal bagaimana mereka mengangkat hal yang dianggap tabu menjadi satu karya musik yang berarti

Berbagai aspek kehidupan, yang secara sadar atau tidak, dalam keseharian manusia di bumi ini, banyak dimanfaatkan sebagai landasan perancangan suatu karya seni. Seperti salah satunya, karya musik yang kini kian “liar” disajikan kepada para penikmat musik. Jika diulas lebih dalam lagi, aspek kehidupan yang dekat dengan kesehariannya itu seiring dengan perkembangan zaman menciptakan sebuah fenomena-fenomena yang mungkin buat sebagian orang dianggap tabu. Menciptakan ambigu yang secara tidak disadari dan terlihat sebuah hal yang cenderung remeh namun memiliki nilai penting untuk dijadikan sebuah pembahasan, seperti yang kerap digunakan oleh Rajasinga pada album terbarunya III. Pada album terakhir kali ini mereka masih fasih menyuarakan persoalan keseharian yang meski terlihat pelik seperti isu sosial, politik, hingga spiritualitas. Meski masih tidak melupakan elemen senang-senang didalamnya.

Rajasinga merupakan salah satu unit grindcore yang lahir dan liar di kota Bandung, dan nyatanya semakin menggerinda kuping para pendengarnya dengan alunan yang penuh distorsi pada tahun 2016. Band yang telah berdiri dan bergerilya dikancah musik nasional ini, hanya menggunakan 3 tombak instrumen untuk membunuh gendang telinga para pendengarnya berupa bass, gitar, dan drum yang dibarengi oleh teriakan suara sakit jiwa serta hentakan beat layaknya rentetan senjata laras panjang yang penuh dengan murka, oleh 3 pendawa bernamakan Morrg (voc/bass), Bimanjing (gitar), Revan (drum). Kini Rajasinga semakin berasap setelah merilis album terbarunya berjudul III  setelah mengeluarkan dua album sebelumnya Pandora (2007) dan Rajagnaruk (2011), yang juga merupakan tanggung jawab besar bagi Rajasinga untuk mempertahankan cerutunya agar tetap menyala dan semakin berasap di Negrijuana.

Unsur musik apa saja yang hadir dalam album ke-3 Rajasinga?
Mungkin sekarang kami lebih main-main di riff lah, jadi banyak riff yang sederhana tapi catchy, simpel terus aransemen. Bedanya yang paling signifikan di bagian aransemen sih, jadi kami udah mulai banyak-banyak pakai time signature gitu dengan riff-riff yang jauh lebih sederhana dibandingkan sebelum-sebelumnya. Dan sebenarnya itu riff gitarnya lebih padat dan intens aja sih, terus influencenya juga lebih banyak masukin dari berbagai genre, basic-nya tetap grind dan musik rock sih cuma ada sedikit thrash, black metal, punk, psychedelic, ya beberapa bagian dari musik itu lah kami ambil yang kami butuhin aja terus digabungin jadi satu materi, dan hasil yang keluar bisa dibilang karakter Rajasinga sendiri. Sebenarnya lebih melanjutkan jalan aja sih, dari Pandora, Rajagnaruk, sama III itu sih.

Jeda setelah merilis album ke-2 hingga album III yang dirilis tahun 2016, hal apa saja yang kalian lakukan dalam proses pencarian ide atau konsep untuk album terbaru kalian?
Hmmm, ya tiap album itu kan punya timeline-nya sendiri-sendiri, nah jadi kalau misalkan kayak Rajagnaruk dari Pandora itu timeline untuk Pandora sendiri ditulis dari 2003 sampai 2006 dan setelah Pandora selesai, proses untuk rating album berikutnya yaitu Rajagnaruk mulai dari nulis lirik, matengin konsep dan lain sebagainya hingga beres, dan sama halnya dengan teknis yang kami lakuin waktu nulis di album ke-3 ini. Jadi kalau bisa dibilang album ke-3 ini seperti dokumentasi dari ”apa yang terjadi dengan kami 5 tahun terakhir inilah. Jadi karakter Rajasinga di album ke-3 ini itu ya sesuai dengan lima tahun terakhir ini, kami terus coba hal baru kaya experiment ini dan itu nah terus didokumenatasikanlah dalam bentuk karya di 2016 ini, nah setelah ini album ke 3 rilis ini kami juga udah mulai masuk untuk menggarap album setelah ini, jadi jangan pernah harapkan kami akan bikin album yang sama karena tiap album itu meng-capture apa yang terjadi pada saat itu kaya pertanda zaman gitu.

Eksplorasi dalam bentuk apa saja sih, yang sudah kalian lakukan sejak 5 tahun terakhir ?
Ya basic nya sama aja sih sebenarnya, jadi kaya drum, gitar, bass udah. Kan elemen musiknya cuma 3 itu aja, terus experimentasinya ya di komposisi, aransemen, scale nada, terus di ketukan-ketukan, teknik permainan, jadi di ketukan ada seperempat, atau di gitar juga ada teknik-teknik permainannya. Jadi basic nya masih sama, Rajasinga itu musiknya pasti ya berputar dari 3 instrumen itu aja drum, bass, gitar ya mungkin ada sedikit penambahan disitu gitu ya, cuma di album ke-3 ini ngga ada sih pure alat musik itu aja. Cuma yang berbeda dengan album sebelumnya ya itu tadi cara memainkannya dan tekniknya udah beda, terus sound yang kami keluarkan juga udah beda. Kalo untuk ide juga, sebenarnya itu sejalan aja sih, cuma kalau lagu kami ketemunya ya pas di studio aja.

Terkait dengan single ke-2 dalam album III, yaitu “Masalah Kami Di Negeri Ini” bisa diceritain terkait hal tersebut ?
Lagu itu sebenarnya, jadi itu berdasarkan pengamatan pribadi aja saya (Revan) sebagai penulis liriknya. Ya saya mengamati disekeliling itu apa yang terjadi gitu, terus yang saya rasakan secara pribadi itu seperti apa dan itu yang coba saya kutip. Dari pengalaman-pengalaman itu dikutip terus disederhanakan dan dijadikan lirik. Jadi gini, kacamata saya personal, bahasa saya itu personal cuman apa yang saya tulis pada lirik itu sebenarnya, itu masalah kami semua dan saya yakin semua orang pasti beririsanlah dengan lirik itu di atas bumi ini. Baca saja liriknya dari awal sampai akhir minimal pasti adalah yang beririsan dengan pesan atau dengan kata-kata yang ada di dalam lirik itu. Maksudnya kayak, saya cuma pengen ini aja sih, pengen bikin suara maksudnya kayak suara rakyat aja gitu, saya yakin semua pengalaman pribadi saya ini pasti juga dirasain sama orang lain, terutama orang-orang yang tinggal di Indonesia gitu dan itu yang saya tuliskan itu sebenarnya. Jadi ya itu dia memakai kacamata pribadi tapi maksud dan tujuannya global dan universal.

Apakah ada strategi khusus dalam memilih Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus untuk merilis single ke-2 di album III ?
Nggak ada sih, itu sebenarnya kami udah kejar-kejaran sama deadline, soalnya tanggal 31 Agustus harus sudah rilis album. Terus dua minggu sebelumnya kami harus udah rilis single untuk pemanasan sebelum launching album di akhir bulan. Yah udah karena kami bingung nentuin tanggal berapa sebelum hari H, kami pilih tanggal 17 Agustus aja buat rilis single ke-2 nya. Nggak ada alasan spesifik kenapa pilih tanggal itu tapi ya anggap aja itu kado dari kami untuk Indonesia.

Jika dibandingkan dengan album kalian sebelumnya, khususnya dari materi lagu yang kalian tulis sangat erat dengan hal-hal tabu di ruang lingkup kehidupan sekitar, pada album terbaru kalian ini apakah tetap menggunakan konsep seperti itu?
Sebenarnya yang kami bahas itu memang hal-hal yang dibilang “tabu”. Kebanyakan konsep-konsep yang kami angkat itu berawal dari hal yang tabu, tapi ya gitu masalah yang kami angkat itu terdengar seperti political statement, terdengar seperti orang marah-marah itu cuma cara bertutur katanya aja gitu. Tapi semua materi yang kami angkat itu masalah ketabuan sih, yang kami ungkap itu tentang tabu lah. Ambigu terus sarkasme ya seperti itulah. Jadi sebenarnya, kalau menurut saya sih dari awal si Rajasinga terutama soal liriknya ya, dari Pandora, Rajagnaruk, sama album III itu sebenarnya nggak terlalu banyak berubah sih dan malah kami berkembang. Tapi basic-nya tetap itu sih tabu, sarkas, tapi kadang-kadang ada yang kami tulis dalam bentuk sarkas, ada yang kami tulis dalam bentuk yang puitis gitu, dan ada yang rima. Cuma gayanya aja yang berubah-rubah tapi intinya yang kami bahas semua tentang ketabuan sih. 

Tema-tema lirik tampaknya masih menyoroti persoalan-persoalan sosial yang ada di Indonesia seperti lagu “Pembantai”, “Masalah Kami Di Negeri Ini?”, “Hey”, dan bahkan di medley lagu ada sebuah parody (atau kritik) satir terhadap simbol negara Indonesia yah?

Mengangkat tema dan isu sosial sebenarnya hal yang baru kami lakukan. Jujur saja, sebelumnya hal-hal seperti itu tidak pernah menarik buat kami bahas. Mungkin saat ini kami jauh lebih sadar saja, ada banyak perkara sosial dan lingkungan yang kami temukan janggal dan berhasil menyita perhatian, kemudian menjadi inspirasi dalam menulis lagu. Pada dasarnya, semua tema lirik album III ini berangkat dari pengalaman dan pengamatan sehari-hari.

Pada beberapa lagu ini juga ada kaitannya dengan gerakan legalisasi ganja “1/2 5-10” dan “Ada?”

Tidak sama sekali. Gerakan legalisasi itu adalah gerakan politik, dan kami tidak pernah tertarik dengan gerak gerik politik apapun jenisnya. Bukan pula ranah yang dikuasai. Kami tidak menganjurkan apalagi melarang siapapun untuk semua keputusan yang mereka ambil. Segala urusan pribadi, diluar urusan kami hahaha... "1/2 5 - 10" adalah lagu yang bercerita tentang bagaimana kita harus mampu menjinakkan ego dan hawa nafsu. Memberikan waktu kepada jiwa dan raga untuk beristirahat sejenak untuk bertenang. "Ada?" adalah lagu tentang persahabatan. Ada, punya, dan bersedia untuk teman. Saling berbagi kebahagiaan, saling merangkul, dan saling peduli dengan keadaan dan keberadaan sesama.   

Memilih 3 tombak untuk visual di sampul album terbaru Rajasinga, apakah ada cerita dibalik itu ?
 
Itu cuma semacam estetika aja sih untuk di album kami ini, ya kami ngayalnya tombak sebagai simbolisasi kami untuk menyerang di album ini gitu, Cuma itu aja sih ngga ada hal khusus lainnya.

Lalu untuk visual lainnya seperti estetika yang ada di dalam sleeve albumnya, lebih mengarah mungkin dengan warna-warna pop art dan apakah itu bagian dari konsep Rajasinga di album III ini?
Justru untuk Rajasinga itu lahir dari berbagai macam influence yang mempengaruhi untuk kami bertiga ya, tapi kami ngga mau terjebak didalam pakem itu aja kami terus bergerak dan bereksplor lagi kalau misalkan diliat dari aliran ilustrasi semacam pop art ya itu. Cuma pelabelan doang, tetap Rajasinga itu ngga ada tolak ukur untuk menjadi ini dan itu. Ya intinya kami ngga membatasi diri dalam bereksplorasi dalam ilustrasi atau bermusik gitu.

Kekuatan artwork/ilustrasi di cover album ini sangat menarik. Gambar tentang sebuah negeri tandus dengan tiga ksatria berkuda. Bisa diceritakan relasi antara musik dan visual dalam album ini? Menurut kalian, seberapa besar pengaruh suatu ilustrasi terhadap musik/album itu sendiri?

Ilustrasi di album III ini digambar oleh Morrg, setelah berbincang panjang lebar menyusun konsep bersama Revan dan seorang teman, pelukis handal Riandy Karuniawan. Pada dasarnya ilustrasi itu menggambarkan perjalanan Rajasinga sebagai band, setelah lebih kurang 12 tahun eksistensi dan pengalaman bermusik, dalam karya dan ketika dibawakan secara live. Cerita yang diwakilkan oleh mitos fantasi tiga orang pendeta (Trimurtad) yang dalam perjalan menuju Negrijuana, dengan misi mencari dan menguak kebenaran. Mungkin bagi sebagian band, hal ini tidaklah penting. Karena yang penting dari band adalah karya musiknya, bukan yang lain. Ya, kami setuju sekali dengan hal itu.. Cuma kebetulan saja, kami bertiga memang suka berkhayal dan menggambar, jadi ya sekalianlah dikaryakan.. kagok edan.. heheheheh..

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner