Perkara Patah Hati, Kita Semua Berguru Pada 'Lord' Didi

Perkara Patah Hati, Kita Semua Berguru Pada 'Lord' Didi

Foto didapatkan dari akun instagram @didikempot_official (karya dari @kobarnendrodewo)

Baik itu seorang kuli panggul hingga CEO sebuah perusahaan, semuanya akan sama-sama ambyar ketika patah hati. Didi tahu itu, dan karenanya dia mengajak orang yang terluka hatinya untuk bergoyang dengan lagu-lagunya.

Satu lagi musisi besar tanah air harus berpulang. Setelah Glenn Fredly lebih dulu pamit, kemudian pada hari Selasa, 5 Mei 2020 disusul berita meninggalnya musisi senior Didi Kempot. Bernama asli Dionisius Prasetyo, Didi Kempot merupakan musisi asal Surakarta, Jawa Tengah, yang lahir pada tanggal 31 Desember 1966. Ia adalah maestro campursari yang merebut hati jutaan penggemar di Indonesia.

Lahir dengan bakat seni yang begitu kentara, Didi merupakan putra dari seniman Ranto Edi Gudel dan adik kandung dari Mamiek Prakoso (dikenal sebagai salah satu anggota grup lawak Srimulat). Didi memulai karirnya sebagai musisi jalanan di kota Surakarta sejak tahun 1984 hingga 1986, kemudian pindah ke Jakarta pada tahun 1987. Trivia menarik tentang nama Kempot sendiri konon merupakan singkatan dari Kelompok Pengamen Trotoar, grup musik yang membawa ia hijrah ke Jakarta.

Didi dikenal berkat lagu-lagunya yang menurut sebagian orang sanggup menyayat hati, karena berisikan lirik yang mengetengahkan kisah patah hati di dalamnya. Tak heran jika kemudian dia dijuluki The Godfather Of Broken Heart. Bahkan disatu titik dia menyandang gelar ‘Lord’ oleh para penggemarnya yang dikenal dengan sebutan sobat ambyar, atau ada juga Sad Bois Club, yang terdiri dari ribuan orang penikmat karya Didi yang tersebar di banyak kota di tanah air.

Didi begitu digemari karena lagunya terasa dekat, dan mungkin sejalan dengan apa yang pernah dilontarkan Pidi Baiq tentang Bandung yang baginya sudah bukan perkara geografis, tapi juga melibatkan perasaan di dalamnya. Lagu-lagu Didi pun mengamini itu, di mana setiap tempat yang dia jadikan latar kisah cinta ambyarnya bisa jadi monumen perasaan tersendiri, dari mulai Stasiun Balapan dan Terminal Tirtonadi di Solo, Pelabuhan Tanjung Mas dan Terminal Terboyo di Semarang, Terminal Kertonegoro di Ngawi, hingga Bandara Kualanamu di Deli Serdang. Dalam lagunya, Didi bisa patah hati dimana saja, dan oleh karenanya pendengar dia yang di Solo jadi merasa jika Didi sedang berkisah tentang cerita cintanya, pun begitu dengan pendengarnya di Semarang, Ngawi, dan seterusnya. Sederhananya, Didi terasa begitu dekat dengan para pendengarnya yang tersebar di banyak kota di tanah air.

Hal lainnya yang kemudian menjadi fenomena tersendiri adalah ketika Didi muncul ke permukaan dan kemudian menjadi primadona bagi anak muda urban kekinian, yang bahkan asing dengan lagu-lagu campursari, apalagi dibalut bahasa daerah seperti bahasa Jawa. Namun Didi kemudian mempersatukan perbedaan tersebut dan kemudian mengajak mereka  untuk ‘menjogeti kesedihan’‘’Patah hati rasah ditangisi, nek perlu justru dijogeti”, ujarnya di banyak panggung yang melibatkan dirinya sebagai penampil.

Patah hati kemudian jadi satu hal yang tidak lagi ditutupi oleh para penggemar Didi, di mana pemandangan orang menangis sambil menyanyikan lagu sang maestro ini bukan lagi pemandangan yang langka. Mungkin sedikit berbeda dengan para penikmat karya Glenn yang menangis sendirian di dalam kamar kala menyanyikan lagu ‘’Januari’’. Di panggungnya, Didi mengajak para sobat ambyar merayakan kesedihan dan bersenang-senang di waktu yang bersamaan. Terasa surealis melihat pemandangan orang menangis sambil badan bergoyang kesana kemari mengikuti irama musik campursari dari Lord Didi ini.

Tidak berlebihan rasanya jika julukan legenda disematkan pada Didi Kempot, karena selayaknya legenda, dia sanggup ‘bicara’ dengan karyanya. Cerita tentang pemandangan para penggemar yang menangis dan berjoget di waktu bersamaan tersebut, mungkin akan dibingkai sebagai catatan sejarah, jika pernah suatu masa, seorang penyanyi asal Surakarta yang bernyanyi dengan bahasa Jawa, musik yang kurang ‘ngepop’, serta jauh dari citra idola remaja ala pop idol Korea, namun mampu menaklukan ibu kota seperti Jakarta, yang katanya keras dan ‘sombong’ itu.

Bicara tentang Didi dan patah hati adalah tentang sesuatu yang mendobrak batasan, karena perkara patah hati, baik itu seorang kuli panggul, tukang es cendol, mahasiswa, CEO sebuah perusahaan, tua, muda jika sudah berhadapan dengan itu semuanya akan sama-sama ambyar dengan hati yang luluh lantah berantakan. Didi tahu itu, dan karenanya dia mengajak orang-orang yang terluka hatinya tersebut untuk bergoyang dengan irama campursari dalam lagu-lagunya.

Di umurnya yang ke 53 tahun Lord Didi Kempot menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Kasih Ibu Surakarta. Mendengar itu seorang teman berkata kepada saya ‘’at least his heart doesn't broke again’’, dan The Godfather Of Broken Heart itu kini sedang dipeluk dengan nyaman oleh sang maha pengasih. Tugasnya untuk mengajak orang ‘men-jogeti’ kesedihan telah selesai, namun warisan lagunya masih akan diputar oleh orang-orang yang merasa perlu merayakan kesedihan dengan goyangan. Selamat jalan sang maestro.

BACA JUGA - Membaca Arah Tren Millenials Lewat Didi Kempot, Koplo, dan Andika

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner