Para Musisi yang Identik Dengan Batik

Para Musisi yang Identik Dengan Batik

Setiap tanggal 2 Oktober diperingati sebagai Hari Batik Nasional. Satu hal yang kemudian diaplikasikan juga oleh para musisi berikut ini lewat caranya masing-masing, dalam penampilannya di atas panggung.

Saat tampil di panggung Wacken Metal Battle Indonesia beberapa waktu lalu, grup cadas asal kota Solo, Down For Life tampil memakai kostum batik, dengan aksen ‘lusuh’ yang membuatnya tampak berbeda, dan dinilai bisa merepresentasikan ‘metal ala Indonesia’.  Menariknya, tidak hanya sekedar batik biasa yang mereka pakai waktu itu, tapi merupakan batik motif parang, yang jika dilihat secara filosofisnya menggambarkan simbol perlawanan atau perang.

Tampil garang dengan motif batik ‘lusuh’ nya tersebut, kemudian Down For Life juga menguatkannya dengan sebuah intro gamelan Jawa dan suluk wayang, yang dipadupadankan sesuai dengan karakter musik Down For Life, dan jadilah intro berjudul “Gunungan”, hasil olahan musik dari Ari Wvlv, seorang komposer dari Sound Boutique Jogja. Segala persiapan dan penampilan yang matang tersebut, akhirnya bisa membawa Down For Life ke tanah Bavarian, Jerman, dan menjajal panggung Wacken disana, bersama dengan band metal dari 20 lebih negara di Dunia.

Cerita tentang batik versi Down For Life di atas, seakan mengingatkan pada kolektif hip hop Jogja Hip Hop Fondation, yang juga menggunakan baju batik sebagai identitas penampilannya. Hal ini jadi sesuatu yang menarik juga, mengingat kebanyakan musisi hip hop identik dengan pakaian ‘mahal’, lengkap dengan bling-bling yang seakan menjadi aksesoris wajib mereka saat tampil. Batik bagi Jogja Hip Hop Fondation bukan hanya sekedar tampilan semata, tapi mereka menguatkan juga dengan lirik-lirik berbahasa jawa dibalut dengan aksen musik gamelan pada aransemen musiknya.  

Dari Jogja beralih ke Jakarta, dimana ada gitaris dari band punk, Netral, Coki Bollemeyer, yang juga menggunakan batik saat dia tampil dengan projek musikalnya bernama Sunyotok. Coki membuat citra baru dirinya dengan baju batik yang dia kenakan, dan seakan membuang citra dirinya saat tampil bersama Netral, yang biasa tampil hanya menggunakan kaus dan cargo pants.

Dengan memilih nama Sunyotok sebagai projek musikalnya, baju batik yang dia kenakan seakan menjadi satu keutuhan karakter yang dia buat, lengkap dengan peci yang melekat di kepalanya. Peci disini juga cukup menggambarkan karakter yang ‘Indonesia banget’ selain batik itu sendiri, mengingat peci juga merupakan aksesoris khas orang Indonesia, sejak era Indonesa pra merdeka sampai sekarang.

Selain nama-nama musisi di atas, tentu yang kadung identik dengan baju batik ini adalah Iga Masardi, seorang gitaris sekaligus mastermind dari grup musik Barasuara. Setidaknya sejak Barasuara mulai muncul ke permukaan, Iga secara konsisten tampil dengan baju batik dalam setiap penampilannya. Menariknya, tidak hanya Iga yang tampil dengan karakter kuat dalam bandnya, personil lain pun tampil secara konsisten dengan kostum panggung mereka, seperi halnya Marco (drumer) yang selalu tampil dengan sweater hoodie, dan Gerald (bass) yang kerap tampil dengan sweatshirt bertuliskan ‘Lincah’ nya tersebut.

Mungkin bisa dibilang Barasuara adalah sebuah band yang komikal, dimana mereka secara detail merumuskan konsep visual mereka di atas panggung dengan kostumnya. Karakter itu dirasa menguatkan isian musik dan lirik yang mereka buat jadi satu keutuhan konsep yang matang dari band ini. Entah apakah di album terbarunya mereka akan tetap konsisten dengan kostumnya tersebut, atau akan ada konsep baru yang mereka buat.

BACA JUGA - Mengulik Citra yang Konsisten Dari White Shoes And The Couples Company

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner