Para Musisi Ini Terjebak Dengan Konsep yang Mereka Buat?

Para Musisi Ini Terjebak Dengan Konsep yang Mereka Buat?

Konsep yang secara image dan karakter kuat ini kemudian mendatangkan pertanyaan, tentang apakah para musisi akan terjebak dengan konsep yang mereka buat? Atau mereka akan terus bereksplorasi dengan konsep baru?

Slipknot, band asal Iowa, Amerika Serikat yang terkenal berkat lagu-lagu serta penciptaan branding image nya pernah terlibat dalam sebuah wawancara yang membahas tentang topeng yang mereka kenakan (sumber : Majalah Hai edisi Hai klip Slipknot-red). Sang vokalis, Corey Taylor mengatakan jika penggunaan topeng di band ini justru sebagai bentuk pernyataan jika Slipknot merupakan band yang anti image, dan oleh karena itu mereka enggan membeberkan ‘jati diri’ mereka yang sebenarnya, lalu ‘bersembunyi’ dibalik topengnya tersebut.

Sampai akhirnya kita tahu pernyataan Corey tersebut tidak sepenuhnya benar, karena yang terjadi, seiring dengan popularitas band ini, tuntutan industri menghendaki mereka untuk terus menyajikan topeng baru di setiap rilisan yang mereka keluarkan. Mereka jadi seperti keteteran dengan image yang mereka ciptakan sendiri. Tidak sedikit orang yang akhirnya jadi salah fokus pada penciptaan image Slipknot itu sendiri, dibanding musik mereka. Ditambah beberapa dinamika yang terjadi di band ini, Slipknot seolah tidak menawarkan sesuatu yang baru, dan seperti terjebak dengan image yang mereka buat. Selalu berujung pertanyaan, apa nih yang baru dari Slipknot? Sayangnya, kata ‘baru’ disini bukan merujuk pada musiknya, tapi hal lain diluar itu, seperti salah satunya topeng.

Hal tersebut rupanya terjadi juga di Indonesia, kala Risa Saraswati memutuskan bersolo karir usai ‘menyudahi’ perjalanan bermusiknya dengan Homogenic. Risa yang juga aktif menulis cerita horor kemudian menuangkan itu dalam lagu-lagunya. Hal tersebut kemudian akhirnya jadi satu konsep yang dia bangun di karir solonya. Album Story Of Peter yang dia rilis pada tahun 2011 lalu kemudian diapresiasi positif oleh banyak orang. Risa menawarkan sesuatu yang baru kala menggabungkan horor dengan musik popular. Namun, sayangnya banyak orang yang menjadi salah fokus dengan konsep horor Risa, bukan pada musik yang Risa buat dengan teman-teman musisi yang terlibat di dalamnya.

Bertahun kemudian banyak penggemar menunggu kisah horor apalagi yang akan diangkat oleh Risa, tanpa menoleh pada eksplorasi bermusiknya. Mungkin tidak semuanya, tapi mayoritas banyak yang terjebak dengan kisah horornya. Sama seperti Slipknot di atas, Risa seperti keteteran dengan konsep horor yang dia bawa, meski secara penciptaan image hal tersebut jadi sesuatu yang menjual. Ini terbukti karena Risa kemudian merambah ke layar lebar dengan konsep horornya tersebut. Film-film nya box office seperti halnya buku-buku yang dia rilis.

Dari Risa Saraswati beralih pada kumpulan anak muda asal Jatinangor dengan bandnya yang bernama The Panturas. Memproklamirkan diri sebagai band rock selancar kontemporer, The Panturas kemudian menjadi anomali tersendiri karena tidak ada satupun personil band ini yang bersentuhan dengan iklim pesisir dan budaya berselancar, tidak seperti salah satu pelopornya, Dick Dale, yang mengawali surf rock karena latar belakangnya sebagai seorang peselancar dari daerah pesisir di California.

Menyikapi itu The Panturas kemudian menguatkannya dengan penciptaan branding yang berhubungan dengan laut, menguatkan esensi dari nama ‘Pantura’ itu sendiri. Sang penabuh drum Surya Fikri alias Kuya menuturkan jika The Panturas sebenarnya tidak mempunyai strategi khusus tentang penciptaan personanya di sosial media. Menurutnya karena mereka membawakan surf rock yang identik dengan pantai, hal tersebut kemudian secara natural menemukan turunan yang sejalan, dari mulai caption sampai visual yang mereka unggah di sosial media, khususnya instagram. Bahkan, sampai saat ini Kuya masih konsisten memakai sailor hat.

Satu hal yang kemudian ditambahkan oleh sang bassis Bagus Patrias alias Gogon yang menuturkan jika bandnya tersebut memang ada vibe laut nya, hingga akhirnya mereka berpikir sekalian saja bergaya yang berhubungan dengan laut, dari mulai lagu (album The Panturas berjudul Mabuk Laut-red), visual, sampai hal tersebut juga menjalar ke penikmat karya mereka yang berjuluk ABK alias Anak Buah Kapal.

Konsep yang secara image dan karakter kuat ini kemudian mendatangkan pertanyaan, tentang apakah The Panturas akan terjebak dengan konsep yang mereka buat? Mengingat tidak selamanya mereka mengetengahkan perihal laut sebagai ‘peluru’ nya. Lalu, apakah eksplorasi musik mereka akan jadi ‘menu utama’ dalam pola kreasi band ini? Hal tersebut mungkin terlalu dini jika dijawab sekarang, dan satu-satunya yang bisa dilakukan adalah mempersilakan mereka berkreasi sejauh yang mereka mau. Apakah masih konsisten dengan tema lautnya? Atau apakah mereka akan berselancar di angkasa?

BACA JUGA - Berhenti di 15 : Tentang Romantisme yang Tertahan di Era Remaja

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner