Nonton Konser: Kebutuhan atau Takut ‘Ketinggalan’?

Nonton Konser: Kebutuhan atau Takut ‘Ketinggalan’?

Seperti perut yang perlu asupan makanan untuk merasa kenyang, mata yang perlu tidur untuk perlu istirahat, telinga juga serupa. Namun, rasanya lebih kompleks kalau soal urusan musik. Ada ketertarikan dan keterikatan tersendiri yang membuat mendatangi sebuah konser menjadi kebutuhan tersendiri

Selayaknya keran air yang baru terbuka dan melimpahkan berjuta kubik liter air, melimpahnya konser musik akhir-akhir ini seperti gak ada habisnya. Mereka berdatangan begitu bergerilya, seakan tak dikasih jeda untuk berhenti. Kalau menghitung medio satu tahun terakhir, begitu banyak konser yang diselenggarakan di Indonesia. Baik menampilkan musisi domestik atau yang mendatangkan superstar internasional sekali pun.

Dampak yang paling terasa cuma satu: Membangkitkan birahi para penikmat musik buat berdatangan untuk menonton musisi kesayangan mereka. Wajar aja sih. Toh juga ketika pandemi, industri musik terkena dampak yang paling masif. Bukan cuma para musisi yang kehilangan arena untuk melantunkan karya, para penikmat musik seakan kehilangan rohnya.

Pandemi memang menyebalkan. Bayangin, 2 tahun cuma bisa dengerin musik yang keluar dari gawai. Telinga mereka–juga penulis–juga seakan merindukan lontaran suara dari pengeras suara berkapasitas 10.000 watt. Ada sensasi tersendiri yang tentunya dirindukan, terlebih bisa mendengarkan secara langsung para musisi kesukaan.  

Ketika konser, festival, ataupun pementasan musik berduyun-duyun ingin menyuguhkan para penampil disambut dengan permintaan. Relasi supply-demand terjadi sampai pada titik di mana permintaan melebihi penawaran yang ada. Sangat wajar kalau pada akhirnya harga tiket yang dipasang bisa bikin garuk-garuk kepala, meski pada akhirnya tetap dibeli sih. Tapi, selayaknya segala hal yang yang punya dua sisi, fenomena ini pun jua. Ada yang melazimkan hal tersebut. Memang benar adanya, kalau menyamakan ‘konser’ sebagai sebuah kebutuhan yang mendasar bagi penikmat musik. Tapi banyak juga yang berceloteh: Kebanyakan orang hanya takut ketinggalan.

Kenapa Konser Jadi Kebutuhan? 

Seperti perut yang perlu asupan makanan untuk merasa kenyang, mata yang perlu tidur untuk perlu istirahat, telinga juga serupa. Namun, rasanya lebih kompleks kalau soal urusan musik. Ada ketertarikan dan keterikatan tersendiri yang membuat mendatangi sebuah konser menjadi kebutuhan tersendiri.

Kalau merujuk dari penelitian Steven Caldwell Brown dan Don Knox, ternyata ada faktor yang membuat seseorang akan merasa butuh mendatangi sebuah konser. Orang sangat ingin menjadi bagian dalam suatu pertunjukan musik dan merasakan pengalaman yang berbeda dari sekadar mendengarkan sendirian. Bisa dibilang, pengalaman yang ‘unik’ dan ‘spesial’.

Ini sangat beralasan dan sangat sulit didebat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa konser musik menawarkan berbagai banyak komponen. Penampilan musik, pertunjukan visual, aksi panggung, suasana penonton, dan perasaan berada di tengah-tengah ratusan atau ribuan orang yang menyukai hal yang sama. Apalagi bagi seseorang yang memang menggandrungi, memuja, atau punya perasaan lebih dari sekadar ‘pendengar’. Bisa mendengarkan musisi idola secara langsung memberikan sensasi tersendiri. Apalagi tak semua band atau penyanyi bisa memberikan pertunjukan secara langsung. 

Once in a lifetime.

Pada kata itulah para penggemar atau fans bergantung. Bahkan seringkali kata itulah mengenyempangkin segala variabel; Jarak, ketersediaan, serta kemampuan untuk mengakomodir tiket. Semua dilakukan tentunya untuk memenuhi kebutuhan yang tak berbentuk. 

Atau, Cuma Takut Ketinggalan?
Sebelum jauh merinci segala tetek bengek, tak ada yang salah dengan frasa ‘takut ketinggalan’. Pada satu titik, manusia sebetulnya tidak ingin tertinggal dalam aspek kehidupan apapun. Bahkan kalau lebih ekstrem, sebetulnya perasaan ini diperlukan agar manusia selalu memenuhi keinginannya dalam hidup. Begitu pula dengan menghadiri konser musisi yang seringkali menjadi objek nyinyir bagi sebagian orang.
Ah, cuma takut ketinggalan, paling cuma tau satu lagu doang.” 

“ Cuma buat pamer story aja, kan?”

Terkesan enteng, tapi sebetulnya fenomena itu juga wajar adanya. Kalau mengutip dari penelitan yang sama, Stephanie Pitts dalam studi kasusnya mendefinisikan ‘konsumen’ dalam setiap konser menjadi 4 tipologi. Salah duanya adalah ‘The Lovers’ yang memang menyukai dan terikat dengan apa yang dikonserkan serta ‘The Flirters’.
Kalau secara harfiah, ‘The Flirters’ sendiri mungkin bisa diartikan sebagai seseorang penggoda/tergoda. Tapi sesungguhnya tipologi ini adalah untuk menyebut mereka yang mendatangi sebuah konser karena terpengaruh oleh teman atau lingkungan.

Secara keterikatan emosional dengan konser yang berlangsung, mungkin tipologi ini tak sebegitu dekat dengan ‘The Lovers’. Mengingat gempuran media sosial yang makin sini makin gila, justru ‘The Flirters’ juga punya peran dalam membangun keriuhan bagi musisi yang bakal menggelar konser. Bahkan sebelum digelarpun, engagement yang tercipta di dunia maya sudah gaduh duluan. Meski bisa saja mereka juga sesungguhnya menyukai, tapi ajakan dan keriuhan dengan teman yang mendorong mereka untuk pada akhirnya membeli tiket konser tersebut.

Terlalu bias memang jika menggolongkan para penggemar/konsumen/hadirin yang datang ke sebuah konser. Namun nyatanya itulah yang sering menjadi bahan argumen bagi sebagian orang. Kalau hanya untuk menganalisis tipologi penonton yang terjadi ketika sebuah konser, maka menjadi hal yang sah-sah saja. Tapi kalau digunakan hanya untuk membuktikan siapa yang benar-salah, maka itu tak bisa dibenarkan.

Sekali lagi, tak ada yang salah dari kedua hal utama yang sering diperbincangkan. Mau itu jadi kebutuhan kek, mau itu hanya jadi upaya agar tak ketinggalan kek,  kedua motif tersebut bukan variabel benar atau salah.  Pada akhirnya–sama halnya seperti musik–manusia hanya mengekspresikan apa yang dipikirkan dan dirasakan.

BACA JUGA - Festival Musik dan Segala Polemik di Dalamnya

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner