Musisi dan Tempat Asik Untuk Bermusik

Musisi dan Tempat Asik Untuk Bermusik

Sumber foto : https://www.loudersound.com/

Iksan Skuter, Endah N Rhesa, sampai Efek Rumah Kaca, jadi deretan musisi yang mempunyai ide serupa, dengan mendirikan ruang bagi penikmat karyanya hingga menyediakan ruang untuk orang berkarya

Adalah Hilly Kristal, seorang pengusaha yang hampir bangkrut dan menyerah dengan hidupnya, sampai akhirnya pada tahun 1973 bertempat di New York City, Amerika Serikat dia mendirikan sebuah bar bernama CBGB (Country, Bluegrass dan Blues), sebagai sebuah bar yang pada awalnya diperuntukan untuk para bikers nongkrong, lengkap dengan bir dan wiski yang menjadi menu utamanya.

Sampai kemudian ada sebuah band bernama Television mengajukan diri untuk tampil di bar tersebut. Hilly kemudian menyetujui Television untuk tampil disana, dan selanjutnya seperti yang sudah banyak orang tahu, bar itu menjadi club musik yang dikenal luas hingga menjadi legendaris, sampai akhirnya resmi ditutup pada 15 Oktober 2006. Namanya kemudian menjadi cukup identik dengan pergerakan musik punk dan rock n roll, karena beberapa musisi yang dianggap pionir di scene musik tersebut seperti Iggy Pop, Blondie, Patti Smith, Talking Heads, hingga The Ramones pernah menjajal panggung di CBGB pada era awal mereka berdiri. Bar ini bahkan pernah dibuatkan filmnya pada tahun 2013 lalu dengan judul yang sama, CBGB.

Dari New York beralih ke Jakarta dengan sebuah kawasan bernama gang Potlot. Mungkin banyak dari kita tahu jika sebuah kawasan kecil di Jakarta tersebut adalah markas grup band Slank, yang pada akhirnya menjadi ruang publik bagi banyak Slankers dari seluruh Indonesia. Menariknya, para Slankers yang sering nongkrong disana juga pada akhirnya ikut tertular semangat kreatif dari idolanya, hingga tidak sedikit yang kemudian meniti karir sebagai musisi dan sukses, dari mulai grup band Kidnap Katrina dengan vokalisnya, Anang Hermansyah, Opie Andaresta, bahkan pentolan Dewa 19 Ahmad Dhani pun pada awalnya sering nongkrong di tempat itu, mengingat dirinya juga adalah perantau dari Surabaya.

Lalu kemudian beralih lagi dari Jakarta ke Bandung, untuk kembali memutar waktu pada awal tahun 2010an, saat Riko, gitaris Mocca membuka cafe kecil di jalan Ambon, Bandung, bernama Beat N Bite. Sebuah tempat yang pada akhirnya cukup banyak melahirkan band-band indie Bandung, lewat sebuah sesi acara open mic, yang biasa digelar setiap hari Jumat malam, dengan Anto Arief sebagai host-nya. Beberapa kolektif musik yang sempat menjajal sesi open mic disana seperti Teman Sebangku, A.F.F.E.N, Under My Pillow, Katjie & Piering, DeuGalih, sampai Angsa & Serigala menjadi muncul ke permukaan. Nama mereka mulai diperhitungkan di ranah musik Bandung, dengan apresiasi yang cukup baik dari penikmat musik di kota yang dikenal kritis ini.

Sayang umur cafe ini tidak begitu lama, sampai kemudian berganti menjadi Safe House, dan pada akhirnya seperti yang kita kenal sekarang, tempat ini menjadi Rumah The Panas Dalam, dengan Pidi Baiq sebagai magnet utamanya. Untungnya tempat itu jatuh ke tangan Pidi, dan semangat kreatif yang mungkin awalnya menjadi perhatian Riko akan pentingnya regenerasi musisi kota Bandung, mengalami episode baru, yang kali ini datang dari ide-ide liar Pidi Baiq, si seniman serba bisa itu.

Selain Riko dan Pidi Baiq, ada nama-nama musisi seperti Iksan Skuter, Endah N Rhesa, sampai Efek Rumah Kaca, sebagai deretan musisi yang mempunyai ide serupa, dengan mendirikan ruang bagi penikmat karyanya, hingga menyediakan ruang untuk orang berkarya. Dari Malang sampai Jakarta, musisi-musisi itu menularkan semangat berkreasi, dengan Iksan Skuter dan Warung Srawung nya, Endah N Rhesa dengan Earhouse nya, sampai Efek Rumah Kaca dengan Kios Ojo Keos, yang bisa dibilang cukup ramai diperbincangkan, sebagai sebuah ‘wahana’ baru bagi penikmat musik pada umumnya.

Sebuah tempat pada akhirnya diakui atau tidak menjadi diidentikan dengan sesuatu yang spesifik, seperti misalnya di Bandung ada kawasan Ujungberung, yang identik dengan komunitas musik metal, Jalan Purnawarman yang identik dengan komunitas musik grunge/alternative, atau sebuah bar kecil di Jakarta bernama BB’s Cafe, yang identik dengan band-band ‘indie darling’ Jakarta, yang saat ini namanya sudah besar dan diperhitungkan, dari mulai The Upstairs, Goodnight Electric, The Adams, sampai White Shoes And The Couples Company. Dua hal tersebut menjadi satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, ketika sebuah band butuh ruang untuk bisa berekspresi, dan sebuah ruang butuh diisi dengan kreasi agar tidak menjadi ruang mati.

Masih banyak sebenarnya tempat-tempat yang kemudian menjadi identik dengan musik lewat ragam faktor yang melatarinya. Bisa karena pemiliknya seorang musisi, atau bisa juga karena tempat tersebut sering menjadi venue musik, seperti halnya GOR Saparua (Bandung) atau Poster Cafe (Jakarta). Dua nama itu kemudian juga diidentikan dengan pergerakan musik (indie) di tanah air. Tidak hanya Bandung dan Jakarta saja, tapi kota lain seperti Jogja, Malang, atau Bali sekalipun mengawali pergerakan bermusiknya melalui sebuah ruang bermusik, yang kemudian menjadi legendaris di kotanya masing-masing. Coklatfriends punya pendapat soal itu? Tulis di kolom komentar ya.

BACA JUGA - Musik, Olahraga, dan Cara Keduanya ‘Menggerakan’ Manusia

View Comments (0)

Comments (0)

You must be logged in to comment.
Load More

spinner